Menuju konten utama

LRT yang Terlambat Datang di Jakarta

Konstruksi proyek Light Rail Transit (LRT) DKI Jakarta fase satu rencananya baru dimulai bulan ini. Proyek LRT DKI Jakarta lebih lambat setahun dari LRT pemerintah pusat, bahkan kalah cepat dengan LRT Addis Ababa, Etiopia. Namun, yang membedakannya, pendanaan LRT di Indonesia menggunakan sumber daya dalam negeri, sedangkan di Afrika mengandalkan negara lain seperti Cina.

LRT yang Terlambat Datang di Jakarta
Presiden Joko Widodo berbincang dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (kiri) saat meninjau perkembangan proyek pembangunan Kereta Api Ringan atau Light Rail Transit (LRT) Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek) di kawasan Cibubur, Jakarta, Jumat (30/9). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf

tirto.id - Bibir Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terlihat mengeluarkan beberapa kata saat Presiden Jokowi berdiri di sebelahnya menanyakan perkembangan terkini proyek LRT DKI Jakarta. Jari telunjuk dan jempol Presiden Jokowi yang menunjuk ke sebelah Ahok seperti memberi sinyal agar segera memulai proyek ini.

“Dan juga akan dimulai LRT, pak gubernur DKI,...kira-kira bulan?” tanya Jokowi dengan jeda kalimat yang terputus menunggu jawaban Ahok di lokasi proyek terowongan MRT Dukuh Atas, Jakarta (30/9/2016)

Jumat, pekan lalu Jokowi dan Ahok memantau perkembangan proyek LRT yang digarap pemerintah pusat dan MRT Jakarta. LRT di DKI Jakarta memang kalah start dengan proyek serupa yang dikembangkan pemerintah pusat melalui penunjukan langsung kepada pelaksana proyek BUMN Adhi Karya melalui dana APBN.

LRT yang digarap Adhi Karya untuk tahap pertama dengan total lintasan 42,1 km mencakup Cibubur-Cawang 13,7 km, Cawang-Dukuh Atas sepanjang 10,5 km dan Bekasi Timur-Cawang 17,9 km menggunakan dana APBN. Kontrak proyek LRT tahap pertama diperkirakan senilai Rp20 triliun. LRT tahap pertama targetnya baru diselesaikan pada kuartal I-2018. Presiden Jokowi memuji perkembangan proyek ini yang berjalan pesat semenjak groundbreaking 9 September 2015 lalu.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga menggagas pembangunan LRT, rencananya meliputi tujuh koridor Kebayoran Lama-Kelapa Gading (21,6 kilometer), Tanah Abang-Pulomas (17,6 kilometer), Joglo-Tanah Abang (11 kilometer), Puri Kembangan-Tanah Abang (9,3 kilometer), Pesing-Kelapa Gading (20,7 kilometer), Pesing-Bandara Soekarno-Hatta (18,5 kiloemter), dan Cempaka Putih-Ancol (10 kilometer).

Pada fase satu pembangunan LRT DKI Jakarta diperkirakan menelan biaya sekitar Rp5 triliun, sudah dikucurkan untuk Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) sebesar Rp1,5 triliun pada 2015 dan dalam APBD tahun anggaran 2016 sebesar Rp2,95 triliun. Kedua proyek LRT DKI Jakarta dan Adhi Karya akan dikawinkan menjadi transportasi massal masa depan di Jabodetabek, selain MRT Jakarta.

“LRT kita agak terlambat sedikit dari Adhi Karya, dalam Peraturan Pemerintah No 79 (tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi) jelas disebutkan BUMN ditunjuk langsung, kita kan BUMD (PT Jakarta Propertindo) tak ditunjuk langsung, kalau kita lelang. Nanti pada 17 Oktober penandatanganan (kontrak) LRT,” kata Ahok yang memberikan penjelasan.

PT Jakarta Propertindo (Jakpro) sempat melakukan launching project LRT Jakarta pada 22 Juni 2016. Sebagai bagian dari serangkaian kegiatan persiapan pembangunan LRT Jakarta. Kegiatan feasibility study untuk LRT DKI Jakarta ini telah disusun oleh Mott MacDonald pada Februari 2016. Hasilnya sudah disampaikan ke Pemprov DKI Jakarta pada Maret 2016.

Jakpro akan memproritaskan pembangunan LRT DKI Jakarta untuk fase satu sepanjang 5,9 Km antara Velodrome-Rawamangun hingga Depo LRT Kelapa Gading. Koridor ini, akan melintasi sebanyak 6 stasiun LRT layang. Keenam stasiun tersebut yakni stasiun Velodrome, stasiun Pacuan Kuda, stasiun Pulomas, stasiun Kelapa Gading Boulevard, stasisun Mall Kelapa Gading dan stasiun Depo LRT.

“Kami menargetkan pengoperasian LRT Jakarta untuk 6 km tersebut pada Agustus 2018 mendatang, menyambut pelaksanaan Asian Games 2018,” kata Presdir PT Jakarta Propertindo, Satya Heragandhi.

Artinya lintasan sepanjang hampir 6 Km ditargetkan selesai kurang dari dua tahun. Target ini memang masih masuk akal, karena Kota Addis Ababa, Etiopia, Afrika yang membangun LRT untuk rute pertama mereka dari Menelik Square-Kaliti sepanjang 16,9 km butuh tiga tahun lebih hingga beroperasi. Apapun hasilnya nanti, kenyataannya DKI Jakarta tak hanya kalah cepat memulai LRT dengan BUMN Adhi Karya. LRT di Jakarta juga datang lebih telat dari ibu kota di Afrika seperti Addis Ababa yang sudah punya LRT sejak 20 September 2015 lalu.

Kalah Cepat dari Addis Ababa

Jika warga Jakarta masih harus bersabar menanti LRT, tidak demikian dengan warga Kota Addis Ababa. Tahun lalu, mereka suda bisa merasakan transportasi yang bisa diandalkan, terjangkau bagi kantong warga tak hadir begitu saja. Mereka harus menunggu tiga tahun lamanya. Sebelum ini, warga hanya mengandalkan transportasi tradisional mini vans, perpaduan taksi dan bus yang jauh dari kata layak. Mereka tak punya alternatif lain selain transportasi yang tidak layak tersebut. Secercah harapan muncul kala ide untuk pembangunan LRT muncul.

LRT di Addis Ababa mulai konstruksi sejak Januari 2012, dan memasuki masa uji coba Februari 2015. Tak mudah memang bagi negara dunia ketiga membangun transportasi modern, sempat ada kegamangan dari pemerintah mereka yang masih fokus pada persoalan pangan dan papan rakyatnya.

Keputusan berani pemerintah Etiopia empat tahun lalu kini sudah terbayar. Berawal dari penandatangan kontrak proyek LRT senilai 475 juta dolar AS pada 2009, yang 15 persen pendanaannya ditanggung pemerintah Etiopia dan sebagian besar oleh Cina.

Era transportasi modern dimulai di Etiopia. Dengan nilai proyek sebesar itu, Addis Abba kini punya dua koridor jalur LRT yang totalnya 34,3 km, terdiri dari koridor utara-selatan dari Menelik Square-Kaliti sepanjang 16,9 km dan 17,4 km untuk koridor barat-timur dari Ayat-Tor Hailoch.

Hampir setahun LRT Addis Ababa beroperasi. Sambutan positif warga pun masih tetap tinggi sama seperti awal kali pertama LRT hadir di kota mereka. Wajar saja, dengan cukup merogoh kantong senilai 6 birr Etiopia, setara 0,193 dolar AS atau sekitar Rp2.500, penumpang bisa menikmati perjalanan LRT sejauh 17 km.

“Saya menghabiskan lebih dari 60 birr untuk menjalankan tugas saya sehari-hari, dengan waktu yang terbuang karena kemacetan. Sekarang, itu adalah masa lalu dan saya menghabiskan hanya 4 birr (dengan LRT),” kata Mehert Endle seorang warga Addis Ababa dikutip dari Chinadaily.

Mehert Endle hanya salah satu dari ribuan warga Addis Ababa yang menikmati fasilitas modern ini setiap hari. Ada 60.000 orang per jam bisa terangkut dari dua jalur LRT. Semenjak berhasil mengoperasikan jalur pertama LRT pada 20 September, yang kemudian disusul pada 9 November 2015 untuk jalur kedua, Etiopia menjadi panutan negara-negara lainnya. Beberapa ibu kota dari negara seperti Kenya, Uganda, Nigeria ikut memulai proyek LRT.

Berselang sebulan ketenaran Etiopia memiliki LRT untuk jalur yang kedua sepanjang 17,4 km, Uganda mulai tergiur. Pada pertengahan Desember 2015, pemerintah Uganda menandatangani proyek LRT dengan investor untuk pengadaan jalur kereta ringan di Ibu Kota Kampala.

Fase pertama proyek ini menelan dana 440 juta dolar AS, untuk rute melayang sepanjang 35 km, yang ditargetkan selesai pada 2020. Ini hanya pijakan awal dari ambisi Uganda menjadikan ibu kota mereka terkoneksi dengan kota sekitar. Untuk jangka panjang akan dibangun jalur sepanjang 240 km menghubungkan dengan kota pendukung seperti Entebbe, Nsangi, dan Wakiso.

Setelah Uganda, Kenya rupanya juga tak mau kalah cepat. Berjeda hanya dua bulan setelah kontrak jutaan dolar LRT Uganda. Presiden Kenya Uhuru Kenyatta pada 19 Februari mengumumkan kabar yang cukup mengejutkan. Mereka juga akan memulai proyek LRT pada Juni 2016 untuk membelah kepadatan lalu lintas di Nairobi-Mombasa. Rencananya akan ada 300.000 orang per hari akan terangkut dengan LRT yang menelan biaya 150 juta dolar AS ini.

Dari negara-negara Afrika yang seolah sedang berlomba, Nigeria seperti pecundang. Padahal Nigeria salah satu yang pertama merintis pembangunan transportasi massal di benua hitam ini. Ketika Etiopia sudah memulai pembangunan LRT, Nigeria justru diterpa penundaan proyek karena masalah pendanaan yang dianggap terlalu besar.

Akhir tahun ini Nigeria berambisi bisa menuntaskan proyek jalur pertama LRT yang sempat tertunda. LRT yang membelah Kota Lagos ini seharusnya sudah selesai pada 2011. Persoalan pendanaan memang menjadi hal krusial dalam pembangunan transportasi massal, terutama di negara-negara dunia ketiga. Saat itu lah Cina hadir sebagai sumber pendanaan, kontraktor, tenaga kerja, dan teknologi LRT bagi negara-negara Afrika

Cina dengan kekuatan modalnya telah menjadikan Afrika sebagai pasar utama dari proyek-proyek infrastruktur mereka. Ini akan sulit dilakukan oleh negara lain. Berdasarkan laporan Baker & McKenzie, Export-Import Bank of China menyediakan dana segar 1 triliun dolar untuk membiayai infrastruktur di Afrika pada dekade ini. Cina juga disebut-sebut ada di belakang 80 persen pembiayaan pembangunan infrastruktur di benua hitam, termasuk LRT yang “Made in China”.

Sedangkan LRT di Indonesia seperti di Jabodetabek dan Palembang, tak menggunakan pendanaan asing karena menggunakan APBN dan APBD. Ini yang menjadi pembeda utama antara proyek LRT di Afrika dan Indonesia. Namun LRT yang dikembangkan di Indonesia juga tak harus bergantung dengan negara lain termasuk soal pengadaan kereta LRT. Pemerintah pusat sempat berencana mengimpor gerbong LRT untuk jalur LRT yang dikembangkan Adhi Karya

“Yang kita targetkan kalau sudah tender harus local content, dan mungkin kalau train set pertama bisa impor, tapi train set lainnya minimal di-assembly di sini,” kata Menteri BUMN Rini Soemarno.

LRT di Indonesia termasuk yang digarap Adhi Karya dan Pemprov DKI Jakarta memang kalah cepat dengan Addis Ababa. Namun LRT di Indonesia harus lebih baik dari Afrika terutama dalam menekan ketergantungan pendanaan maupun teknologi LRT dari negara lain. Meski datang telat, kita tunggu kedatangan LRT Jakarta.

Baca juga artikel terkait LRT atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti