Menuju konten utama

Sadar Darurat Macet, tapi Penjualan Mobil Terus Digenjot

Pemerintah pusat dan daerah belum kompak membatasi jumlah kendaraan. Kredit kendaraan justru dibikin lebih mudah.

Arus kendaraan padat menuju Mampang Prapatan imbas pembangunan Underpass Mampang, Jakarta, Jumat (25/8). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Jalan Rasuna Said ke arah Mampang, Jakarta Selatan, dipadati kendaraan yang mengular. Di sisi jalur lambat, dua baris mobil dan motor berjalan pelan di antara mobil yang nyaris berhenti di bahu trotoar. Di jalur cepat, mobil seakan terparkir. Di jalur TransJakarta, bus-bus ngetem seakan berada di terminal.

Fahd Bawazier cuma diam sambil sesekali mengeluh dari mobil Honda Jazz miliknya lantaran terjebak kemacetan itu. “Kalau jam segini emang gila di sini, bisa-bisa dua jam baru sampai Kemang,” kata si sopir Go-Car trsebut.

Kondisi ini jadi pemandangan lazim beberapa bulan terakhir. Penyebabnya adalah pembangunan underpass di Mampang, salah satu urat nadi mobilitas orang-orang di Jakarta, yang menutup separuh badan jalan. Pembangunan jalan bawah tanah ini adalah proyek infrastruktur pemerintah provinsi DKI Jakakarta. Langkah ini demi mengurai salah satu titik kemacetan terparah di Jakarta.

Soal kemacetan yang dikeluhkan warga Jakarta, Anies Baswedan—resmi dilantik sebagai gubernur pada Oktober mendatang—punya definisi sederhana. Katanya, “Apa itu macet? Macet itu sederhananya jumlah orang dan kendaraan yang ada di jalan lebih besar dari kapasitas jalan.”

Di Jakarta, rasio kendaraan bermotor dengan kapasitas jalan memang sudah tidak masuk akal lagi. Berdasarkan survei Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2015 lalu, rasio jalan di Jakarta mencapai 2.077 unit kendaraan per satu kilometer jalan.

Data kepolisian pada 2015 ada 13,9 juta kendaraan roda dua, 3,5 juta mobil, 983,9 ribu mobil angkutan barang, dan 537,6 ribu bus yang terdaftar di Jakarta.

Sementara Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat mengatakan, setiap hari ada penambahan sekitar 1.500 kendaraan baru di Jakarta; 1.200 adalah kendaraan roda dua dan 300 kendaraan roda empat.

Untuk mencegah banjir kendaraan pribadi, pemerintah DKI Jakarta sudah membuat sejumlah kebijakan. Misalnya penerapan pelat kendaraan ganjil-genap, pemberlakuan pajak progresif untuk mobil kedua dan seterusnya, membangun infrastruktur, hingga penambahan armada transportasi umum. Namun, upaya ini belum maksimal.

Pajak progresif, misalnya. Sejak diterapkan pada 2010, belum ada dampak signifikan mengurangi (pembelian) kendaraan pribadi.

Lima tahun kemudian pemerintah DKI Jakarta mengubah aturan soal pajak progresif kendaraan bermotor tersebut. Isinya, memberikan pajak sebesar 2 persen untuk kendaraan pertama, dan kenaikan 0,5 persen untuk kendaraan kedua dan seterusnya.

Berdasarkan data Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta, pada 2015 Pemprov Jakarta menerima pemasukan pajak progresif sebesar Rp5,07 triliun untuk roda empat dan Rp561 miliar untuk roda dua. Totalnya, ada 1,7 juta mobil dan 3,2 juta motor pada tahun itu yang dikenakan pajak progresif.

Pada 2016, jumlahnya bukan malah berkurang, justru bertambah. Penerimaan pajak progresif dari mobil meningkat menjadi Rp5,9 triliun dan pendapatan dari motor sebesar Rp662 miliar.

Kenaikan itu lantaran ada peningkatan signifikan pada jumlah mobil kedua, ketiga, dan keempat. Pada 2015, kendaraan kedua yang dikenai pajak progresif ada 109.453 mobil, setahun berikutnya menjadi 174.022 mobil. Begitu juga kendaraan ketiga dan keempat: masing-masing 17.874 mobil (2015) menjadi 45.978 mobil (2016) dan 5.053 mobil (2015) menjadi 14.788 mobil (2016).

Kepemilikan motor kedua, ketiga dan keempat juga meningkat, yang berimbas meningkat pula penerimaan pajak progresif.

Pada 2015 kepemilikan motor kedua ada 369.625 buah, meningkat menjadi 537.383 motor pada 2016; jumlah motor ketiga dari 69.775 buah (2015) menjadi 178.759 buah (2016), dan motor keempat dari 17.430 buah (2015) menjadi 67.298 buah (2016).

Data terbaru, hingga April 2017, Pemprov Jakarta menerima pemasukan dari sumber pajak kendaraan bermotor sebesar Rp1,9 triliun dari mobil dan Rp220 miliar dari motor.

Baca juga:

Membakar Uang di Jalan

Orang Indonesia Paling Malas Jalan Kaki

src="//mmc.tirto.id/image/2017/09/08/Kontradiksi-Kebijakan-Pemerintah-Batasi-Mobil-di-Jakarta--INDEPTH--Mojo.jpg" width="860" alt="Infografik HL Indepth Mobil" /

Menurunkan Kredit Kendaraan

Pada saat pemerintah daerah berharap mengurangi jumlah kepemilikan kendaraan lewat beban pajak, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) justru membuat langkah yang mempermudah orang membeli kendaraan bermotor.

Melalui Surat Edaran 47/SEOJK.05/2016 tentang besaran uang muka pembiayaan kendaraan bermotor, OJK melakukan langkah "relaksasi" agar pasar otomotif bergairah.

Isi surat edaran itu intinya DP (down payment) pembelian mobil bisa mencapai 5 persen dari harga mobil, tergantung besaran rasio non performing financing (NPF) masing-masing perusahaan. Ini berbeda dari sebelumnya yang menerapkan besaran DP sebesar 20 persen.

Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia, Suwandi Wiratno, mengatakan aturan baru ini "berdampak positif" bagi perusahaan pembiayaan di tengah daya beli masyarakat yang tengah lesu, sekalipun ia enggan merinci apa saja dampak positif surat edaran OJK tersebut.

Hal serupa diungkapkan oleh Direktur Keuangan Adira Finace, I Dewa Made Susila. Menurutnya, relaksasi itu berdampak baik, tetapi terhambat oleh faktor daya beli masyarakat yang tengah loyo.

Data Kementerian Perindustrian menunjukkan ada peningkatan penjualan mobil di dalam negeri. Pada semester 1 2016 penjualan mencapai 532.127 unit. Pada enam bulan pertanma 2017 meningkat menjadi 533.570 unit.

“Penjualan mobil semester I tahun 2017 masih memiliki pertumbuhan positif dibanding semester I 2016, meskipun lebih ke arah stagnan,” kata I Gusti Putu Suryawirawan dari Kementerian Perindustrian lewat surel.

Tak hanya itu. Pemerintah pusat kini tengah menggenjot produksi mobil dengan kebijakan yang disebut "Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau." Proyek ini semula bernama Low Cost Green Car.

Caranya, pemerintah memberi kemudahan pajak dengan membebaskan Pajak Penambahan Nilai atas Barang Mewah. Kebijakan ini sudah ditetapkan dalam Peraturan Kementerian Perindustrian 33/M-IND/PER/7/2013.

Baca juga: Cara Mudah Bisa Punya Mobil Baru

Pemerintah Pusat Berkelit

Putu Suryawirawan mengklaim bahwa langkah pemerintah mengatasi kemacetan di Jakarta tidak dilakukan dengan membatasi kepemilikan kendaraan bermotor. Menurutnya, pemerintah lebih mengambil langkah ke arah pengaturan waktu operasional kendaraan bermotor dan mendorong kemajuan transportasi umum.

Selain itu, ia memaparkan, industri otomotif adalah salah satu industri prioritas dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015–2035. Artinya, pemerintah melihat industri otomotif berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Industri ini juga menarik investasi dan menyerap pasar tenaga kerja dalam jumlah besar.

“Ke depan, pengembangan pasar industri otomotif akan didorong ke pusat–pusat pertumbuhan industri baru di wilayah Indonesia serta peningkatan pasar ekspor,” katanya.

Ia mengatakan fokus pemerintah kini mempercepat pembangunan infrastruktur jalan, jalan tol, dan jembatan untuk mengurangi rasio antara pertumbuhan mobil dan infrastruktur jalan.

Kebijakan ini mungkin terdengar baik bagi "kepentingan nasional." Namun, kemacetan akibat minimnya jalan baru yang jomplang dengan jumlah tinggi kendaraan adalah fakta yang sulit disangkal.

Bagi Fahd Bawazie, misalnya, seorang sopir Go-Car, kemacetan di Rasuna Said membuatnya merugi. Ongkos Rp35 ribu dari Gondangdia ke Kemang selama dua jam terjebak macet tidaklah sepadan dengan biaya bensin yang ia bakar di jalan.

Baca juga artikel terkait PENJUALAN MOBIL atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam