Menuju konten utama

Membeli Mobil Hanya untuk Diparkir

Orang membeli mobil tak semata buat keperluan mobilitas sehari-hari, melainkan didorong oleh motivasi gengsi dan status sosial.

Membeli Mobil Hanya untuk Diparkir
Parkir modern dengan elevator otomatis di gedung bertingkat, Jakarta. Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pernah dengar istilah “manasin mobil” di akhir pekan? Ini kebiasaan sebagian pemilik mobil di perkotaan yang memanfaatkan mobil sekali dalam sepekan. Saat hari kerja, mereka lebih menggunakan sepeda motor atau angkutan umum untuk mencapai kantor karena enggan pusing didera macet. Sementara mobil-mobil mereka terparkir di garasi atau halaman rumah.

Kendaraan roda empat bagi masyarakat Indonesia tak hanya sebagai sarana transportasi, melainkan ada faktor gengsi dan status sosial. Berdasarkan riset Nielsen pada 2014, The Nielsen Global Survey of Automotive Demand, orang Indonesia membeli mobil sebagai simbol status dan "penanda penting atas kesuksesan yang telah mereka capai dalam hidup."

Laporan ini mencatat, 93 persen konsumen online orang Indonesia malu bila tak punya mobil. Rasa malu orang Indonesia lebih tinggi dari negara-negara tetangga. Di Malaysia, misalnya, hanya ada 33 persen yang malu bila tak punya mobil, 22 persen orang Singapura menyatakan hal sama, disusul 22 persen orang Filipina dan Thailand.

Gengsi orang Indonesia secara tak langsung mendorong penjualan mobil. Rata-rata penjualan mobil di Indonesia bisa mencapai 1 juta unit per tahun. Diperkirakan, penjualan mobil ini akan naik dua kali lipat dalam lima tahun, termasuk di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Menurut Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, pertambahan jumlah kendaraan roda empat sebanyak 1.600 unit setiap hari. Jumlah ini berdasarkan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) Samsat Polda Metro Jaya. Bertambahnya jumlah mobil tak hanya mengisi jalan-jalan, tapi juga gang-gang sempit di kawasan permukiman hingga tempat parkir pribadi maupun umum.

Infografik Membeli Mobil

Bisnis Parkir hingga Ride Sharing

Saat seseorang membeli mobil, ia hanya menaruh aset kesayangannya di garasi rumah. Namun, bagi mereka yang tetap memakainya untuk mobilitas sehari-hari, bukan berarti mobil-mobil ini bebas dari persoalan.

Studi global tentang parkir mobil dari International Business Machines Corporation (IBM) pada 2011 menunjukkan baha mobil ialah salah satu aset termahal: lebih 96 persen waktu dari keberadaan mobil cuma disimpan di garasi atau lahan parkir setiap hari.

Mari berhitung. Saat pagi hari, seseorang menggunakan mobil ke kantor, menempuh waktu minimal 1-2 jam. Setelahnya, mobil akan beristirahat di parkiran. Sampai waktu makan siang, si pemilik memilih makan siang dengan menggunakan mobil selama satu jam, lantas mobil kembali diparkir hingga jam pulang kantor. Setiba di rumah, mobil kembali ke garasi. Artinya, jika dihitung selama enam hari kerja (144 jam), mobil seseorang bisa efektif hanya dipakai selama 30 jam atau 20 persen.

Mobil yang terparkir di rumah atau tempat kerja juga harus lebih sering berdiam di jalan ketika sebagian besar pengendaranya menghabiskan berjam-jam di belakang kemudi lantaran kondisi macet.

Baca juga: Membakar Uang di Jalan

Macet hanya salah satu problem. Masalah lain adalah biaya bensin hingga biaya parkir. Membeli mobil—dan sebagian besar pembelian ini hanya boleh lewat kredit—justru menjadi tambang uang bagi bisnis parkir.

Parkir memang menjadi sumber pendapatan yang menjanjikan bagi perusahaan swasta maupun pemerintah daerah. Di Jakarta, misalnya, sistem parkir meter elektronik mendatangkan uang miliaran rupiah.

Selain itu jasa parkir valet juga menguntungkan, sebagaimana Anda temui di mal-mal, dengan tarif sekitar Rp50 ribu per mobil. Dengan asumsi ada 400-800 mobil per hari dari pengguna jasa parkir valet di sebuah mal, bisnis ini meraup antara Rp20-40 juta atau sedikitnya Rp1 miliar per bulan.

Belakangan juga muncul aplikasi ride sharing berkonsep “nebeng”. Aplikasi ini menawarkan beberapa penumpang yang memiliki arah tujuan sama untuk “patungan” membayar biaya perjalanan mobil.

Sebuah studi oleh International Transport Forum menunjukkan mobilitas dengan cara berbagi tumpangan memengaruhi kualitas hidup masyarakat perkotaan. Jumlah jarak tempuh kendaraan bisa dipangkas hingga 37 persen. Biaya mobilitas berkurang hingga 50 persen karena kursi mobil bisa dipakai secara maksimal.

Selain itu, ruang publik sebagai lahan parkir akan berkurang (95 persen). Ini memungkinkan lebih banyak lahan kota yang bisa dimanfaatkan untuk ruang-ruang publik seperti taman, ruang terbuka hijau, dan trotoar bisa lebih lebar untuk para pejalan kaki.

Meski begitu, impian menuju layanan transportasi inklusif bagi kehidupan publik di perkotaan akan lebih lama di tengah gencarnya promosi industri otomotif memikat konsumen serta pelbagai kemudahan orang membeli mobil. Terlebih, meski kota seperti Jakarta sudah macet parah, orang tetap saja membeli mobil demi menunjukkan simbol sosial dan gengsi-gengsian.

===========

Naskah ini diperbarui pada 8 September 2017

Baca juga artikel terkait MOBIL atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Otomotif
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra