tirto.id - Bangsa Indonesia adalah kumpulan orang-orang yang paling malas jalan kaki sedunia. Demikian hasil riset para peneliti dari Universitas Stanford yang baru-baru ini diterbitkan di jurnal Nature.
Riset dilaksanakan dengan memanfaatkan aplikasi pemantau aktivitas Argus yang ada pada ponsel 717.000 warga dunia dari 111 negara yang jadi partisipan. Scott Delp, salah satu peneliti yang merupakan profesor di bidang bioteknik, berkata pada Stanford News bahwa kajiannya menyediakan data dari lebih banyak negara dan lebih banyak subjek dibandingkan dengan beberapa penelitian dengan tema yang sama lainnya.
Usai menganalisis total perhitungan menit per menit yang setara dengan data sepanjang 68 juta hari. Hasilnya menunjukkan bahwa Hong Kong menempati urutan teratas negara dengan penduduk paling rajin berjalan kaki dengan rata-rata 6.880 langkah setiap hari. Sementara itu, Indonesia menempati posisi juru kunci dengan hanya 3.513 langkah per hari.
Masyarakat Indonesia bahkan tak mampu melewati rata-rata langkah kaki penduduk dunia yakni sebanyak 4.961 langkah per hari. Dibanding dua raksasa Asia Timur, Cina dan Jepang, Indonesia juga kalah. Penduduk Negeri Tirai Bambu berjalan kaki sebanyak 6.189 langkah per hari, sedangkan rakyat Jepang 6.010 per hari. Indonesia juga kalah dengan negara-negara barat seperti Spanyol (5.936), Inggris (5.444), atau Amerika Serikat (4.774).
Jika keluar rumah, Anda akan mudah menemui orang-orang dari segala usia mengendarai sepeda motor ke mana saja, termasuk ke tempat yang sesungguhnya bisa dijangkau dengan jalan kaki. Barangkali Anda juga termasuk yang memilih naik motor ke toko swalayan meski jarak dari rumah hanya 300 meter saja?
Sosiolog UNY Grendi Hendrastomo menekankan kondisinya ini tidak tumbuh dari ruang hampa. Kegagalan pemerintah Indonesia, terutama yang bertanggung jawab di wilayah kota, gagal membangun wilayah tinggal yang menuntun masyarakat Indonesia untuk gemar berjalan kaki saat menuju ke suatu tempat. Bagaimana mau enak berjalan kaki, kata Grendi, jika trotoarnya saja tak layak untuk dilewati?
“Sesungguhnya ada banyak faktor. Faktor lingkungan, misalnya, terkait dengan keamanan dan jaminan kenyamanan [bagi para pejalan kaki] yang belum bisa didapatkan di Indonesia. Trotoar diokupasi, jadi makin sempit, dibentengi, dipakai untuk mendirikan bangunan semi permanen maupun aktivitas ekonomi lainnya,” jelasnya saat dihubungi Tirto, Jumat (14/7/2017).
Berkaitan dengan lima tahun tragedi kecelakaan di kawasan Tugu Tani Jakarta Pusat pada 22 Januari 2012 yang menewaskan sembilan orang pejalan kaki, Koordinator Koalisi Pejalan Kaki (KoPK), Alfred Sitorus mengaku miris, karena trotoar, zebra cross hingga jembatan penyebrangan di ibukota masih berada dalam kondisi memprihatinkan.
"Untuk trotoar, di Jakarta masih 90 persen yang tak layak bagi pejalan kaki. 99 persen tak layak bagi penyandang disabilitas," ujar Alfred sebagaimana dikutipAntara.
Jalanan pun menjadi ancaman nyata bagi para pejalan kaki. Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dirilis pada tahun 2013 lalu, tiap tahunnya, sedikitnya 270.000 pejalan kaki meninggal di jalan atau lebih dari 5.000 pejalan kaki per minggu.
WHO juga menyebutkan bahwa korban pejalan kaki adalah 22 persen dari total kecelakaan lalu lintas jalan sebesar 1,24 juta kecelakaan. Angka ini belum ditotalkan dengan jumlah korban yang mengalami luka dan cacat. Sedangkan khusus di Indonesia, angka kecelakaan yang mengorbankan pejalan kaki mencapai kurang lebih 30 persen dari 3.675 kasus kecelakaan yang terjadi sepanjang 2013.
Pemerintah kerap mengabaikan trotoar sebagai hak penting bagi para pejalan kaki. Padahal hak mereka diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Sebagaimana tercantum di dalam Pasal 25, setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan, antara lain (disebutkan pada ayat g) jalur untuk pesepeda, jalur pejalan kaki, dan penyandang cacat. Di bagian keenam disebutkan dengan jelas bahwa hak pejalan kaki salah satunya adalah trotoar.
Pejabat Kementerian Perhubungan RI pun pernah mengakui bahwa kondisi di trotoar di hampir seluruh wilayah Indonesia sudah tidak lagi nyaman bagi para pejalan kaki yang melintas. Pasalnya klasik: di beberapa kota besar di Indonesia, trotoar telah beralih fungsi menjadi tempat pedagang kaki lima, parkir kendaraan, bahkan digunakan oleh para pengguna sepeda motor.
Motor Jadi Kendaraan Pribadi Nomor Satu
Kondisi ini menuntun masyarakat, terutama di kota, untuk beralih menggunakan sepeda motor kemana pun mereka pergi, dan membuat jumlah sepeda motor di jalanan juga makin melimpah.
Penasihat Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) Gunadi Sindhuwinata saat ini populasi sepeda motor di Indonesia berada di kisaran 90 juta unit. Tak jauh berbeda dengan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 yakni 98,88 juta unit atau 81 persen dari total jumlah kendaraan bermotor di Indonesia.
Baca juga: Penjualan Sepeda Motor Diperkirakan Cuma Naik Tipis di 2017
Jika dibandingkan dengan populasi Indonesia, jumlah motor di Indonesia sudah melebihi penduduk kelompok usia 0-14 tahun yang menurut data BPS sejak 2016 sudah menembus angka 70 juta. Jika kenaikan jumlah sepeda motor konsisten dan akhirnya mampu menembus angka 100 juta unit lebih, maka pada tahun ini jaraknya dengan jumlah penduduk usia produktif (15-64) tahun hanya berjarak kurang lebih 75 juta.
Khusus di ibukota, Polda Metro Jaya dua tahun silam berkata bahwa jumlah motor dan mobil di Jakarta meningkat 12 persen tiap tahun. Data berdasarkan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang dikeluarkan Samsat Polda Metro Jaya itu masih didominasi pertambahan sepeda motor yang mencapai 4.000 hingga 4.500 per hari. Kemunculan ojek online, pun populer di kota-kota lain, secara tak langsung juga membuat angkanya kian terdongkrak.
Dari kacamata sosial, Grendi menengarai kondisi ini tak hanya diakibatkan oleh kredit motor yang makin murah, beredarnya motor bekas, atau ketidakmampuan pemerintah kota dalam menyediakan angkutan publik yang memadai, tapi juga berkenaan dengan prestise.
“Dari sudut pandang strata sosial, masyarakat kita masih banyak yang menggunakan motor sebagai alat untuk pamer, untuk menyalurkan hasrat narsis atas apa yang bersangkutan bisa beli. Di kampung budaya dulu punya motor jadi acuan gengsi, sekarang makin populer, namun efeknya kemana-mana jadi merasa lebih enak naik motor, meski jarak dekat,” jelasnya.
Grendi sendiri menjadi saksi betapa kecanduannya masyarakat Indonesia atas konsumsi sepeda motor. Ia kerap menyaksikan mahasiswa-mahasiswanya berseliweran keliling kampus memakai motor untuk berpindah dari satu fakultas ke fakultas lain meski jaraknya amat dekat.
Grendi menengarai pemerintah lokal bersikap seolah tak menjadikannya sebagai sebuah masalah karena, “Pajak kendaraan memang PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang cukup besar dan untuk jadi solusi instan dalam menutup fakta bahwa sarana publik di daerahnya masih buruk. Masyarakat dibiarkan memiliki kendaraannya sendiri.”
Dampak Liberalisasi Era Orba
Purnawan Basundoro, ahli sejarah kota dari Universitas Airlangga Surabaya, bersepakat bahwa selain sebagai wujud kegagalan pemerintah Indonesia era terdahulu dalam mendesain kotanya, keengganan orang Indonesia berjalan kaki juga karena menaiki kendaraan pribadi sudah jadi bagian dari gaya hidup.
“Indonesia adalah negara tropis yang cuacanya relatif panas. Kita gampang berkeringat jika jalan kaki, dan itu dianggap tidak nyaman. Keringat yg banyak menimbulkan bau badan yang tidak enak. Hal itu membuat orang menjadi rendah diri di hadapan orang lain,” katanya kepada Tirto.
Purnawan kemudian memaparkan bahwa kota-kota seperti Surabaya dulu dibangun oleh Pemerintah Belanda sebagai area yang walkable alias nyaman bagi pejalan kaki. Jalanannya diaspal bersih, bahkan disapu dan disiram air agar tidak berdebu. Peraturan tentang pembangunan jalan disusun, lengkap dengan spesifikasi dan kelengkapannya. Klasifikasi dilakukan agar jelas ruas jalan mana saja yang dibuat trotoar.
Setelah Indonesia merdeka, kondisi keuangan Pemerintah Indonesia agak lemah sampai pada tahun 1960-an, lanjut Purnawan, sehingga belum mampu mewujudkan infrastruktur yang ideal. Perawatan jalan baru mulai digalakkan lagi mulai memasuki tahun 1980-an.
Sayang, saat itu rezim Orde Baru melakukan liberalisasi kendaraan bermotor pada tahun 1990-an Perlahan-lahan jalanan mulai sesak karena orang-orang mulai banyak yang memakai kendaraan pribadi seperti motor dan mobil. Cara untuk mendapatkan keduanya juga relatif mudah, yakni bisa kredit sesuai dengan kemampuan membayar.
Pemerintah dalam kacamata Purnawan senang-senang saja jika jumlah kendaraan pribadi naik tajam sebab banyaknya kendaraan pribadi di jalanan menjadi ukuran keberhasilan pemerintah dalam mendongkrak kesejahteraan warganya. Kesejahteraan ini sesungguhnya semu belaka sekaligus menjadi bibit kemacetan laten. Pemerintah daerah juga diam sebab pendapatannya dari pajak kendaraan bermotor kian terdongkrak.
“Akibatnya pemerintah enggan mengkampanyekan jalan kaki. Boleh jalan kaki, tapi sekedar untuk olahraga di hari libur, bukan untuk rutinitas keseharian Ada trotoar, tapi banyak trotoar yang disalahgunakan dan pemerintah diam saja. Mestinya kan bisa mencontoh Singapura, Hongkong, atau kota-kota di Jepang,” pungkasnya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani