Menuju konten utama

Kopeka Surabaya Tak Kenal Lelah Memperjuangkan Hak Pejalan Kaki

Kopeka juga mengajak kolaborasi dengan komunitas-komunitas lain yang ada di Surabaya. Apa saja aksi yang dilakukan?

Kopeka Surabaya Tak Kenal Lelah Memperjuangkan Hak Pejalan Kaki
Aksi Koalisi Pejalan Kaki di Surabaya yang menggugat halte di Margorejo Surabaya yang mengabaikan hak penyandang disabilitas (FOTO: Dokumentasi Koalisi Pejalan Kaki Surabaya. FOTO/Dok. Koalisi Pejalan Kaki Surabaya

tirto.id - Aditya Ikhsan tak akan langsung pulang ke rumah untuk mengaso sehabis banting tulang hingga menjelang malam. Ia akan membunuh waktu sejenak dengan membantu satu-dua orang yang ingin menyeberang di jalan raya. Dengan mengendarai sepeda motor, ia akan menyisiri jalanan-jalanan Surabaya yang terutama rawan bagi pejalan kaki. Ia menyebut kegiatan ini sebagai spread cross yang dilakoni sepanjang 2020.

Sampai suatu ketika, ia melihat seorang berusia lanjut yang hanya mematung di pinggir Jalan Kusuma Bangsa, Kecamatan Genteng, Surabaya. Mata orang itu terus-menerus celinguk ke kanan dan ke kiri, sementara tubuhnya tak kunjung bergerak untuk menyeberang. Ia takut, tentu saja, tertabrak oleh sepeda motor, mobil, bus, atau truk yang mencoang-coang di jalan raya.

Tergerak oleh hati nuraninya, Aditya kemudian menolong orang itu. Ia menggenggam tangan orang itu untuk menuntunnya ke tempat yang ingin dituju. Sejak kejadian itu, pintu pikiran Aditya akhirnya menjadi terbuka. Ia mulai paham bahwa kondisi pejalan kaki rupanya begitu rentan di jalanan kota macam Surabaya. Jalan raya yang nampak elok, rapi, dan bersih—tanpa disadari—menyimpan keberingasan. Para pejalan kaki akhirnya seolah menjadi makanan empuk bagi kendaraan-kendaraan yang bertarung ruang di jalan raya.

Ia pun berpikir bahwa kegiatan spread cross belaka tak akan mampu untuk menuntaskan masalah ini. Perlu ada strategi baru agar banyak orang mengerti akan kondisi dan hak-hak pejalan kaki. “Namun, bagaimana caranya?” pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalanya.

Koalisi Pejalan Kaki Surabaya

Aksi Koalisi Pejalan Kaki Surabaya di salah satu Jembatan Penyeberangan Orang di Surabaya. FOTO/Dok. Koalisi Pejalan Kaki Surabaya

Hingga kemudian seberkas cahaya berpendar di kepalanya tatkala ia sedang asyik memainkan Instagram. Ada postingan mengenai pejalan kaki dari sebuah akun bernama Kopeka. Ia pencet akun tersebut untuk melihat postingan-postingan lain yang diunggah di lamannya. Rupanya akun tersebut milik sebuah komunitas dengan nama kepanjangan Koalisi Pejalan Kaki yang memang memiliki perhatian terhadap problem pejalan kaki.

Aditya pun memberanikan diri untuk mengirim pesan pada komunitas tersebut. Ia sekedar bertanya apakah ada komunitas seperti itu di Kota Surabaya. Komunitas tersebut pun membalas Aditya dengan jawaban belum ada. Dengan keberanian lagi, Aditya kembali bertanya apakah dirinya diperbolehkan untuk mendirikan komunitas tersebut di Kota Surabaya. Mujurnya, komunitas tersebut membolehkan.

“Begitu sih awal mula terbentuknya Koalisi Pejalan Kaki (Kopeka) di Surabaya. Komunitas ini didirikan pada tahun 2021. Untuk anggota, Saya dulu mengajak teman-teman terdekat saya,” cerita Aditya yang merupakan Koordinator Koalisi Pejalan Kaki Surabaya pada Selasa (18/2/2025).

Edukasi soal Jalan Kaki

Aditya sebenarnya bukanlah orang yang jenjang pendidikannya tinggi. Apalagi sampai jebolan kampus ternama. Ia cuma lulusan salah satu SMK di Surabaya. Biarpun demikian, ia selalu belajar mengenai masalah-masalah sosial yang terhampar di sekitarnya. Ditambah pula, ia aktif dalam berbagai kegiatan di Komunitas Turun Tangan, sebuah komunitas yang menggeluti isu sosial, pendidikan, lingkungan, dan kesehatan.

Itulah mengapa ketika mendirikan Kopeka di Surabaya, ia tidak kelimpungan. Sembari tetap mempertahankan kegiatan spread cross, ia pun membuatkan akun media sosial Instagram untuk Kopeka. Selain sebagai sarana edukasi mengenai pejalan kaki, media ini juga bertujuan untuk mengungkapkan keresahan terhadap masalah-masalah seputar pembangunan trotoar di Surabaya.

“Ini bisa disebut advokasi ya. Kita pun mengajak beberapa pihak terutama dari komunitas atau warga untuk menyampaikan kritik ketika ada masalah dalam pembangunan tersebut,” ungkapnya.

Tak berhenti di sini, ia pun mencanangkan kegiatan Keluyuran. Sesuai dengan namanya, ini adalah kegiatan berjalan kaki yang dilakukan oleh para anggota Kopeka tanpa tujuan yang jelas. Ia mengakui memperoleh inspirasi dari budaya flaneur yang ada di Perancis ketika menelurkan kegiatan tersebut.

“Tujuannya agar kita lebih dekat dengan lingkungan sekitar. Juga sebagai anti-thesis terhadap modernitas untuk melambatkan gaya hidup kita,” akunya.

Kegiatan lain yang dicanangkan olehnya adalah kegiatan kompetitif yang disebut "Menyelinap Dalam Kotak". Kegiatan ini mengajak para peserta yang tergabung dalam sejumlah tim untuk menuntaskan misi yang dilampirkan dalam kertas berisi beberapa petunjuk mengenai suatu tempat. Nantinya, mereka akan mencari tempat tersebut setelah memahami petunjuknya. Setelah menemukan tempat yang dicari, mereka diharuskan untuk menulis hal-ihwal yang ada di tempat tersebut.

“Misalkan di satu clue mereka temukan satu bangunan heritage cagar budaya. Tim yang memperoleh tempat itu kemudian menulis hal kualitatif dan kuantitatif yang ada di sana. Nantinya ditentukan juara 1,2, dan 3 berdasarkan yang tercepat dan isinya paling sesuai. Nah, hasil dari kegiatan ini akan digunakan sebagai data untuk pengembangan advokasi,” jelasnya.

Selain melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, Aditya mengatakan bahwa Kopeka juga mengajak kolaborasi dengan komunitas-komunitas lain yang ada di Surabaya. Misalnya, pada 2023, Kopeka pernah menjalin kolaborasi dengan komunitas sejarah bernama Oud Soerabaja Hunter (OHS) untuk mengusung wisata alternatif Kota Tua sebelum direvitalisasi seperti sekarang ini.

“Jadi kami dan komunitas tersebut saat itu berpikir bahwa Kota Tua ini punya, katakanlah, minat dan potensi,” katanya.

Dalam beberapa kali kesempatan, Kopeka juga menggelar aksi di jalanan. Salah satunya adalah aksi untuk mengenang Tragedi Pantura yang menewaskan pejalan kaki kembar bernama Hasan dan Husein setelah ditabrak oleh Komunitas Motor Gede.

"Jadi itu salah satu hal yang memorable buat saya. Karena di saat pejalan kaki sudah disiplin ya, sudah menyeberang di fasilitas yang memadai, tapi tetap aja banyak pengendara yang melanggar,” akunya.

Menurut Aditya, berbagai kegiatan, kolaborasi, dan aksi tersebut disatukan pada satu tujuan: mengedukasi kepada khalayak umum mengenai hak pejalan kaki dan juga mempromosikan pentingnya berjalan kaki.

“Kalau dinilai dari segi manfaat, misalkan dari kesehatan, sosial, dan lingkungan, jalan kaki ini lebih baik. Terus belum lagi masalah ekonomi. Jadi kalau dibandingkan, biaya yang dikeluarkan untuk membangun dan merawat jalan itu lebih mahal daripada biaya untuk bikin transportasi umum atau pembangunan fasilitas jalan seperti trotoar,” jelasnya.

Koalisi Pejalan Kaki Surabaya

Koalisi Pejalan Kaki Surabaya. FOTO/Dok. Koalisi Pejalan Kaki Surabaya

Keberhasilan Advokasi di Media Sosial

Aditya mengatakan bahwa advokasi terhadap pejalan kaki di media sosial Instagram cukup berhasil menuai respons positif dari warganet Surabaya. Untuk membuktikannya, ia berkaca pada kasus trotoar yang terletak di dekat Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).

Mulanya, ketika asyik bermain media sosial X, ia melihat sebuah postingan mengenai ramp (selasar miring), salah satu rumah di dekat Bundaran ITS yang menutupi area trotoar sehingga menyusahkan pejalan kaki.

Oleh karenanya, ia pun tergerak untuk melaporkan masalah itu ke Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan mengadu ke aplikasi Wargaku, layanan pengaduan digital Pemkot Surabaya. Namun, ia tak mendapatkan sedikitpun respons dari dinas dan aplikasi itu.

Merasa tak digubris, ia pun membuat sebuah postingan video mengenai masalah trotoar itu di media sosial Instagram milik Kopeka Surabaya. Tak disangka, postingan itu memperoleh atensi dari banyak pihak, termasuk Wakil Walikota Surabaya.

“Akhirnya Cak Ji (Armuji) selaku wakil walikota turun tangan untuk menangani masalah itu. Ya akhirnya terselesaikan sampai sekarang,” ujarnya.

Bukti lain yang ia tunjukkan ialah pada kasus tempat pemberhentian bus di Pakuwon Trade Center (PTC) Babatan, Kecamatan Wiyung, Surabaya Selatan. Tempat itu awalnya hanya beralaskan rumput. Para penumpang yang sedang menunggu bis mau tak mau harus duduk di rumput bila kakinya sudah lelah berdiri.

Setelah sempat menyaksikan kondisi itu, Aditya menganggap tempat itu sebagai tak manusiawi. Sebabnya, ia membayangkan kondisi ibu hamil dan disabiltas tuna fisik ketika berada di sana.

Tanpa pikir panjang, ia pun bersama kawan-kawannya menaruh beberapa bangku di tempat itu. Banyak penumpang merasa nyaman dan senang atas inisiatif mereka. Mereka pun memperoleh sejumlah sanjungan dari banyak penumpang.

Namun, menaruh bangku di tempat itu bukanlah tanpa resiko. Bila ditinggalkan sejenak saja, bangku yang ada di sana pastilah lenyap dari pandangan mata. Aditya pun memperoleh bagian untuk menjaga bangku itu. Selama beberapa jam di sana, entah karena bosan atau lelah, ia meninggalkan tempat itu. Yang tidak diharapkan akhirnya terjadi: bangku itu hilang.

Guna mendapatkan simpati yang luas, ia pun mengunggah kejadian ini di media sosial Instagram. Dan sekali lagi unggahan itu memperoleh banyak atensi dari warganet Surabaya.

“Tak berselang lama setelah kejadian itu, pihak PTC kemudian membuatkan halte bagi penumpang. Sehingga, mereka tak lagi duduk di rumput, tapi di bangku besi,” ungkapnya.

Dianggap Isu Tak Seksi

Alfred Sitorus, Koordinator Pusat Koalisi Pejalan Kaki, mengatakan bahwa Kopeka didirikan di Jakarta pada 2012. Tujuannya adalah untuk memberikan pandangan-pandangan baru mengenai problem yang melingkupi pejalan kaki.

“Kami mulai membuka cabang komunitas ini di daerah-daerah itu sekitar tahun 2015. Untuk sekaarang, Kopeka sudah ada di Bandung, Jogja, Semarang, termasuk juga Surabaya,” kata Alfred ketika dihubungi oleh Kontributor Tirto pada Rabu (19/2/2025).

Alfred menampik bahwa Kopeka adalah sebuah komunitas yang mematok pembahasan dan arah kerjanya hanya pada pejalan kaki belaka. Menurutnya, pejalan kaki adalah isu mobilitas yang mendorong orang mau tak mau untuk mempelajari lema transportasi, tata ruang kota, fasilitas publik, dan bahkan disabilitas.

“Jadi pada prinsipnya Kopeka ini adalah wujud kreativitas dari simpul masyarakat, termasuk lansia dan disabiilitas. Mereka kan orang yang perlu memperoleh fasilitas yang sama dengan orang lain di ruang publik macam jalan raya,” katanya.

Aditya pun mengamini perkataan Alfred tersebut. Hanya saja ia menambahkan isu ini kalah seksi ketimbang isu ekologi, teknologi, atau minoritas. Hal ini cukup mengenaskan bila melihat kondisi pejalan kaki di Indonesia.

Berdasarkan penelitian yang dirilis oleh Universitas Stanford pada 2017, Indonesia adalah salah satu negara yang paling malas berjalan kaki. Pasalnya, orang Indonesia rata-rata hanya berjalan kaki sebanyak 3.513 langkah. Jumlah ini berada di bawah rata-rata dunia dengan 5.000 langkah per hari.

Koalisi Pejalan Kaki Surabaya

Aksi Koalisi Pejalan Kaki Surabaya menggugat kantor polisi yang bertempat di trotoar. FOTO/Dok. Koalisi Pejalan Kaki Surabaya

Aditya tak serta-merta menyalahkan mereka. Ini mengingat pemerintah memang tak pernah benar-benar serius membatasi kepemilikan kendaraan pribadi. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kendaraan bermotor terus bertambah dati 106 juta unit pada 2018 menjadi 132 juta unit pada 2023. Begitupun juga dengan mobil yang merangkak naik dari 14 juta pada tahun 2018 menjadi 18 juta pada 2023.

Itulah mengapa kendati pemerintah terus membangun transportasi umum yang menjadi salah satu target dari Sustainable Development Goals (SDGS) pada 2030, jumlah penggunanya boleh dibilang terlampau kecil. Menurut Sensus Modul Ketahanan Sosial pada 2020, misalnya, 69,06 % masyarakat Indonesia masih menggunakan kendaraan pribadi, sementara hanya 8,71 % masyarakat Indonesia yang menggunakan transportasi umum.

Jangan heran bila kemudian pemerintah tak pernah berhenti menambah luasan jalan tol, di mana terhitung pada penghujung 2024 jumlah total yang ditargetkan akan beroperasi adalah sepanjang 3.254,55 km.

“Pemerintah memang lebih suka membangun jalan tol karena bisa mendatangkan uang. Kalau membangun fasilitas untuk pejalan kaki kan nggak ada uangnya,” ujar Aditya.

Atas dasar itulah, Aditya menganggap isu pejalan kaki sangat beririsan dengan keadilan, sebuah nilai yang agaknya telah dilupakan oleh banyak pejabat.

“Sejujurnya saya selalu sedih kalau ada pejalan kaki yang meninggal dunia. Para pejabat nggak bisa memahami perasaan ini karena mereka rata-rata memiliki mobil pribadi dan dikawal pula. Sementara banyak orang seperti PKL, misalnya, yang menggendong jualannya dengan berjalan kaki. Makanya isu pejalan ini terkait sekali dengan masalah keadilan. Karena itu, selagi kaki saya masih bisa menginjak bumi ini, saya akan tetap memperjuangkan hak-hak pejalan kaki,” pungkas Aditya.

Baca juga artikel terkait PEJALAN KAKI atau tulisan lainnya dari Muhammad Akbar Darojat Restu

tirto.id - News
Kontributor: Muhammad Akbar Darojat Restu
Penulis: Muhammad Akbar Darojat Restu
Editor: Anggun P Situmorang