tirto.id - Seruan #kamibersamasukatani menggema di media sosial. Di jagat Twitter, seruan dukungan untuk band punk Sukatani tersebut menjadi topik yang paling banyak dibicarakan saat naskah ini ditulis. Per Jumat (21/2/2024) pagi, 164 ribu kali sudah tagar tersebut dipakai.
Di Instagram pun tak jauh berbeda. Puluhan ribu unggahan foto dengan tagar #kamibersamasukatani seolah tak terbendung.
Dukungan terhadap Sukatani juga muncul dalam bentuk aksi nyata di berbagai daerah. Di Bandung, sekelompok anak muda menyuarakan dukungan dengan memasang poster #kamibersamasukatani di depan markas Polrestabes Bandung.
Sementara itu, di Jakarta, massa peserta Aksi Kamisan menyuarakan dukungan dengan memutar lagu "Bayar Bayar Bayar" milik Sukatani di depan para anggota kepolisian yang tengah bertugas.
Putar waktu ke 24 jam sebelumnya, Sukatani yang selama ini tampil secara anonim menggunakan topeng balaclava itu secara tiba-tiba menampilkan wajahnya ke publik.
Mereka tampil bukan untuk mengumumkan album baru, lokasi konser, atau apa pun yang berkaitan dengan agenda bermusik mereka, melainkan untuk menyampaikan permintaan maaf kepada Kapolri.
"Mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak Kapolri dan institusi Polri atas lagu ciptaan kami dengan judul lagu 'Bayar Bayar Bayar' yang liriknya ‘bayar polisi’, yang telah kami nyanyikan sehingga viral di beberapa platform media sosial yang pernah saya upload ke platform Spotify," ujar gitaris Sukatani, Muhammad Syifa Al Lufti alias Electroguy.
Usai menyampaikan permintaan maaf, mereka juga memutuskan untuk menarik lagu "Bayar Bayar Bayar" dari semua platform musik. Lagu yang berisi kritik terhadap institusi kepolisian itu memang sempat viral. Potongan video dan audio lagu tersebut bersliweran di media sosial seiring sorotan masyarakat terhadap institusi Polri.
Menurut penelusuran Tirto, lagu itu tidak ada lagi di platform streaming Spotify maupun Apple Music pada Kamis (20/2/2025) pukul 15.50 WIB. Sukatani juga meminta warganet untuk menghapus lagu tersebut.
"Dengan ini, saya mengimbau kepada semua pengguna akun media sosial yang telah memiliki lagu kami dengan judul ‘Bayar Bayar Bayar’, lirik lagu ‘bayar polisi’ agar menghapus dan menarik semua video menggunakan lagu kami dengan judul Bayar Bayar Bayar. Karena apabila ada risiko di kemudian hari sudah bukan tanggung jawab kami dari band Sukatani," kata Electroguy.
Sukatani
Sukatani sendiri merupakan band punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, yang kerap membuat lagu tentang perlawan terhadap ketidakadilan. Sukatani merupakan duo yang terdiri dari Twister Angel sebagai vokalis dan Eletroguy sebagai gitaris sekaligus produser.
Publik mulai mengenal Sukatani sejak awal Oktober 2022. Mereka memiliki gaya unik, yaitu kerap memakai balaclava atau topeng dan melakukan aksi berbagi sayur. Album pertama Sukatani berjudul Gelap Gempita dirilis pada 24 Juli 2023.
Mengutip laporan Tirto, album Gelap Gempita berisi 8 lagu, termasuk “Bayar Bayar Bayar”.
Kebanyakan lagu Sukatani memang mengungkapkan kegelisahaan atas kondisi sosial di lingkungannya. Salah satunya lagu berjudul “Alas Wirasaba” yang memaktubkan kegelisahan atas kehilangan kenangan tempat bermain untuk pembangunan bandara.
Lagu pembuka berjudul “Sukatani” juga disisipi kegelisahaan ihwal pertanahan. Di lagu itu, mereka memasukan cuplikan wawancara seorang warga yang mengaku harus berurusan dengan aparat karena masalah pertanahan tersebut.
Berdasarkan keterangan kronologi yang didapat Tirto dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), sebelum mengunggah permintaan maaf dan menarik lagu “Bayar Bayar Bayar”, Sukatani sempat menghilang dalam perjalanannya dari Bali menuju Banyuwangi. Pihak manajemen pun mengaku tak bisa menghubungi Twister Angel dan Eletroguy.
PBHI juga menyebut bahwa salah satu personel Sukatani juga dikabarkan kehilangan pekerjaan setelah sekolah tempatnya bekerja juga mendapat intimidasi dan ancaman. Tirto pun mencoba mengklarifikasi informasi tersebut lewat salah vokalis grup band The Brandals, Eka Annash.
“Berita yang kami dengar pun begitu. Citra [vokalis Sukatani] dipecat dari profesinya sebagai guru sejak kasus intimidasi ini dengan dalih punya double job,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (21/2/2025).
Sementara itu, informasi lain yang Tirto dapatkan dari seniman dan musisi Wok The Rock, pihak Sukatani saat ini sedang menghubungi pihak Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) untuk pendampingan advokasi.
Pelanggaran Terhadap Hak Berekspresi
Pendiri lembaga PIKAT Demokrasi yang juga dosen politik digital Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Damar Juniarto, menilai ada potensi pelanggaran terhadap hak berekespresi dan berkesenian dalam kasus permintaan maaf dan penarikan lagu Sukatani itu.
Damar menjelaskan bahwa konstitusi Indonesia mengatur bahwa tiap warga negara memiliki hak untuk berekspresi, termasuk melalui medium seni. Pembatasan yang boleh dilakukan oleh pemerintah hanya sebatas jika karya tersebut, misalnya, memuat ajakan perang, genosida, atau melanggar hak asasi.
Dia menilai bahwa lagu “Bayar Bayar Bayar” milik Sukatani tidak melenceng dari koridor HAM dan hak seni. Dalam konteks ini, Damar mempertanyakan alasan mengapa lagu tersebut baru dipermasalahkan setelah satu tahun dirilis. Dia juga mempertanyakan, siapa yang dirugikan oleh lagu tersebut.
“Kalau itu dilakukan dengan membawa nama institusi kepolisian, menurut saya, di situlah titik dia melewati batas. Karena, bentuk permintaan langsung seperti itu adalah bentuk opresi, bentuk tekanan, dan itu bisa dikategorikan sebagai melanggar hak berkesenian dan ekspresi secara luas,” katanya saat dihubungi Tirto, Jumat (21/2/2025).
Lebih lanjut, Damar menjelaskan bahwa masyarakat atau institusi negara juga memiliki hak untuk tidak suka atau keberatan terhadap suatu karya seni seperti lagu. Namun, ketidaksukaan itu sebaiknya disampaikan melalui mekanisme tertentu tanpa harus dengan tindakan represif atau pembredelan.
Jika cara-cara opresi yang sama terus dilakukan, Damar khawatir itu akan menimbulkan kerusakan terhadap metode kontrol sosial dari masyarakat.
“Kita akan menuju masyarakat yang tidak menumbuhkan kebiasaan untuk melakukan koreksi terhadap hal-hal yang keliru di lapangan. Padahal, koreksi dan terhadap hal-hal yang keliru itu diperlukan untuk membuat semua lembaga-lembaga yang berwenang itu tetap berjalan dengan lurus,” tambahnya.
Terkait anonimitas Sukatani, Damar mengatakan bahwa hal itu bukan sesuatu yang keliru.Pesannya adalah agar masyarakat lebih melihat esensi dan substansi kritik ketimbang siapa yang menyampaikan. Oleh karena itu, amat disayangkan bila Sukatani memang dipaksa untuk membuka identitasnya.
“Penanggalan topeng dari kedua musisi Sukatani ini dan memaksa mereka harus tampil tanpa topeng dan juga menyebutkan nama asli itu adalah sebuah bentuk intrusi terhadap privasi mereka,” ujarnya.
Sementara itu, vokalis band The Brandals, Eka Annash, menilai kasus Sukatani ini merupakan indikasi buruk bagi seniman dan musisi yang hendak menyampaikan kritik lewat karya seni.
Eka mengatakan bahwa kejadian ini merupakan fakta implementasi dari salah satu pasal dalam RUU Permusikan yang diperjuangkan untuk dihapus oleh para musisi. Pasal 5 dalam RUU Permusikan tersebut melarang musisi untuk menciptakan lagu yang dianggap menghina, menodai, dan melecehkan.
“Pada akhirnya, terjadi juga [dalam kasus Sukatani]. Walaupun, konteks lirik lagunya adalah kritik dan tidak melanggar hukum,” katanya saat dihubungi Tirto, Jumat (21/2/2025).
Meski ada pola intimidasi dan represi dalam kasus Sukatani ini, Damar meminta teman-teman musisi untuk tidak takut dan terus berkarya dan menulis lirik kritis. Sejarah sudah mencatat bahwa eksistensi kenegaraan tidak akan berjalan sempurna tanpa adanya protes dan suara dari elemen masyarakat, terutama seniman, musisi, mahasiswa, dan buruh.
“Kami yang memberi keseimbangan dan alarm kalau ada ketimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan komponen pemerintahan” tambahnya.
Selain itu, Damar menyarankan agar seniman dan musisi berdampingan dengan organisasi atau lembaga hukum nirlaba yg ada untuk mengantisipasi hal-hal buruk di depan.
“Jadi, kalau ada tindak repesif atau intimidasi bisa langsung konsultasi untuk mendapat perlindungan,” ujarnya.
Untuk saat ini, Damar bercerita sejumlah rekan musisi sedang melakukan upaya solidaritas untuk Sukatani dengan cara meng-cover lagu “Bayar Bayar Bayar” dan merilisnya di platform Soundcloud.
“Kalo yang partisipasi banyak, akan coba dikumpulkan menjadi album kompilasi dan dirilis di bandcamp dengan hasil penjualan disumbangkan ke Sukatani,” ujarnya.
Sementara itu, seniman dan musisi, Wok The Rock, menyebut bahwa kasus represi dan pembredelan terhadap karya seni seperti yang terjadi pada kasus Sukatani menjurus pada kemunduran suatu bangsa.
Dia menjelaskan bahwa seni selalu dianggap sebagai ancaman oleh para pemangku kuasa, baik politik, sosial, maupun budaya. Pasalnya, imajinasi dan kebebasan ekspresinya yang selalu mendukung keadilan dan perkembangan dan perubahan.
“Negara dan perangkatnya sebagai pekerja yang dibayar oleh rakyat untuk mengelola negara sudah seharusnya mengerti hal di atas itu dan wajib menjamin perkembangan seni dan kesejahteraan praktisi seni,” ungkapnya saat dihubungi Tirto, Jumat (21/2/2025).
Menanggapi kasus yang terjadi pada Sukatani, Wok the Rock menilai penting bagi kolega sesama seniman dan musisi untuk saling memberikan dukungan, menggalang serikat, dan bekerja sama dengan lembaga advokasi HAM.
“Kementrian kebudayaan harusnya juga memberikan dukungan untuk keamanan dan kesejahteraan seni dan pelaku-pelakunya,” katanya.
Berlipat Ganda Setelah Diredam
Seperti yang telah disinggung di awal, bentuk dukungan terhadap Sukatani justru tak terbendung usai band punk tersebut meminta maaf dan menarik lagu “Bayar Bayar Bayar” dari seluruh platform musik digital.
Di Instagram, per Jumat (21/2/2025) siang, telah lebih dari 80 ribu orang menggunggah tagar #kamibersamasukatani lewat fitur Instagram story. Banyak orang yang sebelumnya tak mengenal Sukatani pun menjadi penasaran dan mencari tahu lagu “Bayar Bayar Bayar”.
Meski telah ditarik dari seluruh platform digital, lagu tersebut kini ramai diunggah ulang oleh berbagai pihak. Berdasarkan penelusuran Tirto di platform Youtube Music, lagu tersebut masih banyak beredar. Salah satu kanal Youtube diketahui mengunggah ulang lagu tersebut pada 23 jam terakhir dan telah ditonton oleh 63 ribu orang.
Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menilai bahwa banyaknya dukungan masyarakat terhadap Sukatani secara psikologis disebabkan oleh perceived injustice atau ketidakadilan yang memicu munculnya solidaritas kolektif.
Dalam kasus Sukatani, masyarakat menilai bahwa apa yang dilakukan oleh band tersebut adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang seharusnya dijamin dalam sistem demokrasi. Karena itulah, masyarakat segera bereaksi ketika Sukatani diduga mendapat tekanan dari kepolisian.
Masyarakat menilai hal itu sebagai ketidakadilan yang nyata. Karenanya, tidak hanya menyampaikan simpati terhadap Sukatani, masyarakat juga mengidentifikasi diri mereka dalam posisi yang sama.
Menurut Wawan, itu adalah mekanisme yang dijelaskan dalam teori identifikasi sosial (Social Identity Theory), yakni ketika individu merasa terhubung dengan kelompok atau pihak yang mengalami perlakuan tidak adil.
“Dalam hal ini, Band Sukatani menjadi representasi bagi masyarakat luas yang selama ini merasa kebebasan berekspresinya terus dikekang oleh berbagai bentuk tekanan struktural,” ujar Wawan saat dihubungi Tirto, Jumat (21/2/2025).
Dia menambahkan bahwa moral outrage atau kemarahan moral muncul ketika masyarakat menyaksikan ketidakadilan yang terang-terangan dilakukan oleh otoritas. Dalam kasus Sukatani, banyak orang melihat bagaimana sebuah kritik musikal yang seharusnya menjadi bagian dari demokrasi justru diperlakukan seolah-olah itu adalah tindakan kriminal.
Alih-alih membuat publik takut, tindakan represif aparat terhadap Sukatani justru memperkuat rasa kesamaan nasib di antara masyarakat. Menurut Wawan, masyarakat mulai melihat Sukatani bukan hanya sebagai musisi, tapi juga simbol perlawanan terhadap otoritarianisme yang merambah ke ranah kebebasan sipil.
Ketika satu pihak dipaksa diam, masyarakat justru bersuara lebih keras.
“Inilah pola yang berulang dalam sejarah gerakan sosial: semakin keras represi yang dilakukan oleh pihak berwenang, semakin kuat pula gelombang perlawanan yang muncul sebagai respons,” kata Wawan.
Sementara itu, menurut Damar Juniarto, masyarakat sedang melakukan retaliasi atau perlawanan balik terhadap tindakan represif aparat terhadap Sukatani. Upaya-upaya represif yang digunakan untuk meredam kegelisahan masyarakat pun justru berbalik arah.
Tak terbendungnya dukungan masyarakat terhadap Sukatani disebabkan oleh masyarakat Indonesia yang kian sadar tentang hak-haknya di ranah digital.
“Jadi, karena the damage has been done, masyarakat bersolidaritas dan coba lawan balik. Ini malah sekarang lagu ini dinyanyikan di mana-mana, di Aksi Kamisan, di media sosial disebar liriknya, musisi me-remake dan memproduksi lagu ini di mana-mana,” ujarnya.
Sanggahan Kepolisian
Merespons amarah rakyat atas kasus Sukatani, kepolisian sendiri mengeklaim bahwa institusinya tidak pernah antikritik.
“Komitmen dan konsistensi, Polri terus berupaya menjadi organisasi yang modern, yaitu Polri tidak antikritik,” kata Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, kepada wartawan, Jumat (21/2/2025).
Menurut Trunoyudo, komitmen itu bahkan selalu ditekankan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kepada jajarannya.
“Bapak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kerap menegaskan hal tersebut kepada seluruh jajaran,” ucap Trunoyudo.
Sementara itu,Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, membantah telah menyuruh Sukatani untuk meminta maaf atas lagu "Bayar Bayar Bayar" yang berisi kritik kinerja kepolisian. Sigit mengeklaim tidak ada masalah dengan karya seni tersebut.
“Tidak ada masalah. Mungkin ada miss [meleset], namun sudah diluruskan,” ucap Listyo dalam konfirmasi, Jumat (21/2/2025).
Listyo menegaskan bahwa Polri tidak antikritik. Dia menekankan pula bahwa kritik dipandang sebagai masukkan untuk evaluasi.
“Dalam menerima kritik, tentunya kita harus legowo dan yang penting ada perbaikan dan kalau mungkin ada yang tidak sesuai dengan hal-hal yang bisa disampaikan,” ungkap Listyo.
Listyo menyampaikan bahwa Polri terus berbenah melakukan perbaikan dengan memberikan punishment kepada anggota yang melanggar dan memberikan rewards kepada anggota yang baik serta berprestasi.
Hal itu, kata dia, merupakan upaya dan komitmen Polri untuk terus melakukan perbaikan dan evaluasi terhadap kekurangan.
“Tentunya, itu menjadi upaya yang terus kami lakukan,” ujar Sigit.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi