Menuju konten utama

Dorongan Tradisi di Balik Ambisi Pendidikan Orang Batak

Orang Batak seperti labu, ia butuh “sinar” pendidikan agar dapat terus tumbuh, menjalar, dan berbuah di mana-mana.

Dorongan Tradisi di Balik Ambisi Pendidikan Orang Batak
Lelaki mengenakan aksesoris ulos di bagian kepala sembari menunjukkan foto wisuda anak. (Sumber Foto: Nanda Fahriza Batubara)

tirto.id - Sarapan tuntas. Saatnya Saut Silitonga (60) menyalakan becak motor usang, membonceng Elisa Agustina Napitupulu (45) lalu pergi untuk menjalani aktivitas sehari-hari. Pasangan suami-istri ini merupakan juru parkir di Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara.

Meski penghasilan tak tentu, semua anak Saut sekolah. Si bungsu, Jesia Jenica Silitonga (13), saat ini duduk di bangku SMP. Sedangkan, dua kakaknya kuliah. Sang sulung saat ini adalah mahasiswa Jurusan Geofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Indonesia (UI).

Bagi Saut dan Elisa yang hanya mengantongi ijazah SMA, tidak ada yang lebih penting dari pendidikan anak. Semua hal akan mereka lakukan untuk memenuhi prinsip itu. Intinya, anak mereka harus mengenyam pendidikan lebih tinggi dari mereka.

“Kalau kami orang Batak ini, ada istilah anakkon hi do hamoraon. Jadi, pendidikan itu penting. Jangan sampai seperti orang tuanya, anak-anak harus dapat pendidikan yang tinggi," ujar Saut kepada kontributor Tirto, Selasa (18/2/2025).

Sebagai juru parkir, tak mudah bagi Saut membayar biaya sekolah tiga orang anak. Apalagi, dua di antaranya kini kuliah di Jakarta. Demi memenuhi semua kebutuhan hidup, dia mesti kerja pontang-panting siang dan malam. Bila itu tak cukup, Saut pun terpaksa berutang sana-sini. Tak jarang, dia merasa putus asa.

“Kami hanya bekerja di pasaran, uang yang didapat kadang tidak cukup. Sudah pernah putus asa, saya hampir tidak mampu lagi menguliahkan anak lagi. Kadang, uang jajan saja tidak bisa saya beri. Tapi, saya percaya Tuhan mendengar doa,” ujarnya.

Di tengah keterbatasan, Saut yakin perjuangannya tak akan sia-sia. Anak-anaknya bakal sukses hingga kelak dapat mengubah nasib keluarga.

“Anak-anak harus giat belajar, supaya berprestasi, supaya juara. Karena, lihatlah orang tuanya, kadang makan, kadang tidak,” ujar Saut.

Kini, perjuangan Saut mulai menampakkan hasil. Dua anaknya berhasil melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Mereka adalah Wenni Jesika Silitonga (22) dan Vania Anica Silitonga (20).

Wenni kuliah di UI dan Vania kuliah di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Beban Saut sedikit terbantu karena Wenni dan Vania sama-sama memperoleh beasiswa.

“Pesan saya kepada mereka, terus belajar dan jangan sombong. Selalu ingat pada Tuhan,” kata Saut.

Menurut Saut, buah hati mereka sudah menunjukkan bakat sejak kecil. Wenni sering meraih juara kelas dan pernah beberapa kali menang lomba. Bagi Elisa, ini adalah secercah sinar di tengah gelapnya perjuangan dunia.

“Semoga mereka sukses dan mencapai segala cita-citanya,” ujar Saut.

Anak Sarjana Batak

Fransjun Saut Manalu memperlihatkan foto wisudanya. (Dokumentasi pribadi Fransjun)

Mengais Nasi Bekas untuk Sekolah

Saut hanya satu contoh dari sekian banyak orang Batak yang gigih melakukan segala upaya untuk membiayai sekolah mereka. Termasuk, jika harus mengais sisa-sisa nasi bekas makanan orang.

Sekitar 200 kilometer dari kediaman Saut, Fransjun Saut Manalu (40) berjalan kaki menggandeng tangan anak sulungnya di samping rumah warga Kelurahan Hutatoruan VII, Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Bentuk rumah itu biasa saja, tapi menyimpan kenangan mahal.

Dari situlah, Frans kecil dulu mengais sisa-sisa makanan orang untuk dibawa pulang. Nasi bekas–sebutan sisa-sisa makanan warga–itu kemudian diolah menjadi pakan ternak babi yang kelak dijual. Itulah modal utama Frans dan saudara-saudaranya untuk kuliah.

Kegiatan itu dilakukan Frans sejak duduk di bangku SMP hingga SMA. Bila nasi bekas tidak cukup, dia akan pergi ke area rawa, tepi parit, atau persawahan untuk memetik daun talas untuk dijadikan pakan ternak. Tak jarang kakinya terluka memijak beling atau jatuh tersungkur.

“Saat dulu mengambil makanan bekas, aku sering lihat kawan-kawan lagi main bola. Kadang, mau menangis aku mengangkat ember nasi babi itu,” ujar Frans sambil tertawa mengenang.

Frans, anak keempat dari enam bersaudara, tidak berasal dari kalangan keluarga yang benar-benar miskin. Mendiang bapaknya, Pangusian Pardomuan Manalu, merupakan pensiunan pegawai negeri sipil (PNS).

Namun, itu di zaman Orde Baru, saat gaji PNS daerah golongan rendah tamatan SMA tidak sampai Rp1 juta. Karena gaji Pangusian kurang untuk memenuhi seluruh biaya sekolah enam orang anak, istrinya akhirnya membuka usaha kecil-kecilan berupa warung kelontong.

Itu pun belum cukup dan keluarga Frans harus kembali memutar otak. Orang tua mereka lalu memelihara ternak babi di lahan sempit samping rumah. Ternak ini menjadi tanggung jawab Frans serta lima saudaranya.

Mulai dari pakan hingga kebersihan kandang diurus secara bergiliran. Babi-babi itu akan dijual sewaktu mereka kuliah.

“Kalau tidak karena mamak, manajemen keluarga hancur. Artinya, dengan gaji rendah, mamaklah yang mengatur bagaimana cara supaya kami sekolah,” ujar Frans.

Frans ingat betul pesan ibunya kala itu. Dia dituntut harus belajar sungguh-sungguh sehingga bisa masuk perguruan tinggi negeri. Sebab, biaya kuliah di swasta mahal dan tidak mampu ditanggung ternak babi mereka yang cuma beberapa ekor itu.

“Kalau tidak lolos masuk negeri, silakan kuliah di swasta, tapi sambil kerja. Bayar sendiri. Begitulah dulu kami didorong supaya jangan malas-malas belajar,” katanya.

Cara ini berhasil. Frans dan seluruh saudaranya lulus dari perguruan tinggi. Sebagian di antara mereka bahkan tamat dari universitas negeri, termasuk Frans. Dia mengantongi ijazah sarjana dari Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara pada 2008.

Bagi Frans, pencapaian sarjana itu bukanlah akhir. Melainkan awal dari standar baru sekaligus beban besar di pundaknya. Frans menyimpan mimpi tersendiri untuk Joy Sukur Putra Manalu dan Winsensius Winjaya Manalu, dua putranya yang masih berusia lima dan satu tahun.

Frans berharap anak-anaknya dapat mengenyam pendidikan lebih tinggi darinya. Kalau bisa, kata dia, sekolah di luar negeri. Bukan cita-cita yang gampang bagi seorang pendamping desa dan guru honorer seperti Frans dan istrinya, Imelda Sinaga (40).

Untuk urusan pendidikan, lanjut Frans, semua akan diupayakan. Sebisa mungkin. Termasuk jika harus menguras harta. Namun, sebelum itu terjadi, Frans dan istri sudah menyiapkan tabungan khusus buat masa depan sekolah anak-anak mereka.

“Mudah-mudahan bisa sekolah yang lebih tinggi. Kalau bisa, sekolah ke luar negeri supaya lebih tinggi lagi pendidikannya dari bapaknya. Artinya, bisa belajar lebih baik,” ujar Frans.

Anak Sarjana Batak

Foto keluarga Saut Silitonga. (Sumber foto: Dokumentasi pribadi Wenni)

Pendidikan Jalan Sukses Orang Batak

Orang Batak selalu ingin anaknya hidup lebih baik dari mereka. Harus lebih sukses, lebih maju, terutama dari segi pendidikan. Hasrat itu sejatinya dimiliki semua orang tua tanpa mengenal suku, tapi orang Batak termasuk yang paling ngotot dalam konteks ini.

Beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) menerbitkan Profil Suku dan Keragaman Bahasa Daerah Hasil Long Form Sensus Penduduk 2020. Publikasi ini mendokumentasikan keragaman bahasa serta sosial demografi dari 10 suku di Indonesia. Pendataannya dilakukan di 514 daerah dengan jumlah sampel sekitar 4,29 juta rumah tangga.

Terdapat berbagai aspek yang dianalisis. Mulai dari komposisi jenis kelamin, angka kelahiran, persebaran, umur menikah, hingga harapan hidup masing-masing suku. Dari segi pendidikan, Batak memiliki persentase sarjana terbesar.

Sebanyak 18,02 persen orang Batak berusia 25 tahun ke atas yang disurvei adalah lulusan perguruan tinggi. Di posisi kedua, dengan selisih tipis 0,02 persen, adalah etnis Minangkabau.

Berdasarkan data BPS, nyaris setengah atau 45,48 persen orang Batak berusia 25 tahun ke atas mengenyam pendidikan SMA. Hanya 4,38 persen yang belum atau sama sekali tidak sekolah.

Selebihnya, sebanyak 15,09 tamat SD dan 17,04 lagi tamat SMP. Persentase ini terlihat menonjol jika dibandingkan tingkat pendidikan sembilan suku lain yang disurvei.

Dalam pengelompokan suku, BPS masih menggunakan dasar klasifikasi Sensus Penduduk 2010 yang disusun bekerja sama dengan Institute of Southeast Asian Studies pada 2013. Penyesuaian sebatas pada Suku Bali.

Suku Batak yang disurvei BPS mencakup beberapa subsuku, yaitu Batak, Batak Tapanuli, Batak Angkola, Karo, Mandailing, Dairi, Batak Pakpak Dairi, Pakpak, Batak Simalungun, dan Batak Toba.

Menurut Kepala Batakologi Universitas HKBP Nommensen Medan, Manguji Nababan, orang Batak seperti labu. Ia butuh “sinar” pendidikan agar dapat terus tumbuh, menjalar, dan berbuah di mana-mana. Kuatnya prinsip pendidikan di kalangan orang Batak tak hanya buah dari tradisi turun-temurun, tapi juga melekat dalam wujud konstruksi rumah adat.

Seperti terlihat pada ruma bolon Batak Toba. Atap rumahnya sengaja dibuat lebih tinggi bagian belakang ketimbang depan. Makna filosofis dari fitur itu adalah bahwa generasi penerus harus lebih sukses dari pendahulu. Salah satu jalan mewujudkan keyakinan itu adalah melalui pendidikan.

Menurut Manguji, itulah sebabnya para orang tua Batak rela bersusah payah mengupayakan anak-anaknya mendapat pendidikan terbaik.

“Bagi orang Batak, tidak tabu menjual rumah asalkan untuk biaya sekolah anak,” ujar Manguji kepada kontributor Tirto.

Prinsip bahwa anak harus sekolah, lanjut Manguji, merupakan bagian dari tradisi Batak. Ia tak lepas dari istilah hagabeon, hamoraon, dan hasangapon—bermakna keturunan, kesejahteraan, dan kemuliaan. Orang Batak memandang puncak keberhasilan sebagai sahala dan kuaso, yakni wibawa dan kuasa.

“Untuk mencapainya, tidak ada jalan selain pendidikan,” ujarnya.

Menurut Manguji, orang Batak sudah bergairah mengenyam pendidikan sejak zaman dulu. Bahkan sebelum sekolah formal ada, orang Batak sudah terbiasa menuntut ilmu dari datu, tokoh sentral dalam ritual magis sekaligus tokoh yang dihormati.

Anak Sarjana Batak

Mahasiswa memakai almamater kuning sedang mengotak-atik alat. (Sumber foto: Dokumentasi pribadi Wenni)

Di masa lalu, orang Batak juga belajar dari raja patik mengenai hukum, aturan, dan norma bermasyarakat. Mereka mulai mengenal pendidikan formal setelah misi zending masuk menyebarkan ajaran Kristen Protestan pada 1861. Jejaknya masih terlihat di Sipoholon, Tapanuli Utara. Dulunya, warga mendapat pendidikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga terampil untuk perusahaan-perusahaan di sekitar.

Selain itu, ambisi orang Batak akan pendidikan juga tak lepas dari ajaran agama. Dahaga akan pendidikan juga dipelihara dalam bentuk nasihat orang tua kepada anak. Bagai angin, nasihat itu berembus ke segala arah. Bahkan ke lirik lagu.

Salah satu lagu Batak berjudul Poda Nauli punya lirik demikian:

Burjuhon ma anakhon hu o tondikku… (Berbuat baiklah anak-anakku wahai jiwaku)

Na marsikkola i amang… (Bersekolahlah, nak)

Asa jumpang mu da amang… (Agar kau gapai, nak)

Angkana pinarsinta-sintami… (Semua yang kau cita-citakan)

Ai so adong si lehonon hu… (Karena tak ada yang bisa kuberikan)

Hauma manang arta panjaean mi… (Sawah ataupun harta warisan)

Holan marsikkola na boi… (Hanya menyekolahkan yang sanggup)

Tarbahen au di ho anakhon hu… (Kulakukan untukmu anak-anakku)

Lagu berbahasa Batak Toba itu diciptakan Sakkan Sihombing dan dipopulerkan Rajumi Trio pada 2017, tahun di mana banyak lagu modern daerah lain cenderung lekat dengan tema asmara.

Ada juga lagu Anakku Naburju, Boru Panggoaran dan Jujung Goarhi Amang. Semuanya menceritakan tentang nasihat, harapan, dan perjuangan orang tua menyekolahkan anak.

Menurut Manguji, popularitas lagu-lagu tersebut membuktikan bahwa prinsip “anak harus sekolah” masih terjaga di kalangan komunitas Batak. Hanya saja, menurut dia, sebagian telah mengalami pergeseran motivasi.

“Ada rasa malu kalau dalam keluarga Batak itu tidak ada yang sarjana, tidak sekolah. Jadi, sudah lebih ke gengsi,” ujar Manguji.

Baca juga artikel terkait SARJANA atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Nanda Fahriza Batubara
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Fadrik Aziz Firdausi