tirto.id - Kolonialisme tidak hanya menorehkan episode kelam dalam sejarah umat manusia, tetapi juga meninggalkan warisan dalam berbagai aspek kehidupan yang terus berlanjut. Memasuki pertengahan abad ke-20, kolonialisme memudar diiringi kebangkitan nasionalisme pada koloni-koloni yang hendak merdeka. Namun, jejak-jejak penjajah di tanah jajahan tidak luntur begitu saja. Berpuluh-puluh tahun setelah kolonialisme bubar, segala yang diciptakannya semasa ratusan tahun penguasaan kerap masih bisa ditemui, mencuat bahkan diterima oleh mereka yang pernah dijajah.
Persoalan yang biasanya diwariskan oleh penjajah biasanya terkait identitas. Identitas sosial-budaya yang ditemukan pada masa kini, dalam banyak hal telah mendapatkan pengaruh dari kolonialisme, jika bukan dibentuk oleh kolonialisme. Salah satu kenyataan sosial yang begitu mendapatkan pengaruh oleh kolonialisme adalah persoalan terkait etnisitas.
Isu mengenai etnisitas di Afrika, India-Pakistan, Myanmar dan banyak wilayah bekas jajahan lain ditengarai oleh banyak peneliti merupakan dampak kolonialisme. Sebelum kolonialisme, peta sosial berdasarkan etnisitas bisa dikatakan tidak ada, atau mungkin berbeda sama sekali dengan yang ditemui saat ini. Beberapa ilmuwan sosial berkeyakinan bahwaetnisitas tercipta dari kondisi kontemporer, salah satunya melalui kolonialisme.
Proses pembentukan identitas dan kesadaran etnis di berbagai negara bekas jajahan sering kali memang digunakan sebagai instrumen untuk keperluan penyelenggaraan pemerintahan kolonial. Ilmuwan politik James Scott dalam bukunya Seeing Like a State (1998) menyebutkan salah satu corak penguasaan negara kolonial adalah usaha untuk melalukan simplifikasi atas kenyataan sosial yang kompleks dan beragam. Di antara upaya ini adalah penamaan dan kategorisasi. Dalam logika ini, kompleksitas masyarakat mempersulit penyelenggaraan pemerintahan menjadi lebih sukar. Walhasil, diciptakanlah kategori-kategori besar.
Antropolog Thomas Hylland Eriksen, seorang pakar kajian etnisitas, berpendapat bahwa kesadaran etnis merebak melalui proses pembentukan label dan kategori seperti itu yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Eropa.
“Pembentukan label yang ketat untuk kategori sejumlah orang tidak hanya memiliki dampak secara konseptual, tetapi juga secara sosial pada kelompok yang dilabeli,” demikian Eriksen dalam salah satu karya penting mengenai etnisitas Ethnicity and Nationalism (2010). “Karena label menjadi sebutan resmi, anggota kelompok pun mulai menggunakannya untuk mengidentifikasi diri mereka sendiri,” tandas Eriksen saat menjelaskan menggambarkan perubahan identitas etnis yang terjadi pada orang Chamba di Afrika Barat.
Sebelum para penjajah mendudukkan mereka sebagai kelompok etnik, orang Chamba tidak pernah ada dalam pengertian sebagai satu kategori etnis yang sama. Mereka terbagi dalam kelompok-kelompok kecil sesuai dengan kekerabatan dan loyalitas personal. Baru setelah orang Eropa memayungi kelompok-kelompok ini dengan istilah “Chamba” kesadaran etnis muncul: mereka mengidentifikasi diri sebagai orang Chamba. Pelabelan ini tidak hanya persoalan kategoris, tetapi secara langsung memengaruhi kesadaran etnis baru di kalangan masyarakat yang dilabeli.
“Orang Chamba tidak ada pada abad ke-19, bukan hanya karena ketiadaan istilah Chamba yang menggambarkan asal-usul, bahasa, dan budaya beragam, tetapi karena entitas etnis yang memiliki bentuk seperti etnis Chamba saat ini adalah penemuan modern,” terang Eriksen menegaskan konsep etnisitas sebagai temuan modern kolonialisme Eropa.
Proses pembentukan identitas etnis serupa juga terjadi pada orang Yoruba di Afrika Barat, Zulu dan Tswana di Afrika Selatan. Singkatnya, Eriksen menyoroti dalam banyak kasus etnisitas diciptakan secara artifisial oleh para penjajah dari Eropa. Pemahaman mengenai etnisitas yang seperti ini memang telah diterima secara lumrah dalam kajian-kajian ilmu sosial kontemporer.
Kajian-kajian ini juga ternyata telah dilakukan di Indonesia, mengingat Indonesia memiliki sejarah panjang kolonialisme. Kajian tentang etnis di Indonesia mengungkap beberapa identitas kesukuan yang ditemukan hari ini adalah warisan kolonialisme Eropa.
Salah satu contohnya dapat ditemui pada proses pembentukan identitas Batak yang telah lama diperdebatkan oleh para peneliti dan tokoh masyarakat Batak. Isu ini pernah hangat kembali ketika pada 2010 sejarawan asal Universitas Medan Ichwan Azhari mengungkapkan temuannya yang mengatakan istilah “Batak” sebagai kategori etnis dikonstruksi oleh para misionaris Jerman yang kemudian dilanggengkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Azhari menyimpulkan temuan itu setelah memeriksa arsip-arsip seputar Batak di Jerman dan Belanda.
Menariknya, proses serupa bisa ditemukan pada pembentukan kategori etnis lain di Indonesia, seperti kategori etnis Dayak di Kalimantan. Lantas, jika memang pemerintah kolonial memiliki andil dalam persoalan itu, bagaimana proses kontruksi itu terjadi? Dan mengapa pemerintah kolonial menciptakan kategori-kategori etnis di wilayah jajahannya?
Politik Etnis Belanda di Sumatera
Daniel Perret dalam bukunya Kolonialisme dan Etnisitas (2010) memberikan pemaparan historis dan etnografis mengenai Batak sejak abad ke-2. Dalam buku itu, Perret beberapa kali menekankan bahwa istilah “Batak” sebagai kategori etnis yang mewadahi ragam kelompok di wilayah Sumatera Utara dikonstruksi oleh para penjelajah, etnograf, antropolog, misionaris dan terakhir dilanggengkan oleh pemerintah kolonial Belanda selama penguasaan Sumatera, terutama pada era perkebunan swasta abad ke-19 dan 20.
Berdasarkan penelusuran Perret, masyarakat “Batak” sudah disebut oleh ahli geografi asal Yunani Ptelomeus yang pada abad ke-2 menggambarkan penduduk di Sumatera bagian utara (disebutkan: “Pu’lo” dan “Barus”) secara stereotipikal: masyarakat kanibal. Namun, istilah yang mendekati kata “Batak” baru mencuat saat Nicolo de’ Conti menceritakan masa tinggalnya di “Schumatera” pada 1430. Ia menjadi orang pertama yang menyebut populasi setempat sebagai orang “Batech”.
Selanjutnya istilah “Bata” juga muncul dalam tulisan masyhur Suma Oriental karya Tomé Pires pada 1515. Pada waktu-waktu berikutnya, istilah “Batak” kemudian digunakan secara peyoratif oleh orang Melayu dan Eropa untuk menggambarkan masyarakat pedalaman di Sumatera Utara yang dianggap kanibal dan gemar berperang. Padahal, menurut Perret, berdasarkan data etnografi yang tersedia, populasi yang dilabeli “Batak” ini pada awalnya tidak mau menerima kategori ini. Pasalnya, istilah ini sering dijadikan ejekan oleh orang luar. Mereka pun merasa berbeda satu sama lain. Perret mencatat temuan catatan etnografi pada 1880 yang mengatakan bahwa penduduk di sekitar selatan Toba tidak menerima penyebutan “Batta” untuk kelompoknya karena kata ini sering digunakan oleh orang Melayu untuk menghina penduduk pedalaman. Selain itu, Perret juga mencatat dalam sastra lokal, sebutan “Batak” jarang ditemukan untuk merujuk kelompok yang bersangkutan.
Namun, orang Eropa tetap menggunakan istilah “Batak” sebagai kategori pemisah antara populasi pedalaman yang berbeda dengan populasi pesisir yang Melayu dan Islam. Sejak abad ke-19, para peneliti Eropa mulai berlomba untuk memetakan area yang disebut-sebut sebagai “Tanah Batak” (Bataklanden) dengan menggeneralisir kesamaan adat, bahasa dan mitos asal-usul. Di sisi lain, memasuki abad ke-20, para peneliti Eropa mulai memperhatikan perbedaan-perbedaan mencolok di antara kelompok-kelompok yang mereka kategorikan sebagai “Batak”.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ditemukan, Belanda yang menguasai Sumatera memilih melanggengkan kategori “Batak” dalam sistem administrasi kolonialnya. Melihat hal ini, Perret kemudian menyimpulkan kategori “Batak” sebagai etnis merupakan label identitas yang kabur (evasive identity), yaitu pelabelan kategori etnis oleh orang dari luar kelompok. Identifikasi ini biasanya melibatkan pencantuman atribut-atribut stereotipikal, misalnya pemakan babi, bukan melayu, bukan Islam, dan tinggal di pedalaman. Petugas pemerintah kolonial sejak abad ke-19 melanjutkan usaha untuk memetakan “Tanah Batak” dengan melakukan homogenisasi dan generalisasi.
“Dalam fase ini, aspek-aspek kesamaan fisik dan budaya di seluruh wilayah yang telah ditentukan batas-batasnya mulai dicari-cari,” tulis Perret.
Lantas mengapa pemerintah kolonial melakukan usaha-usaha ini?
Kepentingan Kolonial di Bataklanden
Pada 1888 Perret mengungkapkan bahwa seorang Bruder atau rohaniawan Katolikbernama J. Kreemer menyampaikan pidato di depan parlemen mengenai urgensi pengembangan Kristen di “Tanah Batak” (Bataklanden) karena persebaran Islam dan kekuatan kesultanan di Sumatera, terutama pengaruh Aceh yang dianggap akan mengganggu kestabilan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.
Berdasarkan catatan Perret, pada tahun yang sama pemerintah kolonial mulai menugaskan sejumlah kontrolir khusus untuk urusan “Batak” di Bataklanden. Selain menjaga dan memperluas perkebunan, mereka bertujuan memisahkanmasyarakat pesisir dan masyarakat pedalaman. Tentu saja tujuan ini bermotif politis, sebagaimana disampaikan langsung oleh kontrolir Westenberg dari Karo pada 1891.
“Saya berpendapat bahwa demi alasan-alasan politik, akan jauh lebih baik untuk tidak memperkuat pengaruh langsung Sultan dan kepala-kepala urung (satuan administrasi onderafdeling) yang semuanya Islam dan terus menganggap daerah-daerah dusun Batak sebagai satuan-satuan terpisah, atau lebih tepat dikatakan spesifik,” tulis Westenberg seperti dikutip oleh Perret.
Untuk mengesahkan praktik pemisahan seperti itu, para pegawai kolonial mencari landasan yang jelas untuk kategori etnis yang mereka ciptakan. Pada 1908 didirikan sebuah institut yang secara khusus bekerja untuk memantapkan rumusan identitas “Batak” dan segala informasi tentang Bataklanden, yaitu Bataaksch Instituut di Leiden. Dua tahun berikutnya, kontrolir Kok yang bertugas di Deli-Serdang melaporkan keberhasilannya dalam mengumpulkan ciri-ciri budaya dan psikologis “Batak” berkat kerja sama dengan misionaris dan para peneliti. Sementara setahun sebelumnya, kontrolir Westenberg yang bekerja di dataran tinggi Karo juga berhasil menyusun dan mengesahkan sebuah teks adat dalam bahasa Karo yang dianggap menjadi penanda identitas “Batak Karo”.
Usaha serius dilakukan lagi menjelang tahun 1930-an. Menurut Perret, pada era itu pemerintah kolonial berusaha untuk tidak sekadar mengembangkan kesadaran etnis pada masyarakat “Batak”, tetapi juga memperkuat kesadaran nasionalis lokal untuk menandingi kebangkitan gerakan nasionalis Indonesia. Hal ini terutama dilakukan di Tapanuli, misalnya dengan rencana pembentukan Groepsgemeenschap (satuan berbagai kelompok) yang akan dipimpin oleh Batakraad (Dewan Batak) pada 1939. Menariknya, Perret mengungkap bagian dari orang yang dianggap “Batak”, seperti orang Mandailing, menolak keras rencana ini, sekaligus menolak mengidentifikasi diri sebagai “Batak”.
Jadi, bagi Perret, masyarakat yang sekarang dikategorikan sebagai Batak memang sudah eksis pada masa pra-kolonial dalam berbagai kelompok yang memiliki kemiripan. Namun, kesadaran etnis seperti yang ada pada saat ini belum ada. Kolonialisme kemudian menghadirkan kategori etnis Batak yang modern.
“Kami berpendapat bahwa pada zaman pra-kolonial, sebutan “Batak” tidak ada dalam sumber-sumber di pedalaman,” tulis Perret di bagian kesimpulan. “Beberapa pengamatan langsung yang dilakukan orang Barat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menunjukkan bahwa ketika kategori Batak digunakan di pedalaman, sebutan itu selalu merujuk kepada “orang lain, tidak pernah diri sendiri.”
Bukan Hanya Batak
Tidak hanya di Sumatera, konstruksi identitas etnis juga terjadi di Kalimantan. Seperti disebutkan oleh Taufiq Tanasaldy dalam buku Regime Change and Ethnic Politics in Indonesia (2012), di Kalimantan penamaan “Dayak” tidak temukan atau digunakan untuk merujuk satu komunitas etnik pada ratusan tahun yang lalu, terutama sebelum kedatangan penjajah. Awalnya istilah “Dayak” digunakan oleh kesultanan-kesultanan Melayu untuk menyebut sekelompok populasi yang tinggal di pedalaman. Istilah itu kemudian dipopulerkan dalam laporan-laporan orang Eropa sebelum nantinya dipakai oleh pemerintah kolonial Inggris dan Belanda.
“Label etnis yang sifatnya memayungi seperti itu dulunya tidak ada untuk penduduk lokal. Bagi beberapa dari mereka, “Dayak” hanyalah kata lain dalam kosakata mereka, yang berarti ‘bagian dalam’ atau juga ‘orang’,” tulis Tanasaldy. “Beberapa penduduk lokal ini mungkin memang memiliki hubungan kekerabatan, tetapi mereka pada awalnya tidak melihat diri mereka sebagai anggota kelompok etnis yang sama.”
Salah satu dokumen yang menunjukkan kontruksi identitas seperti ini telah ditulis pada 1881 oleh seorang geograf dan etnolog Pieter Johannes Veth dalam artikel berjudul “De Oorsprong van den Naam Dajak”, selanjutnya diterjemahkan dan ditinjau ulang oleh Allen Maxwell dengan judul “Origins of The Name Dayak” yang dimuat dalam Borneo Research Bulletin (Vol. 15, No. 2, 1983).
Veth mengatakan bahwa identitas “Dayak” sebagai kategori etnis besar yang melingkupi seluruh populasi lokal Kalimantan—bahkan juga sampai ke Sulawesi—adalah pemberian para pegawai kolonial yang melanjutkan penamaan “Dayak” dari orang-orang Melayu untuk merujuk masyarakat pedalaman yang bukan Islam. Veth mengutip sebuah studi etnografi yang dilakukan M.T.H. Peralaer pada 1881:
“Tidak ada tempat di Kalimantan, setidaknya di bagian pulau yang kita (Belanda) kuasai, yang menunjukkan bahwa kata itu akrab digunakan; kata itu hanya dikenal di distrik-distrik yang bersentuhan dengan kita orang Eropa,” tulis Peralaer sebagaimana dikutip Veth.
Penamaan itu kemudian malah menjadi lumrah digunakan oleh orang Eropa. Merujuk kembali kepada tulisan Tanasaldy, awalnya beberapa kelompok “Dayak” merespons label itu dengan penolakan, tapi ada juga beberapa yang justru mengapropriasinya. Selanjutnya, pada periode setelah Perang Dunia II, kategori etnis “Dayak” digunakan oleh Belanda untuk menandingi gerakan kemerdekaan. Jika selama periode sebelumnya, orang “Dayak” selalu dimarginalisasi secara politis oleh kesultanan Melayu. Pada periode ini, Belanda yang mencoba melakukan restorasi kekuasaan pada 1947 membuka peluang bagi orang “Dayak” untuk terlibat dalam politik melalui pembentukan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Meskipun, jauh sebelum itu, pada 1919 sebenarnya telah terbentuk Sarekat Dayak. Namun, menurut Tanasaldy pemberian akses dan peluang pada 1947 itu membuat kesadaran etnis baru mencuat dan menguat di kalangan masyarakat “Dayak”
“Label itu menjadi lebih menarik bagi penduduk asli setelah pemerintah (Belanda) pasca perang dunia kedua memberikan peran politik kepada Dayak,” tulis Tanasaldy. “Terlepas dari perseteruan di antara kelompok mereka di masa lalu, ikatan di antara penduduk lokal telah menguat sebagai hasil dari konstruksi identitas, pengalaman marginalisasi yang serupa dan tujuan politik mereka yang umumnya sama.”
Penulis: Mochammad Naufal
Editor: Windu Jusuf