Menuju konten utama

Membakar Uang di Jalan

Sekitar 18 persen pendapatan warga Jakarta dihabiskan untuk ongkos transportasi.

Membakar Uang di Jalan
Calon penumpang memadati Stasiun Tanah Abang ketika jam pulang kerja. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Bagi Dimas Oetama, perjalanan menuju kantor adalah perjuangan.

Setiap pukul 6 pagi, ia berangkat dari rumah di Ciawi menuju Stasiun Bogor dengan naik motor, menempuh jarak sekitar 30 kilometer selama 1 jam.

Dari Stasiun Bogor, ia masih harus berdesakan dengan ribuan penumpang Commuter Line jurusan Manggarai. Menurut PT KAI Commuter Jabodetabek, ada 850.000 penumpang KRL setiap hari.

Tama, panggilan akrab Dimas, turun di Stasiun Tebet, Jakarta Selatan. Dari sana ia masih harus naik mikrolet 44 dan berhenti di bawah jalan layang Kuningan. Lalu ia jalan kaki menuju kantornya.

"Dari stasiun Tebet ke fly over Kuningan, ongkosnya 4 ribu rupiah," kata Tama yang bekerja di satu perusahaan teknologi informasi.

Selain menguras waktu, perjalanan menuju kantor juga menguras dompet. Dari rumah menuju Stasiun Bogor, ia memerlukan biaya bensin sekitar Rp15 ribu untuk tiga hari. Kalau naik kendaraan umum, ia harus berganti beberapa kali.

Itu tentu tak efektif dan lebih mahal, dan karena itulah ia menggunakan motor. Untuk perjalanan kereta menuju Tebet, ia mengeluarkan ongkos Rp4 ribu sekali jalan.

"Total kalau ditambah dengan parkir motor, sehari bisa 24 ribu rupaih," ujar Tama.

Dalam sebulan, dengan total 20 hari kerja, Tama menghabiskan kurang lebih Rp480 ribu hanya untuk ongkos transportasi.

"Itu kurang lebih 11 persen dari gaji saya," katanya.

Biaya transportasi pekerja Jakarta memang lumayan besar. Apalagi untuk pekerja yang tinggal di luar Jakarta. Berdasarkan standar Kebutuhan Hidup Layak buruh Jakarta, ongkos transportasi para pekerja diperkirakan menghabiskan dana sekitar Rp570 ribu setiap bulan.

Itu bukan jumlah sedikit untuk para buruh dengan upah minimum regional DKI Jakarta sejumlah Rp3,1 juta (tahun 2016). Dengan hitungan itu, berarti buruh DKI Jakarta mengeluarkan sekitar 18 persen dari total pengeluaran hanya untuk transportasi. Artinya, Jakarta termasuk kota dengan ongkos transportasi termahal di dunia.

Kota-Kota Dunia dengan Ongkos Tranportasi Mahal

Situs Slice pernah merilis data tentang kota dengan transportasi publik termahal bagi para pekerja commute (hunian dan tempat kerja berbeda wilayah). Data ini bersumber dari penelitian Expert Market dan Business Insider.

Peringkat 10 adalah kota Buenos Aires (Argentina). Para pekerja di sana rata-rata mengeluarkan 11 persen dari total pendapatan untuk transportasi. Selanjutnya adalah pekerja di Paris (Perancis) yang mengeluarkan dana 12 persen dari pendapatan per bulan untuk commuting.

Pekerja di London (Inggris) menyisihkan 13 persen total pendapatan untuk transportasi publik. Di kota ini banyak pekerja memilih untuk bersepeda. Namun moda ini dianggap berbahaya karena cuaca sering buruk dan pengendara yang ugal-ugalan.

Jakarta dengan ongkos transportasi 18 persen dari pendapatan seimbang dengan Madrid (Spanyol) di peringkat keempat. Juaranya adalah Venezia (Italia). Kota air ini membuat para pekerja harus mengeluarkan sekitar 26 persen dari total pendapatan untuk transportasi.

Secara nasional, rata-rata warga Indonesia menghabiskan 12,5 persen pendapatan untuk transportasi. Jumlah ini hanya menempati peringkat kelima di Asia Tenggara. Secara rata-rata, warga Vietnam adalah yang paling banyak mengeluarkan dana untuk transportasi. Angkanya mencapai 18,7 persen dari total pendapatan bulanan.

Sedangkan peringkat kedua adalah Malaysia (rata-rata 17,1 persen). Singapura, yang dikenal negeri mahal, ternyata tak seberapa mahal untuk urusan transportasi pekerja—menempati urutan keempat. Para pekerjanya menghabiskan 14,3 persen dari pendapatan mereka untuk ongkos transportasi.

Meski ongkos transportasinya mahal, apakah Jakarta sudah menyediakan fasilitas yang layak? Jawabannya: Belum.

KRL, yang sering menjadi tumpuan para commuter, masih sering mengalami gangguan. Supir mikrolet, metromini, dan Kopaja kerap ugal-ugalan. Pada 2015, ada 93 kasus kecelakaan yang melibatkan mikrolet, 62 kasus melibatkan metromini, dan 41 kasus melibatkan Kopaja.

Bus Transjakarta? Dari 823 unit bus PT Transjakarta, yang beroperasi hanya sekitar 468 sampai 547 unit. Jumlah ini harus melayani rata-rata 350.000 penumpang setiap hari. Itu pun ada kurang lebih ada 120 bus yang mogok saban hari.

Para pekerja di Jakarta memang serba salah. Mereka tak mampu beli rumah di dekat kantor sehingga terpaksa tinggal di kota tetangga. Pilihan transportasi sedikit. Ongkosnya termasuk paling mahal di dunia. Namun mereka belum bisa menikmati fasilitas yang nyaman dan aman.

Mereka, para pekerja itu, membakar uang di jalan.

=========

Naskah diperbarui pada 8 September 2017

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Fahri Salam