Menuju konten utama

Cara-cara Metromini dan Kopaja Bertahan di Jalanan Ibukota

Dari ngetem, memecat kernet, sampai memotong rute jalan karena macet dilakukan para sopir bus-bus tua demi bisa kejar setoran dan bawa pulang uang ke rumah.

Cara-cara Metromini dan Kopaja Bertahan di Jalanan Ibukota
Petugas Dinas Perhubungan DKI Jakarta menderek bus Kopaja yang berhenti di sembarang tempat saat mencari penumpang di Kawasan Cikini, Jakarta, Jumat (17/6). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga.

tirto.id - Sahat Sianturi tengah duduk menikmati kopi di sebuah warteg di Pondok Labu. Ia sedang menunggu kedatangan kawannya, Rahman Gultom, yang menjanjikan bakal memberinya jatah sopir. Setelah setengah jam menunggu, terlihat Metromini yang disopiri Rahman mendekat.

“Kok lama, Lay,” kata Sahat segera menaiki Metromini. “Aku sudah pesen kopi lagi belum kuminum.”

“Macet,” jawab Rahman. Mereka segera bertukar kursi. Segera setelah duduk di belakang setir, Sahat menancap gas. Rahman, yang duduk di belakangnya, tengah menghitung uang dari hasil tarikannya. Tak lama bus berjalan, Sahat menurunkan Rahman di depan sebuah bengkel, lalu melanjutkan perjalanan.

Sahat dan Rahman kerap bergantian menarik Metromini. Di waktu senggang Sahat beralih profesi menjadi montir dadakan. Tak banyak yang bisa ia kerjakan, tetapi paling tidak ia menguasai cara memperbaiki hal-hal sepele yang kerap membuat Metromini ngadat. Keahlian itu ia dapat secara otodidak dari sopir-sopir bus lain.

“Ini tadi diminta tolong ganti seal master kopling, katanya sering ceplos. Habis narik ini nanti baru kita garap,” ujar Sahat.

Urusan kerusakan Metromini memang jadi tantangan bagi pemilik dan sopir. Perkaranya sederhana tetapi sulit cari onderdil: usianya bangkotan, sudah lebih dari 15 tahun. Para sopir harus pintar-pintar mengakali kerusakan. Jika tidak, Metromini gampang batuk-batuk di jalan, dan imbasnya, mereka kehilangan calon penumpang.

“Bus ini Mitsubishi, bandel emang mesinnya. Tapi harus pandai-pandai merawat, karena sekali rusak, susah dan mahal onderdilnya,” katanya.

Menurut Sahat, ada satu bengkel yang masih menjual onderdil Metromini di daerah Pondok Labu. Namun, karena harganya mahal, banyak pemilik Metromini yang memilih minta tolong Sahat untuk mengakali. Dari spion hingga lampu.

“Kalau beli lampu itu mahal, sudahlah kita ganti pakai lampu mobil biasa yang murah-murah, bisa beli seken. Spion juga gitu, ngapainlah beli, kita pasang aja spion lain yang bisa. Asal fungsinya cocok.”

Namun, jika yang rusak adalah mesin, pilihannya jadi sulit, antara memperbaiki dengan harga mahal atau memensiunkan diri. "Kalau rusak, ya sudah mending dikiloin,” tambahnya.

Ngetem

Kalau bus sudah bisa berjalan dengan baik, tantangan selanjutnya tentu mendapatkan banyak penumpang. Dan cara terbaik yang paling sering dilakukan para sopir bus yang sudah tergulung zaman ini, sebagaimana dialami oleh banyak penumpangnya, adalah dengan mengetem.

Setidaknya Anda bisa mengikuti bagaimana kredo itu dijalankan oleh Dadang, sopir Metromini jurusan Kampung Melayu–Pulo Gadung.

Dadang enggan menyalakan mesin jika penumpangnya kurang dari 10 orang dari terminal. Jika tidak, katanya, ia terancam nombok bensin dan setoran yang jumlahnya Rp200 ribu per hari.

“Kalau langsung jalan, belum tentu dapat penumpang. Sudah beda zamannya. Kalau dulu penumpang cari bus, sekarang bus cari penumpang,” ujar Dadang tertawa.

Sepanjang perjalanan dari Kampung Melayu, Dadang sempat berhenti empat kali di daerah persimpangan, berharap ada penumpang tambahan. Ia tak peduli dengan bunyi klakson mobil dan motor menyahut di belakangnya, bahkan sekalipun ada teriakan dari pengendara lain.

“Aing cari duit, kalau enggak ada penumpang rugi,” celetuknya. “Ya memang harus sabar-sabar saja.”

Meniadakan Kernet

Minimnya pengguna Metro Mini yang kini dirasakan oleh para sopir membuat mereka memutar akal untuk mengurangi pengeluaran. Sebagian besar sopir memilih tidak menggunakan kernet lagi demi bisa membawa uang pulang ke rumah.

Suryadi, misalnya, selama menjadi sopir Kopaja sejak 1980, ia menggunakan jasa kernet. Ini mempermudah kerja karena banyak penumpang yang naik-turun. Namun, sejak 2014, ia sudah tidak lagi menggunakan kernet. Udin, kernet andalannya terpaksa dipecatnya.

“Kalau enggak, ya saya enggak bisa setoran. Kan duit harus dibagi dua sama kernet. Berat juga mecatnya, karena sudah bertahun-tahun kerja sama saya,” ujarnya.

INFOGRAFIK HL Metromini

Potong Rute

Selain memecat kernet, cara lain adalah menghemat bensin. Pada rute-rute macet, beberapa sopir memilih memotong rute jalan.

Imam, sopir Kopaja 612 jurusan Ragunan–Kampung Melayu, memilih tidak melewati Mampang karena macet parah. Dari Kemang Timur ke Mampang saja ia harus menempuh waktu 40 menit. Padahal, jika menggunakan sepeda motor, hanya sekitar 5 menit. Karena itu ia memilih memotong rute melalui Duren Tiga lantas melewati Kalibata, barulah ke Kampung Melayu.

“Saya kapok lewat Mampang, bensin habis, penumpang pada turun karena kelamaan macetnya, waktunya habis di jalan,” kata Imam.

Pernah dalam perjalanan, Imam terjebak macet selama lima jam. Akhirnya ia memutuskan pulang ke rumah dan tidur.

“Nombok setoran setengah hari enggak apa-apa daripada dongkol di jalan."

Potong rute itu ini banyak dilakukan oleh sopir lain jika jalanan macet. Mereka terpaksa menurunkan penumpang di tengah jalan dan dioper ke bus lain.

Urusan mengoper penumpang juga kerap dilakukan oleh Dadang. Jika rute Kampung Melayu ke Pulo Gadung sepi, ia tidak segan menurunkan penumpang di Jalan Pramuka. Ia memilih kembali ke Kampung Malayu yang berpotensi lebih banyak penumpang.

“Tidak punya pilihan," kata Dadang. "Enaknya putar balik saja."

Cara-cara yang dilakukan para sopir dan montir Metromini dan Kopaja ini tentu merugikan penumpang. Dari aspek keselamatan di jalan hingga kerugian waktu. Namun cara seperti ini sudah memang jadi cari terakhir mereka agar tetap bisa bertahan di jalanan Ibukota.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI PUBLIK atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam