Menuju konten utama

Parade Angkot Jakarta Tempo Dulu

Batavia, sebagai pusat pemerintahan kolonial Belanda, berkembang lebih pesat dalam soal transportasi umum. Pernah dilintasi bermacam angkutan. Dari andong, trem kuda, trem uap, trem listrik, sampai oplet.

Parade Angkot Jakarta Tempo Dulu
Bus Kopaja menerobos Jalur Transjakarta di tengah kemacetan lalu lintas di Jatinegara. Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sebelum ada kendaraan umum yang biasa disebut angkot, ratusan tahun silam, orang-orang di Betawi biasa naik kereta kuda, kudanya saja, pedati, dan kebanyakan jalan kaki. Perkembangan teknologi ikut meringkas jarak, dengan kehadiran kendaraan yang mengantar para pelaju dari satu tempat ke tempat lain.

Demi kelancaran transportasi, Gubernur Jenderal Herman Daendels, yang berkuasa 1808-1811, bahkan memaksakan rakyat di Pulau Jawa membangun Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan. Tentunya agar kereta kuda bisa melintas. Setelah muncul kereta api, di masa tanam paksa (1830-1870), kereta api muncul sejak 1867 di Semarang-Tanggung. Setelahnya jalur rel berkembang menghubungkan kota-kota di Pulau Jawa.

Di pusat kuasa Hindia Belanda, Betawi alias Batavia, rel sudah ada pada 1869 ketika angkutan massal bernama trem beroperasi, yang bisa mengangkut 40-an orang. Menurut Alwi Shahab dalam Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2001), trem ini berupa kereta panjang yang berjalan di atas rel, tetapi ditarik oleh tiga atau empat ekor kuda. "Kusirnya menggunakan terompet sebagai pengganti klakson,” tulisnya.

Masalah angkutan warga kota memang teratasi dengan adanya trem. Namun, “Pemerintah kota (Betawi) kala itu direpotkan oleh kuda-kuda yang buang air di jalan-jalan yang dilaluinya."

"Selain itu, banyak kuda yang pingsan dan kemudian mati kelelahan karena mengangkut puluhan penumpang dalam gerbong,” tulis Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi (2004). Menurut Susan Abeyasekere dalam Jakarta: A History (1989), setidaknya lebih dari 500 kuda mati dalam setahun karena menarik trem milik Bataviasche Tramweg Maatschappij (BTM).

Setelahnya, tulis Shahab dalam Betawi: Queen of the East (2004), trem uap mulai dipergunakan pada 1881. Tetapi masalah trem uap tak kalah bermasalah seperti trem kuda. Kayu bakar yang basah di kala hujan bisa mengganggu trem uap. Bikin trem terancam mogok.

Pada Akhir abad 19, muncullah alternatif baru kereta api: trem listrik. Sejak 1899, Batavia Elektrische Tram Maatschappi (BETM) mengoperasikan trem listrik di pusat Hindia Belanda itu.

Nederlands-Indische Tramweg Maatschappij (NITM) dan BETM, yang memiliki jalur rel berbeda, pada 1930 disatukan menjadi Batavia-Elektrische Tram Maatschappij (BVM). Jalur trem uap yang sebelumnya milik NITM kemudian dikonversi menjadi trem listrik. Tentu saja trem hanya menjangkau daerah ramai dan jalurnya berada di sebelah jalan raya, sama halnya TransJakarta sekarang.

Transportasi umum dalam kota selain trem adalah kereta kuda atau disebut andong. Setidaknya Eerste Bataviasche Rijtuig Onderneming (EBRO) dan Rijtuig Onderneming Petaja Oost (ROPO) berebut penyewa.

Jalur kereta api pun membantu angkutan dalam kota di era kolonial. Sejak 6 April 1925, menurut Sejarah Perkeretaapian Indonesia (1997), kereta rel listrik pertama di Indonesia beroperasi di jalur Tanjung Priok-Jatinegara. Belakangan berkembang dan, hingga hari ini, angkutan massal ini mengantar penumpang sampai ke kota sekitar Jakarta seperti Bekasi, Bogor, Depok, dan Tangerang.

INFOGRAFIK HL Metromini

Setelah masuknya mobil ke Hindia Belanda, giliran angkutan darat ini berkembang dan pelan-pelan mengubah ruang kota.

Dalam catatan Ensiklopedi Jakarta jilid II (2005), mobil sebagai angkutan umum bernama oplet hadir pada 1930 di Jakarta.

“Dahulu operasi oplet terbatas di Jakarta Timur, yakni daerah Pasar Kramat Jati, Cijantung, Cibubur, dan Cilangkap juga Cisalak sejak 1950-an dengan izin trayek resmi. Tahun 1979, izin trayek itu dihapuskan dan kemudian digantikan fungsinya oleh Mikrolet, Metromini, maupun Koperasi Wahana Kalpika.”

Oplet yang menghilang sekitar 1995-an pernah populer berkat sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang legendaris itu.

Kita juga perlu mengingat nama PPD bila bicara angkutan massal di DJakarta. Perusahaan ini mulai ada setelah BVM diambil-alih pemerintah Republik Indonesia ketika hubungan Indonesia-Belanda memburuk. Pada 1954. PT (Persero) Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) akhirnya didirikan. Menurut Alwi Shahab, hanya sebentar perusahaan itu mengurusi trem.

“Ketika mengelola trem listrik, perusahaan mengalami kerugian,” tulis Shahab.

Akhirnya, “atas perintah Presiden (Sukarno) trem kota harus dihapus. Alasan beliau, karena tidak ada kota modern yang masih menggunakan trem kota,” tulis mantan Walikota dan Gubernur Jakarta Sudiro dalam Pelangi Kehidupan: Kumpulan Karangan (1986).

Hasil wacana penghapusan sekitar pertengahan 1950-an itu, akhirnya trem tak ditemukan lagi pada 1960-an. PPD belakangan hanya dikenal sebagai perusahaan yang mengoperasikan banyak armada bus.

Metromini jadi kebanggan warga Kota Jakarta sesudah trem tak ada lagi. Semula bus di masa Gubernur Soemarno Sosroatmodjo, yang menggantikan Gubernur-cum-pelukis Henk Ngantung, ini dipakai buat transportasi peserta Pesta Olahraga Negara Negara Berkembang (GANEFO) pada 1962 atas perintah Presiden Sukarno.

Di masa ini perubahan politik Indonesia berubah 180 derajat. Sukarno disingkirkan. Soeharto pelan-pelan naik sebagai presiden. Pada 1976, di era Ali Sadikin, Metromini resmi dikelola oleh sebuah perusahaan, bersama Koperasi Angkutan Jakarta alias Kopaja, buat melayani aktivitas bepergian warga ibukota.

Kini, dengan laju penduduk Jakarta yang makin padat, sekitar 12,7 juta jiwa, kebutuhan atas transportasi yang aman dan terjangkau plus nyaman semakin diharapkan. Pada 2004, manajemen PPD yang kurang apik mengelola transportasi publik diganti oleh PT TransJakarta.

Seiring terus dilakukan pembenahan, termasuk penambahan koridor dan halte, sistem transportasi publik ini disebut-sebut memiliki jalur lintasan terpanjang di dunia (208 km), dan bisa melayani warga Jakarta selama 24 jam.

Angkot-angkot lain mulai tergerus zaman. Kopaja maupun Metromini makin sepi penumpang. Pemerintah Jakarta sudah mengambil langkah untuk menggabungkan kedua armada itu menuju transportasi publik terintegrasi.

Pelan-pelan, sebagaimana nasib trem, oplet maupun bajaj, dengan proyek-proyek transportasi lain yang sedang digenjot seperti Mass Rapid Transit dan jalur komuter yang makin nyaman, kematian Metromini dan Kopaja pun tinggal tunggu waktu saja. Bahkan pemerintah Jakarta sudah mencanangkan: tahun 2018, mereka harus bersih dari jalanan ibukota.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI PUBLIK atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam