tirto.id - Sepuluh sampai lima belas tahun lalu, obrolan tentang teknologi kecerdasaan buatan atau Artificial Inteligence atau AImasih tergolong pembicaraan menara gading. Mayoritas orang bahkan menganggapnya fantasi belaka, yang mungkin saja terjadi, tapi tidak dalam waktu dekat.
Ketika serial Black Mirror tayang pertama kali 2011 lalu, ia juga tidak terlalu meledak sebagaimana sekarang. Cerita-cerita tentang kecerdasan buatan dan kemajuan teknologi yang jadi batang utama plot serial itu masih dianggap jauh dari realitas.
Mulai musim keduanya pada 2013, kisah-kisah dalam Black Mirror secara mengejutkan mendadak terasa sangat relevan. Salah satu episodenya bercerita tentang seorang perempuan yang menghidupkan lagi pacarnya, lewat data rekaman media sosial. Episode lain bercerita tentang sebuah negara yang orang-orangnya hidup berdasarkan rating dari orang lain—semacam likes di Instagram. Menariknya, rating tersebut sangat memengaruhi kehidupan mereka.
Black Mirror memang diciptakan Charlie Broker untuk mengkritisi sisi gelap dari perkembangan teknologi. Namun, yang menyegarkan, dalam tiap penuturannya, Broker selalu berhasil membuat teknologi-teknologi dalam serialnya—yang meski belum ditemukan—tapi terasa dekat dengan manusia sekarang.
Baca juga:Yorgos Lanthimos Diusulkan Menyutradarai Black Mirror Season 4
Dalam dekade yang sama, teknologi-teknologi canggih mulai diperkenalkan di dunia nyata. Ada beberapa teknologi, yang dulu mungkin terasa jauh dan hanya muncul di film-film, tapi nyatanya sudah dekat di depan mata. Salah satu yang paling anyar diperkenalkan tahun ini adalah mobil pintar, yang bukan cuma bisa menyetir sendiri tapi juga didesain khusus seperti kamar pribadi. Konsep itu dirilis oleh Volkswagen Group Maret lalu dengan nama Sedric.
Meski datang dari sektor otomotif, kehadirannya justru dianggap akan mengancam industri perhotelan. David Rimbo, Managing Partner Transaction Advisory Services (TAS) Ernst & Young Indonesia, mengamini prediksi disrupsi yang akan dibawa Sedric.
“Kebiasaan sewa hotel kalau mau ke luar kota bisa hilang nantinya. Orang tinggal istirahat dalam mobilnya, yang bisa menyetir sendiri,” kata Rimbo di International Management Accounting Conference (IMAC) Rabu (6/12). Sedric memang didesain—bukan cuma canggih—tapi juga lengkap seperti lounge. Ia bahkan punya meja kopinya sendiri.
Tak cuma Sedric, teknologi AI juga diterapkan pada benda lain. Salah satu yang paling anyar juga adalah piranti lunak (software) yang dikembangkan Amazon untuk dunia tata busana. E-commerce terbesar ini memang tidak terkenal karena produk fashion, tapi mereka terus mencoba menjajalnya.
Tim mereka di Lab126, yang berbasis di San Francisco, tengah mengembangkan software yang bisa mendesain baju baru hanya dengan algoritma dan sejumlah contoh foto. Sementara timnya yang di Israel, mendesain software yang juga menggunakan AI untuk membantu mengatur gaya penggunanya. Dengan mempertimbangkan tren di Instagram atau di internet.
Baca juga: Ketika Bot Mempecundangi Seorang Profesional
Kelak, teknologi ini bahkan bisa diletakkan dalam lemari seseorang, agar penggunanya bisa menyesuaikan pakaian mereka sekaligus menggunakannya sebagai pengarah gaya. Bahkan bisa menebak pakaian mana yang sesuai untuk cuaca di luar rumah.
Tentu saja, kehadirannya juga bisa mengobok-obok industri tata busana. Para perancang busana dan pengarah gaya boleh mulai khawatir.
Terlepas dari teknologi-teknologi yang masih dikembangkan ini, AI sudah diterapkan dalam benda lain. Sebut saja jam Wearable dan Fibit, jam pintar yang bisa mengukur segala aktivitas manusia, termasuk urusan kesehatan.
Ia telah memengaruhi cara kerja jasa asuransi. Sebab kemampuan alat ini merekam data jauh lebih efektif dan efisien ketimbang dilakukan manusia. Nilai pasar jam-jam ini diprediksi akan terus berkembang baik sampai angka 34 juta dolar Amerika Serikat (AS) pada 2020.
Produk lain adalah kulkas dengan AI. Milik Samsung, bahkan bisa menawarkan resep masakan dari makanan yang tersedia. Lebih jauh ke depan, kata Aaron Saphiro, ahli pemasaran dari Huge, kulkas lebih canggih juga tengah dikembangkan. Ia akan dilengkapi kamera di dalamnya, bisa melihat makanan apa saja, dan pada akhirnya membantu manusia merumuskan belanja mingguannya, atau bahkan diet makanan yang dibutuhkan.
Menurut Saphiro, salah satu dampak dari perkembangan teknologi ini adalah kematian para jenama. “Sebagaimana mesin mulai mengambil keputusan bagi orang-orang, semakin sulit pula bagi para tenaga pemasaran untuk mencari cara masuk ke hitung-hitungan itu, dan bagaimana memengaruhi tabiat konsumen,” kata Saphiro. “Ini akan mendisrupsi banyak sekali perusahaan,” tambahnya.
Baca juga: Ramai-ramai Tak Bisa Mengelak dari Disrupsi Bisnis
Menurut Rimbo, kemajuan teknologi ini sudah tak bisa dielakkan. Kehadiran mereka memang mengancam bisnis-bisnis konvensional. “Tapi memang sudah waktunya,” kata Rimbo.
Ia menganalogikan disrupsi ini seperti ketika mesin uap hadir dan mulai menggantikan tenaga kuda dan manusia. “Yang penting, Indonesia sudah jangan mau jadi pasar saja. Harus ikut juga berinovasi menciptakan pasar,” tambahnya.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra