tirto.id - Setelah nariksatu penumpang di pagi hari, Subari baru kembali ke pangkalan ojek di bawah jembatan layang Karet, Jakarta Selatan, pada jam tiga sore. Pria berusia 62 tahun ini menunggu hingga dua jam, tetapi penumpang tetap tak kunjung datang.
Hari ini profesi yang dijalani Subari memang kudu lebih sabar, atau kalau mau lebih cepat, ia semestinya bisa pindah dengan tambahan alat produksi baru: telepon pintar. Sayangnya, memang, tak sesederhana itu.
Apa yang dialami Subari adalah dampak dari (inovasi) teknologi yang mengubah tabiat para pelanggan. Perubahan ini biasa disebut inovasi disrupsi: pembaharuan yang secara drastis mengubah pasar. (Disrupsi, secara harfiah dalam Kamus Bahasa Indonesia, artinya "tercerabut dari akar".) Maka, roda bisnis pun ikut berputar. Pada 2014, di tempat mangkal Subari, setidaknya ada sekitar 50 pengemudi ojek. Kini jumlahnya tinggal 12.
“Dulu di sini ramai. Tapi pindah ojek online,” kata Wati, penjual kopi keliling berumur 40 tahun. Ia sudah jualan di pangkalan ojek Karet sejak 2000. Suaminya, yang lebih tua enam tahun, semula mangkal di sana, tetapi berakhir dengan bergabung sebagai pengemudi ojek online.
Perubahan ini mengungkit pemain lama terancam—yang sudah nyaman tak cuma dengan pola melainkan kebiasaan sebelumnya. Saingan cari nafkah bertambah. Demo supir angkot, tukang becak, dan ojek konvensional terjadi di pelbagai daerah. Sampai-sampai pemerintah sebagai eksekutif harus ikut campur: menjaga kenyamanan pelaku usaha konvensional, dan di saat bersamaan tidak mencoba menghambat perkembangan bisnis baru.
Salah satu contoh produknya adalah peraturan menteri yang menyebut angkutan daring sebagai angkutan sewa khusus. Ia mulai berlaku 1 November 2017 dengan masa transisi satu sampai tiga bulan.
Sebagai gambaran derasnya arus disrupsi, perusahaan teknologi disrupsi Go-Jek saat ini telah memiliki 400.000 pengemudi (ojek dan mobil). Lalu, apa alasan mereka yang masih bertahan dengan pola konvensional?
“Saya enggak bisa main hape. Puyeng enggak bisa SMS, enggak bisa nyari (penumpang) entar. Nanti itung-itungnya gimana? Kan, susah,” kata Subari.
Sebetulnya, anaknyasudah ingin mengajari cara menggunakan ponsel Android. Temannya pun, yang sudah bergabung dengan ojek daring, menawarkan hal serupa. Tapi Subari menolak. Gagap teknologi memang jadi satu alasan. Tapi ia bukan satu-satunya benang merah yang membuat para pengemudi ojek pangkalan seperti Subari enggan mengikuti arus disrupsi.
OjekPangkalan: Bebas dari 'Budak' Teknologi
Sambil duduk menghadap belakang motor, Subari menjelaskan alasan lain yang membuatnya enggan ikut ojek online. Sebagai ojek pangkalan daerah Karet, rata-rata penumpangnya diantar menuju daerah yang ia kuasai—sekitaran Duren Sawit dan Duren Kelapa.
Kalau bergabung ojek daring, Subari bakal menerima tujuan yang jauh lebih bervariasi dan harus siaga untuk menerima pesanan. Belajar daerah baru akan memakan waktu yang berdampak terhadap jumlah waktu istirahatnya yang semakin ia butuhkan.
Bukan cuma Subari. Persepsi berbeda soal disrupsi teknologi ojek online juga diungkapkan Rasmai, 54 tahun, yang telah ngojeksejak tahun 1994 di seputaran daerah Karet dan Sudirman. Saat ini ia ngojekdengan motor Supra X keluaran tahun 1990-an. “Suspensinya udah soak ini,” katanya sambil menunjuk motornya.
Sebagai pengemudi ojek pangkalan, jika mendapatkan calon penumpang bertubuh besar, Rasmai langsung bisa meminta ojek pangkalan lain untuk menggantikan. Lain hal kalau ia menggunakan aplikasi ojek online: menolak penumpang bakal berdampak terhadap nilai performanya sebagai pengemudi.
Alasan lain, dengan motor Supra tua miliknya, Rasmai tak memenuhi kriteria untuk bisa masuk di ojek online.
“Sekarang masuk Go-Jek minimal motor [keluaran] tahun 2010,” kata Wati. Ia menceritakan pengalaman anaknya yang bergabung dengan Go-Jek selepas lulus SMA. Hal macam ini dibenarkan Setiawan, 37 tahun, yang menjadi pengemudi Go-Ride selama dua tahun terakhir.
Sementara Sobirin, 52 tahun, beralasan bahwa ia "tak perlu mengikuti" arus teknologi ojek online karena masih punya langganan harian. “Alhamdulillah. Walaupun ada ojek-ojek online itu, ya saya enggak gentar,” katanya.
Terlebih lagi, ‘teknologi’ ala ojek pangkalan menurutnya, dalam situasi tertentu, lebih mutakhir dibandingkan aplikasi ojek online—terkadang aplikasi ojek online malah memilih pengemudi ojek yang masih jauh dari lokasi penumpang.
“Orang bisnis kalau pakai online enggak keburu. Kita [ojek pangkalan], kan, kalau ke luar kantor ya artinya 'siaran langsung'—tinggal tawar-menawar, habis itu langsung berangkat,” kata Sobirin. “Enggak pakai ngebel-ngebel [telepon] lagi, helm lengkap. Bedanya, ya, enggak pakai masker.”
Antara Papan Tulis Kapur dan Aplikasi
“Oi! Mas! Maju, Mas. Geser ke depan,” teriak para pengemudi ojek pangkalan (disebut juga Ojek Mitra) Stasiun Universitas Indonesia kepada seorang pengemudi ojek online yang ngetem di seberang stasiun.
Melihat kejadian itu, Eri langsung bingung. “Sebetulnya kalau mereka [ojek online] ngerti, enak. Tinggal dorong penumpangnya aja, ‘Bu, saya di sini’. Datanglah penumpang ke sana,” kata Eri, 57 tahun, yang sudah ngojek sejak 1990.
Berbeda dari pangkalan Karet, pangkalan Stasiun UI masih ramai dengan tukang ojek—135 pengemudi. Untuk merespons disrupsi ojek online, sudah ada kesepakatan: ojek online boleh menerima penumpang sekitar 20 meter dari Stasiun UI dan seluruh area fakultas.
Untuk itu, mayoritas pengemudi ojek pangkalan UI bakal mendapatkan penumpang dari kampus UI atau orang pulang kerja yang keluar dari stasiun. Lalu, bagaimana nasib dan koordinasi 135 pengemudi ojek? Papan tulis kapur jawabannya.
Papan tulis ini mencatat urutan pengemudi ojek lewat kombinasi nomor dan huruf. Para pengemudi bergantian menjaga papan tulis. Mereka yang menyerobot giliran akan langsung dipulangkan. Jejeran helm untuk penumpang digantung di belakang papan tulis kapur yang dipakai secara bergantian.
Melalui sistem ini, setiap pengemudi rata-rata kebagian 10 sampai 15 penumpang per hari dengan tarif minimum Rp10 ribu - Rp15 ribu untuk tujuan dalam kampus UI. Sehari para pengemudi ojek bisa mendapatkan antara Rp100 ribu - Rp150 ribu.
Ahmad, sambil bermain ponsel pintar merek Lenovo, berkata tak tertarik pindah ojek online. “Harus keliling-keliling, butuh pulsa, dan ngejar target bonus,” kata pria 44 tahun ini. Ditambah lagi, adiknya yang sudah bergabung ojek online harus pulang jam 1 malam untuk mengejar target.
Alasan senada diutarakan oleh Alex, 37 tahun, yang sudah ngojek sejak 2001 selepas ia menikah. Menurutnya, ojek online membuat profesi sebagai sopir ojek menjadi lebih rumit: untuk narik,harus ada kuota dan harganya pun tak pasti, tergantung hitungan aplikasi. Jika ojek pangkalan, katanya, penumpang datang sendiri.
Uniknya, penolakannya dari perspektif seorang pekerja tidak sama dengan persepsinya sebagai konsumen di tengah arus disrupsi.
“Saya pengguna ojek online juga di rumah,” kata Alex. “Anak saya pakai buat ke sekolah. Kalau mau pergi rombongan sekeluarga pakai Go-Car ... GrabCar."
Survei: Pindah ke Ojek Online Belum Tentu Selaras Ekspektasi
Syarkawi Rauf, Ketua Komisi Pengawasan Persaingan Usaha, mengatakan disrupsi teknologi ini nyatanya memang tak bisa ditolak. “Yang perlu dilakukan adalah adjustment (penyesuaian),” ujarnya. Ia sadar kalau perkembangan bisnis tak bisa dihambat, apalagi perkembangan teknologi yang membuat disrupsi bisnis berjalan lebih cepat.
Dalam penelitian JustJobs Network (Oktober 2016), disrupsi itu dibuktikan dalam angka. Dengan metode survei 205 pengemudi ojek online yang dilakukan oleh Victoria Fanggidae, Muto P. Sagala dan Dwi Rahayu Ningrum, ditemukan dua alasan utama yang mendorong pekerja formal dan informal memilih untuk pindah ke ojek online—dua alasan yang bertolak belakang dengan alasan para opang.
Pertama, meningkatnya penghasilan menjadi alasan dominan (43 persen) yang mendorong pekerja informal untuk pindah ke ojek online. Alasan lain, sebanyak 37 persen, menjadikan "fleksibilitas waktu" sebagai alasan mereka meninggalkan pekerjaan sebelumnya.
Lalu, apakah ekspektasi sesuai realitas?
Dalam survei itu didapati: 55 persen yang bekerja secara penuh waktu berkata mendapatkan penghasilan di bawah upah minimum Jakarta. Namun, 82 persen berkata mendapatkan kenaikan penghasilan jika dibandingkan pekerjaan mereka sebelumnya. Sebanyak 56 persen responden ternyata bekerja lebih dari 12 jam per hari, seperti adikAhmad. Sebanyak 30 persen dalam survei sama bahkan berkata mengalami penurunan kesehatan.
Bagi Alex, penghasilan yang ia anggap masih cukup membuatnya tak tertarik untuk pindah. “Kalau emang di sini enak, ngapain kita pindah?” ujarnya sembari menghidupkan mesin motornya untuk mengambil penumpang yang baru saja tiba. Alex dan para sopir ojek pangkalan lainnya seolah meyakini petitih lama: kalau memang sudah rezeki tak akan kemana.
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Fahri Salam