tirto.id - Dalam banyak hal, kantor Go-Jek di India memancarkan atmosfer perusahaan rintisan. Bertempat di lantai empat salah satu menara hitam mengilap di Distrik Diamond di pusat keramaian Bengaluru, kantor itu menampilkan kesan meriah sekaligus woles.
Di pintu masuk, terpacak sebuah motor dan beberapa helm hijau khas Go-Jek. Di dalam, aula berkarpet hijau, interior gelap, dan sekitar 60-an wajah muda yang disoroti cahaya layar laptop. Tingkap kaca besar memampangkan langit berawan dan kemacetan lalu lintas Bengaluru. Di sofa empuk di depan tingkap, beberapa programer leyeh-leyeh dengan laptop, begitu santai, hanya jemari mereka yang bergerak cepat di papan ketik. Dua orang India dan satu orang Indonesia berjalan melintasi aula menuju ruang rapat, antusias membincangkan sesuatu. Di balkon luar, beberapa orang merokok dalam diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Di dinding di ujung aula, tertulis "Tahukah Anda?" besar sekali, dilengkapi gambar sejarah singkat Go-Jek, Nadiem Makarim pendirinya, dan status terkini perusahaan aplikasi terbesar di Indonesia tersebut. Di atas hampir setiap meja kerja, terpajang statistik membanggakan: 250 ribu sopir, pertumbuhan 900 kali lipat, 90 kali lipat mitra pengiriman makanan.
Go-Jek, penyedia jasa ojek paling populer di Jakarta, adalah perusahaan internet pertama di Asia Tenggara yang membangun pusat pengembangannya di India. Ini dimulai sejak Go-Jek mengakuisisi C42 Engineering di Bengaluru dan CodeIgnition di Delhi pada April 2015. Hasilnya, hanya dalam sembilan bulan, dari Januari ke Oktober 2016, Go-Jek meluncurkan 19 produk baru. Volume transaksi Go-Jek pun meningkat hingga 900 kali lipat.
Awalnya hanya layanan ojek dan kurir, kini Go-Jek menjelma menjadi peranti orang Indonesia untuk memesan pelbagai jasa, dari perawatan kecantikan (Go-Glam), pijat (Go-Massage), bersih-bersih rumah (Go-Clean), pemesanan obat (Go-Med, pembelian makanan (G-Food), bahkan hingga jasa pembayaran daring (Go-Pay).
Ide membangun kantor di India muncul pertama kali pada awal April 2015, ketika Go-Jek menyewa C42 Engineering selama dua bulan di Jakarta untuk membereskan kekutu dalam aplikasi mereka. Menurut Ajey Gore, Direktur Teknologi Go-Jek, dan salah satu pendiri CodeIgnition, hubungan ini terjalin berkat Sequoia Capital India, investor yang membekengi Go-Jek.
“Beberapa karyawan kami di C42 pergi ke Jakarta untuk membantu, dan saat itu Go-Jek juga bekerja sama dengan tiga perusahaan lain,” kata Ajey, di ruang rapat berdinding kaca yang dipenuhi corat-coret warna hijau dan jambon, lalu menyeruput kopi.
“Pendekatan tiap perusahaan pasti berbeda-beda, tapi Go-Jek melihat filosofi kerja kami cukup mirip dengan mereka. Kami juga mafhum, Go-Jek akan tumbuh besar, dan menawarkan lebih banyak produk, tantangan teknisnya pasti akan semakin sulit sekaligus asyik. Itu yang membuat kami tertarik.”
Niranjan Paranjape, Kepala Arsitek Go-Jek dan salah satu pendiri C42, mengamini ucapan Ajey. “Awalnya, semua yang terlibat, termasuk Nadiem, meremehkan pasar di Jakarta. Setelah kami membereskan satu kekutu di aplikasinya, pesanan semakin melimpah, semakin banyak pengemudi mendaftar, dan kekutu-kekutu baru bermunculan. Kami bereskan lagi, lalu Go-Jek tumbuh 20 kali lipat, 50 kali lipat, lagi dan lagi, semakin banyak persoalan yang harus diatasi. Dalam dua bulan, kami jadi yakin Go-Jek ini produk unik, tak bisa ditemukan di tempat lain di Asia, kecuali China,” kata Niranjan.
Membangun kantor di Bengaluru, bagi Ajey, adalah jalan untuk memanfaatkan pengalaman perusahaan teknologi di India. “Bagaimanapun, ini bukan sewa jasa,” katanya. “Go-Jek dan Tim India memutuskan akan mengembangkan ini bersama-sama. Tantangan teknisnya seru. Dan kerja sama ini terjadi secara organik.”
Para teknisi India awalnya tidak tahu-menahu tentang Indonesia, tentu saja, tetapi setelah berkunjung mereka melihat betapa “bahagia dan bersahabat”-nya orang Indonesia. Ajey pun melihat banyak kesamaan antara India dan Indonesia. “Bahkan jalanan Jakarta sama macetnya dengan jalanan Bengaluru, tapi orang Jakarta jauh lebih disiplin dan kendaraannya berbaris rapi di tengah kemacetan!”
Meski dibanding India, baik Ajey maupun Niranjan sepakat, ekosistem perusahaan rintisan di Indonesia masih di tahap permulaan. “Di India, para programer biasanya melirik pasar Eropa atau Amerika. Tapi saya kira itu itu pasar yang membosankan. Kebanyakan tidak tahu penduduk Indonesia mencapai setengah populasi India, pendapatan per kapitanya tiga kali lipat India, dan penetrasi ponsel pintarnya sangat tinggi,” kata Niranjan.
“Cocok: Go-Jek ingin besar secara bisnis, dan kami punya kemampuan memaksimalkan potensi mereka.”
Pada April 2015, Go-Jek mencari kantor di Bengaluru, Silicon Valley-nya India. “Kami hanya mau kantor di pusat keramaian Bengaluru,” ujar Niranjan, tertawa. Kebanyakan perusahaan besar perangkat lunak dan teknologi berada di pinggiran kota, katanya, jauh dari ingar-bingar.
“Sebagai perusahaan rintisan, kami ingin berada di tengah-tengah kehidupan, pesta, lalu lintas, denyut kota kosmopolitan.”
Kantor di Bengaluru sudah berumur dua tahun, dan terlihat telah sangat terintegrasi dengan Jakarta. Ajey mengatakan, Go-Jek kini punya 200-an karyawan, tersebar merata di Jakarta dan Bengaluru. Setiap saat, setidaknya selalu ada 30 karyawan yang berada di luar negara asalnya.
“Fitur produk ditentukan tim Indonesia dan tim di India menopangnya,” kata Ajey. “Jika tim India sedang mengembangkan layanan makanan, satu tim Indonesia terbang ke sini untuk bekerja bersama kami. Jika kami tidak melakukan kerja sama lintas tim, kami tak akan bisa tumbuh secepat ini.”
Tukar Programer antara Bengaluru dan Jakarta
Di muka ruang rapat, Bakara Nur Patria, 23 tahun, sedang bersama tim pengembang jasa makanan. Ia berada di Bengaluru sejak empat minggu lalu, dan akan tinggal di sini selama setahun. Go-Jek adalah tempat kerja pertamanya, begitu lulus dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, ia bergabung pada September 2015.
“Kerja di Bengaluru dan di Indonesia, beda” kata Baskara. “Di Jakarta saya biasanya malas-malasan!” Ajey, yang duduk tak jauh darinya, tersedak kopi mendengarnya. “Saya mencoba jujur!” kata Baskara, tertawa. “Tapi benar, kok. Para mentor teknisi, yang hebat-hebat, semuanya ada di India, dan ritme kerja di sini cepat. Di sini, saya bisa langsung dapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya.” Ia juga senang suasana tanpa hierarki, budaya kerja perusahaan rintisan yang ia percaya baru-baru ini saja berlaku di Jakarta. “Untuk pekerja pemula, tantangan seperti ini sulit didapatkan. Saya bisa banyak belajar dalam waktu cepat.”
Ajey lalu memperkenalkan Bimo, orang Indonesia lain yang menulis baris-baris kode pertama aplikasi Go-Jek. Dengan rambut sebahu, janggut tipis, dan jaket kasual, penampilan Bimo adalah perwujudan pekerja perusahaan rintisan. Ketika saya minta menjelaskan apa saja pekerjaannya, Bimo menjawab rendah hati. “Tugas saya? Saya hanya menulis kode.”
Sejak dipekerjakan sebagai programer lepas di Jakarta, Bimo menyaksikan Go-Jek tumbuh dari jasa yang meladeni 100 pesanan sehari hingga menembus 10 ribu pesanan sehari. “Kami tidak tahu akan sebesar apa jadinya saat bikin aplikasi,” kenangnya. “Seiring bertambahnya jumlah pengguna, bertambah pula pengemudi yang mau bergabung dengan Go-Jek, tanpa harus repot-repot mengajak.”
Ketika Bimo baru bekerja untuk Go-Jek, hanya ada 200 hingga 250 sopir, dan timnya menargetkan dua kali lipat sebelum akhir tahun. “Baru dua bulan setelah meluncurkan aplikasi, kami sudah mencapai target tahunan kami. Kami perlu menaikkannya dengan cepat, dan di situlah kerja sama dan ekspansi dengan Bengaluru ini membantu.”
Sebagai programer senior di Go-Jek, dulu Bimo sering bolak-balik Jakarta-Bengaluru. Kini ia tinggal di Bengaluru bersama istrinya. “Di Indonesia, sistem perusahaan rintisan masih ingusan. Kebanyakan orang bekerja di perusahaan besar, dan terbiasa dengan yang struktural. Tim di Indonesia dan saya … kami, masih beradaptasi dengan gaya baru ini, budaya perusahaan rintisan yang terbuka, informal, dan kreatif. Secara pribadi, saya suka. Tidak terasa seperti kantor.”
Meski begitu, Bimo merindukan perasaan ketika melihat Go-Jek dipakai di Jakarta. “Dulu, di perjalanan ke kantor, saya biasa menghitung berapa banyak Go-Jek yang saya lihat. Saya biasa mengobrol dengan para pengemudi yang memangkal di luar kantor,” kata Bimo. Karena aplikasi Go-Jek tidak tersedia untuk konsumen di Bengaluru, ia bergantung pada data kuantitatif untuk memahami operasi di lapangan.
Selain Bimo, ada 20 orang Indonesia lain yang bekerja di India. Beberapa menetap, beberapa hanya untuk sementara. Di Indonesia ada sekitar 20 orang India yang bekerja, tetapi tak ada yang menetap.
Ajey dan Niranjan juga ke Jakarta setiap dua minggu, secara bergantian. Nirinjan baru saja kembali dari Jakarta malam sebelumnya. Ia mengusap matanya, “Memang perjalanan bolak-balik yang melelahkan, karena India bukan back office untuk Jakarta maupun sebaliknya. Nadiem Makarim memutuskan membuat kantor di Bengaluru dan ingin punya sistem yang bebas, supaya kita berkembang secara menyeluruh.”
Niranjan mengakui, merger lebih berisiko bagi Go-Jek daripada hanya mengontrak orang untuk menangani urusan teknis. Kebutuhan untuk lebih proaktif, berkomunikasi antar negara, berpikir dari sudut pandang berbeda, dan mengadaptasi desain teknis sesuai kebutuhan perusahaan yang terus tumbuh. “Tetapi Nadiem mengerti nilai dari tim yang berpengalaman,” katanya.
Hampir semua tim, kata Niranjan, bekerja dari kedua tempat. Tim makanan, misalnya, termasuk Baskara, berada di Bengaluru untuk mengerjakan layanan baru. Mereka akan menetap minimal selama dua bulan. Sementara, “tim pembayaran”—yang mengurus Go-Pay—akan berangkat ke Jakarta bulan depan. “Menurut saya, rahasia dari pola kerja begini adalah komunikasi dan kolaborasi ekstrem,” ujarnya.
Ranjan Sakalley, Wakil Presiden Core Back End, mengatakan, harinya dihabiskan dengan “berbicara dengan orang di Jakarta mengenai fitur produk dan kekutu”, supaya timnya dapat merespons secara langsung.
Dewan Pimpinan Go-Jek saat ini terdiri dari delapan orang, setengahnya dari India: Selain Ajey dan Nirinjan; ada Sidu Ponnappa (direktur pelaksana TI) dan Aakash Dharmadhikari (direktur pengembangan produk).
“Kami menyaring pekerja secara ketat di dua negara,” kata Ajey. “Kami percaya semua orang harus menulis kode atau menulis cerita atau mengembangkan produk. Kami tidak punya manajer yang hanya mengatur.” Dan rekrutmen berjalan lambat, katanya, dan memang sengaja demikian.
“Sekitar 95 persen yang kami pekerjakan adalah melalui rekomendasi, karena itu saringan yang terbukti aman,” kata Ajey. “Kami mau orang-orang yang tepat, jadi kami tidak terburu-buru merekrut kanan-kiri. Bahkan, kami lebih banyak merekrut di Jakarta daripada di Bengaluru.”
Saat ini, Go-Jek memiliki sekitar 130 karyawan di Bengaluru dan lebih dari 120 di Jakarta. Di tim produk, jumlah laki-laki dan perempuan seimbang, tetapi tim engineering hanya 30 persen wanita. “Secara aktif kami berusaha mengubah itu.” Mereka menawarkan insentif dua kali lipat buat karyawan yang merekomendasikan programer perempuan.
“Kami ingin lingkungan kerja yang lebih inklusif,” kata Niranjan.
Lantaran Ajey sangat gemar hackathon, Go-Jek Bengaluru juga menyewakan kantornya hampir setiap akhir pekan kepada siapa saja yang mau bikin kumpul-kumpul programer. “Untuk berbagi ide, bukan merekrut. Tapi kalau kami melihat bakat seseorang, kami akan minta dia melamar.”
Dua minggu lalu, di Jakarta, Ajey dan rekan-rekannya menyelenggarakan Go-Hack, setelah sebelumnya di Bengaluru. Pada pertengahan April di Bengaluru, dan akhir Juni nanti di Jakarta, mereka mengadakan She-Hack, pertemuan eksklusif programer perempuan.
Selain itu mereka juga mulai mengadakan pelatihan untuk sepuluh anak magang di Jakarta, untuk menginkubasi talenta muda. “Tiga dari mereka adalah pelajar Indonesia di Amerika Serikat, yang mudik untuk bekerja di negerinya sendiri.”
==============
Laporan spesial ini ditulis oleh wartawan Rohini Mohan, khusus disewa oleh redaksi Tirto buat melongok pusat litbang Go-Jek di India. Ia menetap di Bengaluru. Email: rohinimohan@gmail.com.
Sila bisa baca versi laporan ini dalam bahasa Inggris di SINI.
Penulis: Rohini Mohan
Editor: Fahri Salam