tirto.id - Tidak butuh waktu lama bagi perusahaan aplikasi PT Go-Jek Indonesia untuk mendapatkan tempat di hati masyarakat. Dalam waktu lima tahun, ia berkembang pesat. Kontroversi mengiringi setiap langkahnya, mulai dari protes oleh pengemudi taksi hingga masalah keamanan dalam aplikasi. Namun, Go-Jek tetap melenggang.
Langkah Go-Jek bisa jadi semakin melebar setelah perusahaan itu mendapatkan dana tambahan senilai 550 juta dolar AS, atau setara Rp7,2 triliun, pada 4 Agustus 2016.
Tidak setengah-setengah, target pijakan kakinya saat ini adalah dunia. Seperti dilansir dari Tech Crunch, perusahaan itu “mengisyaratkan” memperluas bisnis ke mancanegara, yaitu di kawasan Asia Tenggara.
Dengan adanya dana segar tersebut, Go-Jek diperkirakan memiliki nilai valuasi sebesar 1,2 miliar dolar AS, yang sekaligus menjadikannya sebagai Unicorn pertama dari Indonesia. Ini mengingat perusahaan rinrisan potensial lain, seperti Traveloka dan Tokopedia, yang belum secara resmi mengungkap total pendanaan yang mereka dapatkan.
Pendanaan baru Go-Jek berasal dari KKR, Warburg Pincus, Farallon Capital, dan Capital Group Private Markets. Mereka bergabung dengan Sequoia India, Northstar Group, DST Global, NSI Ventures, Rakuten Ventures, dan Formation Group yang telah lebih dahulu menanamkan investasinya.
"Kami merasa sangat berterima kasih dan sangat bersemangat untuk dapat bekerja dengan mitra kelas dunia,” kata Nadiem Makarim, CEO dan pendiri Go-Jek, dalam pernyataan resmi.
“KKR, Warburg Pincus, Farallon, Capital Group, dan partisipan lain dalam penggalangan dana ini tidak hanya membawa pengalaman global ke dalam sektor TMT [Teknologi, Media, dan Telekomunikasi], tetapi mereka juga bersentuhan langsung dengan mitra lokal."
Dana segar ini dikabarkan akan dipakai untuk mengembangkan operasi perusahaan, secara khusus pada layanan yang dimilikinya, termasuk sistem pembayaran (Go-Pay), pengiriman makanan (Go-Food), pengiriman barang (Go-Send), serta layanan transportasi reguler (Go-Ride dan Go-Car).
Go-Jek, Unicorn dari Indonesia
Jika melihat potensi peluang bisnis yang dijanjikan oleh Go-Jek, siapa yang tidak tergiur? Dalam setahun terakhir, Go-Jek memang terus berinovasi dari sisi layanan sehingga potensinya di masa depan cukup menjanjikan.
Go-Jek pada awalnya berangkat dari layanan jasa transportasi berbasis sepeda motor. Namun, berdasarkan informasi yang diketahui oleh redaksi Tirto, perusahaan aplikasi ini berusaha menuju one-stop service application, yakni pelanggan dapat melakukan pemesanan pelbagai jasa hanya dari satu aplikasi.
Hingga tulisan ini dibuat, Go-Jek telah menyediakan 11 variasi layanan jasa dalam aplikasinya, dan sangat mungkin akan bertambah di masa depan. Hal inilah yang membedakan Go-Jek dari aplikasi layanan transportasi seperti Grab maupun Uber. Jika arah pengembangan bisnisnya baik, Go-Jek berpotensi tumbuh lebih besar dari para rivalnya.
Sebagai catatan, Uber saat ini perusahaan rintisan dengan valuasi tertinggi di dunia, senilai 62 miliar dolar AS.
Dengan armada 200 ribu sopir, Go-Jek jelas memiliki sumber daya berlimpah untuk mengembangkan layanannya.
Merujuk sebuah data yang dilansir oleh Tech in Asia, persentase pertumbuhan pemesanan layanan Go-Jek masih sangat tinggi meski mengalami penurunan pada tahun 2016. Untuk diketahui, pada Januari 2016, Go-Jek mencatatkan rata-rata 340 ribu pemesanan per hari.
Go-Jek menyatakan, jumlah pemesanan layanan mereka pada triwulan kedua pada 2016 mengalami peningkatan sebesar 60 persen. Meski tidak dijelaskan soal perbandingan peningkatan antar kuartal, Go-Jek mengklaim catat total pemesanan lebih dari 20 juta, atau sekitar 667.000 pemesanan per hari.
Meski masih merugi, nilai transaksi yang mungkin dicapai oleh layanan Go-Food bisa mencapai Rp1,8 miliar/hari (asumsi 30 persen dari 667.000 pemesanan adalah layanan Go-Food). Betapapun belum memberi profit, tetapi dalam bisnis valuasi, investor membeli masa depan.
(Baca: Berapa Lama Bisnis Rintisan Harus 'Membakar Uang'?)
Dengan potensi yang demikian besar, dan belum tereksplorasinya keseluruhan pasar di Indonesia, ditambah rencananya untuk berekspansi ke Asia Tenggara, investasi pada Go-Jek tentu menggiurkan para investor.
"Dengan pesatnya perkembangan kelas menengah, meningkatnya kepadatan penduduk di perkotaan dan demografi kaum muda yang akrab dengan internet, Go-Jek berada pada posisi yang baik untuk menjadi platform 'go to' untuk layanan harian berfrekuensi tinggi termasuk transportasi, makanan, logistik dan pembayaran," kata Jeffrey Perlman, Kepala Warburg Pincus untuk divisi Asia Tenggara.
“Calon” Unicorn Lain
Selain Go-Jek, Tokopedia dan Traveloka juga berpotensi jadi perusahaan dengan predikat Unicorn.
Keduanya sama-sama memiliki potensi perkembangan bisnis yang sama-sama menjanjikan. Kedua perusahaan telah menarik minat investasi.
Sayangnya, kedua perusahaan ini tidak membuka secara resmi nilai investasi yang telah masuk ke kantong mereka.
Tokopedia, yang dibentuk pada 2009, mendapatkan pendanaan 100 juta dolar AS dari Softbank dan Sequoia Capital pada Oktober 2014 .
Tech in Asia melaporkan, pada April 2016, Tokopedia dikabarkan mendapatkan pendanaan tambahan sebesar 147 juta dolar AS. Akan tetapi, CEO Tokopedia William Tanuwijaya enggan mengonfirmasi kabar tersebut.
Apabila benar, total pendanaan Tokopedia yang diungkap ke publik menjadi 247,7 juta dolar AS.
Dalam satu wawancara pada 2011, Tanuwijaya mengungkapkan perusahaannya dapat mencapai transaksi bulanan sekitar 291 ribu dolar. Pada 2012, Tokopedia menjual 1,2 juta item per bulan. Angka ini melonjak tajam menjadi 6 juta item per bulan pada 2014 dengan tingkat pertumbuhan bulanan mencapai 10 hingga 20 persen.
Berdasarkan data SimiliarWeb, Tokopedia ialah situs web terpopuler kesembilan di Indonesia, tertinggi di antara situs web serupa seperti OLX maupun Lazada. Masih oleh SimiliarWeb, aplikasi Tokopedia menempati peringkat kedua dari daftar perangkat yang paling sering dipakai ponsel pintar berbasis Android di Indonesia.
"Saya dapat melihat Tokopedia menjadi Unicorn pertama Indonesia pada 2016," kata Vinnie Lauria, rekenana pelaksana Golden Gate Ventures, sebuah perusahaan modal ventura berbasis di Singapura, yang berinvestasi di 12 perusahaan Indonesia, seperti dikutip dari Bloomberg.
"Tanpa pergudangan atau logistik, Tokopedi mengeluarkan biaya sangat sedikit. Sehingga mereka memiliki kemampuan untuk terus naik dengan sangat, sangat cepat dari waktu ke waktu.”
Di sisi lain, Traveloka, yang dibentuk pada 2012, juga mendapatkan pendanaan dari perusahaan modal ventura terkenal seperti EastVentures dan Global Founder Capital asal Jerman, yang pernah berinvestasi di Facebook dan LinkedIn.
Lahir dari tangan tiga profesional yang bekerja di Microsoft, NetSuite, dan LinkedIn, Traveloka berhasil menjelma situs jual-beli tiket penerbangan secara daring nomor satu di Indonesia, berdasarkan data dari SimilarWeb, baik dari penggunaan aplikasi maupun mengakses lewat situs web.
SimiliarWeb mencatat, Traveloka memiliki 10,5 juta pengunjung lewat layar desktop pada Juni 2016. Ini jauh melebihi data pemesanan tiket di situs lain, termasuk dari situs resmi milik maskapai penerbangan di Indonesia.
Selain itu, seperti klaim yang dilansir Tech Crunch, nilai pesanan tiket tahunan Traveloka melebihi 1 miliar dolar AS.
The Wall Street Journal melaporkan, pasar Asia Tenggara menyimpan potensi sangat besar. Dengan penduduk sekitar 600 juta, berdasarkan data dari Google Inc, pertumbuhan pengakses baru internet di kawasan ini sebesar 124.000 orang setiap hari.
Dengan potensi besar itu, rasa-rasanya kelahiran Unicorn lain dari Indonesia cuma tinggal tunggu waktu.
===========
Laporan ringan ini dirilis kali pertama 5 Agustus 2015. Dipublikasikan ulang dengan penyuntingan tipis.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti