Menuju konten utama

Go-Jek Membangun Pusat Litbang di India. Apa Masalahnya?

Gojek membangun pusat litbang di Bengaluru. Grab berencana membangun R&D di Indonesia. Didi Chuxing—rival Uber di China—mendirikan R&D di Lembah Silikon. Apa sebenarnya peran pusat litbang dalam bisnis rintisan?

Ada 130 karyawan IT Go-Jek di Bengaluru dan lebih dari 120 lain di Jakarta. 20-an programer Indonesia bekerja di Bengaluru begitupun 20-an orang India di kantor Go-Jek Jakarta. Tirto/April 2017 Rohini Mohan

tirto.id - Bukan hanya Go-Jek yang membangun pusat research and development (R&D) di negara tempatnya tidak beroperasi. Didi Chuxing, rival Uber di Tiongkok, juga melakukan hal serupa. Perusahaan rintisan jasa transportasi berbasis ride-sharing itu membangun pusat litbang di Lembah Silikon, daerah selatan di Kawasan Teluk San Francisco, California. Padahal, ia tak memiliki bisnis di Amerika Serikat.

Awal Maret lalu, Didi membuka pusat penelitian dan pengembangan (litbang) baru bernama DiDi Labs di Mountain View. Di pusat R&D yang baru itu, tim yang terdiri dari ilmuwan, teknisi, dan peneliti akan mencari cara penggunaan kecerdasan buatan dalam keamanan dan teknologi mengemudi.

Didi juga merekrut Charlie Miller sebagai peneliti keamanan internet. Miller sebelumnya bekerja untuk Uber; ia membangun keamanan mobil swatantra.

Dibya Pradana, direktur eksekutif Bandung & Jogja Digital Valley, memaparkan bahwa pusat litbang adalah dapur bisnis rintisan. Divisi ini yang membuat, mengolah, dan mengembangkan produk, baik yang kasatmata maupun yang tidak.

Pengembangan yang kasatmata itu seperti tampilan aplikasi dan tambahan fitur. Seperti Go-Jek yang menambah banyak layanan dan sistem pembayarannya atau Grab yang mengubah ikon-ikonnya. Sedangkan yang tidak tampak adalah infrastruktur teknologi informasi (TI) seperti penambahan server. Ia penting untuk memastikan aplikasi bisa berjalan dengan baik meski jumlah pengguna berlipat ganda.

Dalam bisnis rintisan, ada dua divisi utama: bisnis dan teknologi. Ada juga divisi desain tetapi sifatnya tambahan, bukan yang mendasar. “Nah, R&D itu biasanya isinya lebih banyak tenaga IT,” ujar Dibya kepada Tirto, 4 April lalu.

Selain soal kecanggihan teknologi, divisi litbang juga melihat apa yang dibutuhkan masyarakat dan konsumen, sesuai namanya. Jadi, dibutuhkan riset sebelum mengembangkan produk.

Selain itu, kapasitas litbang harus seimbang dengan bagian bisnis dan pemasaran. Kalau salah satunya lebih lemah, bisnis rintisan tak berjalan dengan baik.

Misal tim litbangnya kuat, tetapi pemasaran tidak. Maka biaya pengembangan produk akan sia-sia karena sedikit menjaring pengguna, yang imbasnya bikin perusahaan rugi. Sebaliknya, jika bagian pemasaran lari kencang sementara litbang tidak, sistemnya bisa anjlok menghadapi pengguna yang terus bertambah.

Soal lokasi, pusat litbang dan pemasaran tidak harus berada di satu lokasi yang sama. “Secara teknis, tak jadi soal di manapun R&D itu berada,” kata Dibya.

Tak masalah jika Go-Jek atau Didi membuat pusat litbang di negara lain, negara yang bahkan bukan tempat operasi mereka. Itu sah-sah saja selama mereka bisa memastikan pusat litbang di luar negara operasional itu bisa memahami apa yang dibutuhkan masyarakat tempat bisnisnya berjalan.

Lokasi kantor litbang, kata Dibya, juga bisa dipecah di beberapa titik. Tidak harus di satu wilayah atau satu negara. Misalkan Go-Jek memiliki litbang di Indonesia dan India, teknisnya tinggal dibagi saja, siapa mengerjakan apa. Jika litbang di India tak paham kebutuhan konsumen di Indonesia, mereka tentu akan mendapatkan informasi itu dari kantor litbang di Indonesia.

Dibya mengatakan, pilihan Go-Jek membuka pusat pengembangan di India hanyalah persoalan politis karena salah satu investornya, Sequoia Capital, dari India. Ia tak melihat alasan lain yang masuk akal. Kalau alasannya biaya, di India tak lebih murah; kalau alasannya sumber daya manusia, di Indonesia pekerja TI dan programer banyak. Buktinya, Apple dan Grab mau membangun pusat litbang di sini.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/05/03/HL-Peran-Vital-Litbang-dalam-Bisnis-Aplikasi-Mojo.jpg" width="860" alt="INFOGRFAIK HL Gojek" /

Berkat Investor Go-Jek dari India

Gojek memang mendapatkan suntikan dari Sequoia Capital pada 2015. Setahun kemudian, Gojek mengakuisisi tiga perusahaan di Bengaluru dan membangun pusat litbang yang jaraknya hanya 7 kilometer dari kantor Sequoia.

Gojek pun tak memiliki rencana ekspansi bisnisnya ke India. Ini diucapkan Nadiem Makarim, pendiri Go-Jek. “Saat ini belum ada rencana melebarkan sayap di luar Indonesia,” ujarnya kepada Tirto, 30 Maret lalu.

Kantor Go-Jek di Bengaluru, kata Nadiem, hanya untuk para programer. Menurutnya, tak jadi soal Go-Jek membangun kantor di luar Indonesia. Alasannya, itu akan membuat perusahaan yang dirintisnya pada 2010 ini memiliki karyawan yang punya kualitas multinasional. Ia pun bersikukuh bahwa Go-Jek tetap karya anak bangsa, sebagaimana slogan perusahaan ini.

Dalam satu diskusi Maret lalu, wakil presiden Performance Marketing Go-Jek Andra Winatama mengungkapkan secara umum kendala bakat adalah salah satu masalah yang dihadapi perusahaan rintisan di Indonesia termasuk pada Go-Jek.

Tetapi bakat yang dimaksud Andra adalah orang-orang yang berbakat di bidang pemasaran digital. Saat ditanya hubungan kendala itu dan keputusan Go-Jek membangun pusat litbang di Bengaluru, Andra enggan menjelaskan. “Cuma strategic bussiness,” jawabnya.

Membuka pusat litbang di Indonesia, terlebih bagi perusahaan rintisan di sini, bagi Dibya hanyalah persoalan moral, bukan teknis. Sebab secara teknis, lokasi litbang di mana pun tidak begitu jadi masalah.

“Kita buat start-up itu kan ide dasarnya empati terhadap lingkungan sekitar, ingin membuat perubahan agar segala sesuatu berjalan lebih baik. Kalau dari awal ada misi membawa manfaat, ya sekalian sajalah bikin R&D di sini,” ungkap Dibya.

Membangun kantor litbang di Indonesia tentu membawa manfaat bagi perekonomian dan perkembangan tenaga TI dalam negeri. Selain menyerap lebih banyak pekerja, ia juga memutar roda perekonomian di sekitar pusat litbang.

Menurut Dibya, lebih baik mengimpor tenaga dari luar daripada membangun “pabrik” di luar, kalau memang persoalannya kekurangan sumber daya manusia.

“Daripada kita boyong devisa ke luar, mending bawa orangnya ke sini, lalu transfer knowledge, kalau pekerja lokal sudah jago, bye,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI ONLINE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin & Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin & Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Fahri Salam