Menuju konten utama

Sopir Taksi Online Menanggung Tua di Jalan tanpa Jaminan

Konsep "mitra" dalam transportasi online terdengar keren tetapi sebetulnya biasa saja.

Sopir Taksi Online Menanggung Tua di Jalan tanpa Jaminan
Petugas Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta memeriksa kendaraan roda empat saat uji KIR khusus kendaraan sewa berbasis transportasi online di Silang Monas, Jakarta, Senin (15/8). TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - "Kami percaya diri kami adalah perusahaan teknologi, bukan transportasi, dan kami ingin men-sharing teknologi tersebut kepada pemain lain, ” kata Nadiem Makarim, pendiri Go-Jek saat meresmikan kerjasama dengan Blue Bird di Hotel Borobudur, 30 Maret lalu.

Ungkapan “perusahaan teknologi, bukan transportasi” tak hanya sekali diucapkan Nadiem. Pada Agustus 2016, Nadiem pernah membantah bahwa Go-Jek adalah perusahaan transportasi. "Jadi Go-Jek itu bukan perusahaan ojek, bukan perusahaan transportasi, bukan perusahaan taksi. Kami bukan perusahaan logistik, tetapi hanya perusahaan penyedia aplikasi pemasaran buat ojek-ojek kerja buat dirinya sendiri"

Pernyataan itu tak hanya diucapkan oleh Go-Jek, tapi juga perusahaan sejenis seperti Uber dan Grab yang bersaing di Indonesia. Intinya sama. Mereka menegaskan keberadaan mereka sebagai perusahaan teknologi. Baru-baru ini, dalam pernyataan resmi bersama Go-Jek, Uber, dan Grab terkait Permenhub 32 tahun 2016, ketiga perusahaan itu mendaku diri sebagai “penyedia aplikasi mobilitas." (Baca: Suara-suara Pendukung dan Penolak Aturan Baru Taksi Online)

Klaim mereka sebagai perusahaan teknologi tak terbantahkan. Sejak awal beroperasi, mereka hanya menawarkan aplikasi via ponsel bagi orang-orang yang ingin bergabung sebagai mitra mereka. Baik untuk ojek ataupun taksi.

Sayangnya, klaim perusahaan teknologi itu seringkali meliputi sekaligus melampaui perannya. Misalkan soal penetapan tarif. Sebagai perusahaan teknologi, tiga perusahaan itu yang menentukan tarif jasa taksi kepada pengguna. Mereka pun bisa dengan mudah menaikkan atau menurunkan tarif tanpa perlu persetujuan dengan para mitra, yakni para sopir.

Itu juga yang belum diakomodasi, atau menjadikan aturan umum soal transportasi 8 tahun lalu di Indonesia terlihat kuno. Dalam UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, diatur tentang mekanisme penentuan tarif angkutan umum dalam trayek dan di luar trayek, yang harus melibatkan perusahaan angkutan umum dan persetujuan pemerintah (pasal 183).

Izzul Warro, pengamat transportasi dari Institut Studi Transportasi, menilai tiga perusahaan itu sudah melewati wewenangnya sebagai perusahaan teknologi. “Mereka ini bukan operator angkutan, hanya sebagai penyedia aplikasi, selama ini tarif mereka yang tentukan, ini pelanggaran hukum,” katanya kepada Tirto.

Izzul mengatakan, jika mengacu undang-undang itu, yang berhak menentukan tarif adalah perusahaan transportasi yang bermitra atau para sopir yang bergabung dalam koperasi. Sesudah sepakat soal tarif, mereka harus mendapatkan lampu hijau dari pemerintah.

Seharusnya, lanjut Izzul, sebagai perusahaan teknologi, Go-Jek, Uber, dan Grab hanya berperan sebagai agen penyalur atau agen tiket seperti halnya Traveloka. “Kalau aplikasi itu seperti calo, agen penjual tiket, agen yang membantu memasarkan, tapi tarif tetap mengacu tarif dasar yang ditentukan. Traveloka itu tidak menentukan tarif, tapi maskapai yang menentukan tarif,” ungkapnya.

Gelembung 'Sharing Economy'

Di sisi lain, label perusahaan teknologi menyelamatkan tiga perusahaan itu dari kewajiban sebagai pemberi kerja, alih-alih dalam model ekonomi macam itu menyebut para sopir sebagai "mitra".

Kesannya egaliter. Sopir bebas punya jam kerja sendiri, bila mau untung mesti punya dedikasi kerja yang tinggi, dan harus punya kesabaran tinggi buat memanjangkan umur di jalan. Itu sebagaimana tercermin lewat slogan ketiga perusahaan tersebut dan kisah-kisah inspiratif dari para sopir mereka yang dipacak di laman resmi.

Uber, misalnya, menerapkan sistem apa yang disebut "ridesharing" yang diklaim menguntungkan bagi para pengemudinya. Kerjasama kemitraan yang mereka tawarkan adalah kontraktor independen yang bebas menentukan kapan mereka menggunakan aplikasi.

“Bebas online serta offline kapan pun bahkan bebas menggunakan aplikasi lain,” ujar kepala humas Uber Indonesia Dian Safitri kepada Tirto melalui surat elektronik.

Begitu juga Go-Jek dan Grab. Keduanya memiliki kerjasama kemitraan yang mereka tawarkan ke sopir. Kemitraan dalam “sharing economy” ini sekilas terkesan menguntungkan semua pihak, baik konsumen, mitra pengemudi, negara, sekaligus perusahaan.

Lilik Wachid Budi Susilo, peneliti dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, mengatakan ada banyak kekurangan dari konsep yang dibangun perusahaan teknologi itu. Bagi negara, menurut dia, konflik sosial akibat kehadiran transportasi online merupakan kerugian besar. Sementara untuk penumpang, ancaman risiko keamanan, keselamatan, dan kecelakaan menjadi harga mahal yang tak sebanding dengan tarif murah.

Adapun bagi mitra pengemudi, menurut Lilik, bisa saja untung dalam jangka pendek tapi secara jangka panjang atau “long run marginal cost” kemungkinan besar merugi.

“Dari segi pendapatan memang terlihat besar. Tapi, mereka tidak mendapatkan asuransi, mengejar poin bonus (demi pendapat tinggi) hingga kerja lebih dari 8 jam, menanggung semua risiko sendirian, termasuk kalau kecelakaan juga ditanggung sendiri,” katanya. (Baca: Untung Rugi Menjadi Sopir Taksi Online)

Infografik HL Transportasi Online

Seorang mitra GrabCar di Yogyakarta, Nur Budisetyo, mantan Ketua GC3, organisasi GrabCar di Yogyakarta, membenarkan penilaian Lilik soal kritik atas konsep “sharing economy” dalam bisnis taksi online.

“Duitnya menarik," katanya, "seolah-olah menarik. Tapi sebetulnya biasa saja. Asuransi kami bayar sendiri. Kami juga belum alokasikan untuk biaya lain (penghitungan pendapatan untuk keperluan jangka panjang),” kata Nur pada 21 Maret lalu.

Nur berbicara dalam diskusi “Ekonomi Politik Industri Transportasi Online dan Mitos Sharing Ekonomi” yang digelar oleh sebuah klub diskusi mingguan di Universitas Gadjah Mada.

Menurutnya, pengemudi GrabCar di Yogyakarta memang bisa mendapatkan duit Rp500 ribu sehari saat ini. Namun, untuk urusan risiko di lapangan, menjadi tanggungan penuh mitra pengemudi. Ia mencontohkan pada sejumlah kasus perkara hukum saat ada pertikaian dengan taksi konvensional, para pengemudi GrabCar harus urunan untuk menyewa pengacara.

“Kalau diteror itu sudah biasa,” katanya. “Selama ini yang kita punya ya kita (sesama mitra pengemudi).”

Dalam forum yang sama, salah satu penggiat Paguyuban Gojek Driver Jogjakarta (Pagodja), Dipo Dwi mengatakan dirinya dan 2.000-an lebih temannya sesama mitra pengemudi Go-Jek di Kota Yogyakarta dan sekitarnya berinisiatif membentuk organisasi "agar memiliki posisi tawar lebih besar di hadapan perusahaan." Pagodja menggelar kongres pertama pada 23 Maret lalu.

“Posisi kami memang masih terlalu lemah, termasuk di urusan biaya (tarif),” ujarnya.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI ONLINE atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Bisnis
Reporter: Addi M Idhom & Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam