Menuju konten utama

Suara-suara Pendukung dan Penolak Aturan Baru Taksi Online

Pengemudi dan konsumen keberatan. Pengusaha taksi online menolak, sementara Organda mendukung. YLKI justru menyoroti masih banyaknya celah yang akan merugikan konsumen.

Suara-suara Pendukung dan Penolak Aturan Baru Taksi Online
Petugas Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta memeriksa kendaraan roda empat saat uji kir khusus kendaraan sewa berbasis transportasi online di Silang Monas, Jakarta, Senin (15/8). TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Aturan baru taksi online yang akan mulai berlaku 1 April 2017 membuat resah para pengemudi dan penumpang setianya. Ada tiga bagian dari 11 poin revisi yang membuat resah yakni terkait penetapan tarif batas atas dan bawah, kuota kendaraan, dan juga balik nama STNK.

Dengan adanya tarif batas atas dan bawah membuat ongkos taksi online tidak akan berbeda jauh dengan taksi konvensional. Konsumen tentu saja akan berpikir ulang menggunakan taksi online, mengingat selama ini selisih tarif taksi online dan taksi konvensional bisa mencapai setengah harganya. Namun, untuk momen-momen tertentu seperti kondisi macet dan hujan, tarif taksi online memang bisa menjadi sangat mahal. Inilah yang menjadi landasan pemerintah menetapkan batasan tarif.

Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan menyatakan tarif taksi daring atau "online" akan diatur oleh pemerintah daerah untuk melindungi konsumen, terutama saat jam sibuk.

"Konsumen harus dilindungi saat jam sibuk, jangan sampai saat permintaan tinggi kemudian perusahaan menaikkan harga sesukanya. Begitu pun saat jam-jam sepi, pemerintah harus hadir untuk melindungi pengemudi. Jangan sampai banting harga yang pada akhirnya, korbannya adalah pengemudi," kata Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Pudji Hartanto usai menyambangi Kantor Ombudsman Republik Indonesia (ORI) di Jakarta, Senin.

Pudji mengatakan, tarif pengguna jasa taksi online tersebut diatur dalam revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.

Menurut dia, dasar pertimbangan tarif jasa taksi online dalam revisi PM 32/2016 untuk melindungi konsumen dan menjaga kesetaraan berusaha.

Aturan tentang taksi online dalam revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32/2016 tentang Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Terdapat 11 poin revisi PM Perhubungan Nomor 32/2016 itu. (Lihat infografik).

Infografik Aturan Angkutan Online

Suara Para Pengemudi dan Konsumen

Atas aturan tersebut, sejumlah pengemudi dan pengguna transportasi online di Jakarta merasa keberatan. Dari sisi pengemudi, poin utama adalah balik nama STNK dari milik perorangan menjadi badan hukum.

"Saya tidak setuju apabila aturan perpindahan nama kepemilikan STNK ditetapkan. Jika aturan itu tetap terjadi, saya akan berhenti menjadi pengemudi taksi online," kata Alfin Pradana (21), seorang pengemudi taksi online yang juga seorang mahasiswa di Universitas Islam Syarif Hidayatullah, Jakarta, seprti dilansir dari Antara

Hal yang sama disampaikan seorang pengemudi taksi online lainnya, Hanafi Nurbudi (21). Ia menolak jika STNK kendaraannya dibalik nama menjadi milik badan hukum.

"Saya tidak setuju dengan aturan itu karena mobil yang saya gunakan ini adalah kendaraan sehari-hari," ujar Hanafi yang sudah menjadi pengemudi GOJEK sejak Agustus 2016.

Meski keberatan dengan poin balik nama STNK, Hanafi setuju dengan aturan pembatasan kuota armada transportasi online. "Karena semakin bertambahnya pengemudi taksi online, maka pesanan yang diterima juga akan menjadi semakin sedikit," jelas Hanafi.

Keberatan lain disampaikan pengemudi taksi online Lius Putra Pratama, yang mengaku akan berhenti menjadi pengemudi taksi online jika plat kendaraannya diubah menjadi plat kuning.

"Saya akan berhenti menjadi pengemudi taksi online karena saya tidak mau kendaraan pribadi saya memiliki plat kuning dan disamakan dengan angkutan umum soalnya mobil ini sering dipakai bersama keluarga," ujar Lius.

Selain pengemudi, pengguna banyak yang merasa keberatan dengan rencana revisi aturan tersebut. Poin paling utama adalah terkait pengaturan tarif. Seperti misalnya yang disampaikan Mitra Angelia, 25, yang selama ini juga sering menggunakan taksi online daripada taksi konvensional dengan alasan lebih murah, apalagi bila menggunakan uang virtual.

"Tarif jauh banget (dengan taksi konvensional), apalagi kalau buat ke bandara, bisa 50 persen perbandingannya," kata dia, seperti dilansir dari Antara.

Perbedaan harga yang cukup jauh antara taksi konvensional dan online juga dirasakan Hermansyah, yang sering menggunakan taksi online ketika bepergian bersama keluarganya.

"Bedanya jauh banget kalau kita naik taksi online di Jakarta dalam kondisi macet. Di jalan lengang pun taksi online masih jauh lebih murah karena sering ada promo diskon," kata Herman.

Pertimbangan lain ia menggunakan taksi berbasis aplikasi ini adalah karena dapat mengetahui biaya perjalanan di muka dan tidak perlu repot mencari di jalan.

"Kalau taksi konvensional, ongkosnya sulit diprediksi dan bikin deg-degan, apalagi kalau macet," kata dia.

Suara Pengusaha dan Organda

Ketidaksetujuan atas revisi aturan juga dilontarkan Koperasi Jasa Trans Usaha Bersama, yang merupakan koperasi jasa transportasi yang didirikan khusus untuk menampung para Mitra Driver Uber. Sekretaris Jenderal Koperasi Jasa Trans Usaha Bersama, Musa Emyus, berpendapat aturan kuota untuk taksi online sebagaimana tertuang dalam revisi aturan, kurang cocok untuk diterapkan.

"Penetapan kuota itu tidak masuk. Turn over pengemudi cepat," kata Musa.

Musa menjelaskan keluar-masuk pengemudi taksi dalam jaringan tidak dapat diterka karena banyak yang masih coba-coba. Misalnya, mencoba menjadi pengemudi taksi online, setelah dua minggu merasa tidak cocok, lalu tidak meneruskan.

Menurut Musa, yang semestinya menjadi sorotan dalam revisi ini adalah mengenai standar pelayanan minimum. Ia khawatir bila tarif batas atas dan bawah diberlakukan sehingga tarif taksi konvensional dan online mirip, standar pelayanan minimum itu tidak terjaga.

Menurut dia, armada taksi online mayoritas memenuhi standar pelayanan minimum dimiliki perorangan dan dipakai untuk pribadi sehingga, misalnya, kebersihan mobil terjaga.

Selain itu, jika pelayanan taksi online tidak memuaskan, konsumen dapat segera melaporkan dan penyedia aplikasi akan menindaklanjuti keluhan tersebut.

Sementara dukungan terhadap revisi aturan sudah pasti disampaikan oleh Organda. Sekjen Organda Ateng Aryono mengatakan, Organda sepakat tentang pemberlakuan tarif batas atas dan bawah. Ia mengkritik taksi online yang selama ini menerapkan tarif sangat murah.

“Apakah benar yang dilakukan platform aplikasi menjual dengan tarif murah di bawah itu bukan indikasi predatory pricing? Kalau ternyata itu yang ternyata terjadi, jahat itu, karena selama ini yang dibilang itu alasannya adalah ekonomi kerakyatan, ride sharing dan sebagainya,” ucap Ateng lagi.

Ateng mengatakan Organda sebagai asosiasi sebenarnya siap apabila diajak bermitra oleh para penyedia jasa transportasi online. “Karena di perundang-undangannya pun mengisyaratkan itu, platform harus bekerja sama dengan angkutan resmi. Selama itu dilakukan dengan baik, kenapa tidak? Tapi ketika akhirnya mereka yang menentukan tarif, itu kan tidak cocok,” jelas Ateng.

Suara YLKI dan Pemerhati Transportasi

YLKI mengkritik sejumlah celah dari taksi online yang dianggapnya belum memberikan perlindungan konsumen. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengaku bisa memahami adanya revisi aturan baru. Namun, YLKI meminta agar aturan sebaiknya difokuskan pada perlindungan konsumen.

YLKI menilai selama ini taksi online belum sepenuhnya memberikan perlindungan kepada konsumen. Ia mencontohkan masalah standar pelayanan minimal yang jelas, baik untuk armada maupun sopirnya. Hal itu belum ada di taksi online.

Tak hanya itu, tarif taksi online juga tidak bisa dibilang murah, bahkan bisa lebih mahal daripada taksi konvensional. Pasalnya, menurut dia, taksi online memberlakukan tarif berdasarkan jam sibuk (rush hour) dan non rush hour.

"Pada rush hour tarif taksi online jauh lebih mahal apalagi dalam kondisi hujan. Jadi untuk diberlakukan tarif bawah taksi online secara praktis tidaklah kesulitan karena selama ini secara tidak langsung justru sudah menerapkan tarif batas bawah dan batas atas," tutur dia.

Saat ini, yang harus disorot adalah bagaimana mekanisme pengawasan terhadap implementasi tarif batas atas dan batas bawah tersebut. Menurutnya, aparat penegak hukum akan kesulitan melakukan pengawasan dan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran.

"Taksi online juga belum memberikan perlindungan kepada konsumennya jika terjadi kehilangan barang atau terjadi kecelakaan. Bahkan jika terjadi sengketa keperdataan dengan konsumen akan diselesaikan via abritase di Singapura. Ini jelas tidak adil dan tidak masuk akal bahkan merugikan konsumen" ungkapnya.

Sementara, operator taksi online juga belum memberikan jaminan perlindungan data pribadi konsumennya. Bahkan dalam term of contract-nya, mereka akan menjadikan data pribadi konsumen untuk dibagi ke mitra bisnis ya, misalnya untuk obyek promosi.

Karenanya,Tulus mengatakan Kemenhub dalam revisinya Permenhub No 32/2013 seharusnya mengatur poin-poin tersebut. Bukan hanya mengatur soal uji kir, proses balik nama STNK, atau bahkan tarif.

Kemudian, dalam konteks persaingan usaha, tidak boleh ada operator/pelaku usaha yang menerapkan kebijakan predatory tariff. Sebab predatory tariff akan membunuh operator yang lain sehingga mematikan operasi operator lainnya. Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan intervensi jika ada operator yang menerapkan predatory tariff;

Sementara Pemerhati transportasi Azas Tigor Nainggolan berpendapat pemerintah sebaiknya mengatur taksi online demi kepentingan pengguna. Menurut dia, pemerintah tidak perlu mengatur tarif taksi online karena berdasarkan pasal 183 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, tarif taksi diserahkan pada pengguna dan pemberi jasa.

Bila tarif taksi online harus mengikuti taksi konvensional, ia khawatir konsumen akan beralih ke kendaraan pribadi. "Padahal, ride-sharing akan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi," kata dia.

Lebih jauh, ia menganggap penetapan tarif batas atas dan bawah untuk taksi online belum berpihak pada konsumen. "Pengguna tidak diundang uji publik. Pengusaha saja. Tidak ada kesepakatan dengan pengguna," kata dia.

Menurut dia, pemerintah lebih baik membuat standar pelayanan minimal demi kepentingan masyarakat.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI ONLINE atau tulisan lainnya dari Nurul Qomariyah Pramisti

tirto.id - Hukum
Reporter: Damianus Andreas & Chusnul Chotimah
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti