tirto.id - Senin, 27 Maret lalu, Terminal Laladon tampak lengang. Kecuali angkot di barisan depan yang cuma diisi segelintir penumpang, sebagian besar angkot kosong. Sembari menunggu angkot terisi penuh, para sopir mengisi waktu dengan minum kopi di samping pos polisi. Di dalam pos jaga ada enam polisi, dua di antaranya bersenjata lengkap. Di luar ada seorang polantas.
Sejak 22 Maret, terminal di Bogor itu selalu dijaga polisi. Penjagaan ini buntut dari kekerasan yang pecah antara sopir angkot dan pengemudi ojek online. Ia bermula dari pengeroyokan pengemudi ojek online oleh sejumlah sopir angkot. Aksi saling membalas pun tak terhindarkan.
Entis, 24 tahun, masih dalam perjalanan ke Laladon saat kekerasan terjadi. Ia menerima telepon dari kawannya sesama sopir agar menjauhi lokasi konflik. “Ada kerusuhan, ojek online bikin serangan balasan di Laladon,” katanya.
Entis lalu menuntaskan penumpang yang masih di dalam angkot. Semula ia ragu antara mau pulang atau ikut membantu kawan-kawannya membalas serangan ojek online. Namun, sepintas ia ingat anaknya yang berumur tiga tahun. “Kalau saya kenapa-kenapa, nanti anak saya dan istri saya gimana? Bingung antara mau bantu atau pulang,” ungkapnya.
Sebelum sampai Laladon ia memutuskan putar balik ke arah stasiun kota Bogor lalu pulang. Entis ingat, jalanan siang itu macet akibat pengalihan lalu lintas karena kerusuhan itu.
Esok harinya ia tidak narik angkot karena kondisi masih belum aman. Kabar penyisiran pengemudi ojek online membuatnya berpikir dua kali. Tetapi ia diam-diam menyempatkan diri menyambangi beberapa teman satu profesi di terminal. Dari situ ia melihat beberapa angkot rusak parah, kaca-kaca pecah, bodi penyok.
“Sepi banget sudah kayak kuburan, cuma ada polisi saja,” ujarnya.
Bentrok antara transportasi konvensional dan online tak hanya di Bogor. Ia merebak di beberapa kota lain seperti di Tangerang, Yogyakarta, dan Jakakarta. Intensitas konfliknya berbeda-beda. (Baca: Bentrok Transportasi Konvensional dan Online)
Di Tangerang, bentrok tak terhindarkan setelah aksi penolakan ojek dan taksi online dilakukan sopir angkot pada 8 Maret lalu. Akibatnya, tiga pengemudi ojek online dilarikan ke Rumah Sakit Sari Asih, Tangerang.
Di Yogyakarta, ketegangan antara transportasi online dan konvensional berujung pada konflik-konflik kecil. Pada 26 Februari, sebuah taksi online menjadi sasaran penyerangan taksi konvensional yang menyebabkan kaca mobil pecah.
Untuk pengemudi ojek online, intimidasi juga terjadi. Mereka dilarang masuk zona merah yang ditetapkan para sopir ojek pangkalan dan taksi konvensional. Zona merah itu meliputi stasiun, bandara, rumah sakit, dan beberapa pusat wisata.
Kejadian serupa pernah terjadi di Jakarta. Aksi besar-besaran itu dilakukan oleh sopir taksi dan angkot pada 22 Maret 2016. Ribuan sopir mogok massal dan menuntut pemerintah menutup transportasi online, ojek maupun taksi. Penyisiran pun dilakukan, beberapa pengemudi ojek online menjadi pelampiasan kekesalan para sopir.
'Sampai Pantat Keluar Keringat'
Muasal semua pertikaian ini ialah rebutan penumpang, yang berpengaruh pada pendapatan. Itu juga pemicu pecahnya aksi kekerasan di Bogor. Hal itu diamini Entis. Pria yang melakoni sopir angkot sejak umur 16 tahun ini mengatakan pendapatannya anjlok setelah transportasi online bertebaran di Bogor. Itu yang bikin para sopir geram.
“Bogor ini kota angkot, raja angkot. Sekarang, jadi kota ojek online,” kata Entis meninggi. “Ya kasihan sama sopir kayak saya,” katanya, memelas. Entis menawari saya ikut angkotnya seharian untuk meyakinkan saya. “Nanti bisa dihitung saya dapat berapa.”
Saya berkeliling kota Bogor bersama Entis dari pukul 10 sampai 2 siang. Dua kali memutari rute angkot 03 yang melewati stasiun kota Bogor dan terminal Laladon. Selama itu Entis mendapatkan Rp62 ribu, setelah dipotong uang bensin Rp50 ribu dan makan siang Rp12 ribu.
“Sudah pasti nombok kalau siang ini cuma dapat segini,” katanya. Setiap hari Entis harus membayar setoran ke pemilik angkot sebesar Rp180 ribu.
Entis cuma bisa bawa angkot dalam enam kali putaran. Bila jalanan macet, cuma empat putaran. Kalau sudah begitu, satu-satunya cara agar ia tetap bisa bawa pulang uang adalah mengurangi setoran.
“Kadang kurangi setoran Rp30 ribu. Hari ini kayaknya gitu. Kalau hari biasa paling bawa pulang bersih Rp50 ribu,” ujarnya.
Nasib serupa dialami Ramadhan, sopir angkot 02 Kota Bogor. Sejak ada transportasi online, pendapatannya menyusut lebih dari 50 persen. Dalam sehari pria berusia 32 tahun ini biasanya membawa pulang Rp100 ribu. Tetapi kini untuk mengantongi Rp 50ribu saja ia harus bersusah payah. “Sampai pantat keluar keringat baru dapat,” selorohnya.
Kondisi itu yang menurut Ramadhan membuat banyak sopir kesal terhadap kehadiran ojek dan taksi online. “Kalau jujur ya, kemarin itu ribut karena memang sopir-sopir sudah kesal. Kalau ibaratnya kita senggolan di jalan sama orang biasa, enggak apa-apa. Tapi kalau sama ojek online jadinya lain,” katanya. “Tapi saya enggak ikutan, saya pikir mereka juga cari makan, cuma caranya jadi bikin mati yang lain.”
Selain pendapatan harian yang menyusut, sewa angkot yang biasanya ramai di akhir pekan, kini melompong. Padahal setiap akhir pekan, sewa angkot untuk jalan-jalan di Bogor laris manis. “Sewa 12 jam bisa Rp300 ribu sampai Rp400 ribu, itu sudah enggak pernah lagi, kalah sama taksi online,” ungkapnya.
Memang kehadiran ojek dan taksi online di beberapa daerah membuat moda transportasi lain kalang kabut. Redaksi Tirto pernah menurunkan laporan terkait matinya ojek-ojek online bermodal cekak yang digerus ojek online raksasa macam Go-Jek, Uber, dan Grab. Nyaris tidak ada ojek online bermodal cekak yang bisa bertahan. (Baca: Matinya Ojek Online Bermodal Cekak)
Hal itu pula yang dikhawatirkan para sopir angkot. Penumpang yang sepi, yang beralih ke transportasi online, membuat sopir kerap merugi. Di kota Bogor sendiri ada 27 trayek angkot. Masing-masing trayek semula ada 400 angkot, tapi sejak setahun lalu jumlah angkot dikurangi hingga cuma 100-an per trayek. Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota Bogor mencatat pada 2015 jumlah angkot ada 3.412 unit, yang rencananya akan dipangkas lagi.
Terlambat Merespons
Meski kekesalan berujung kekerasan antara kelas pekerja ini segera diredam pemerintah dan aparat kepolisian, tetapi tiada jaminan konflik ini tak terjadi lagi. Sebab, sampai saat ini, pemerintah belum tegas dalam mengatur transportasi online yang marak. Permenhub 32 tahun 2016 tentang taksi online yang baru saja direvisi belum menyentuh akar masalah sesungguhnya.
Peraturan menteri perhubungan itu baru mengatur soal taksi online yang dampaknya lebih banyak dirasakan oleh taksi konvensional. Namun, bagi angkot, Permenhub itu nyaris tidak berdampak apa-apa. Dari penetapan tarif bawah, misalnya, hanya akan berpengaruh pada taksi konvensional yang bersaing. Angkot dengan harga lebih murah tetap tergerus dari keberadaan ojek online yang belum diatur.
Lilik Wachid Budi Susilo, peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM, menyayangkan lambatnya pemerintah membaca masalah. Ia menilai sikap tegas menteri perhubungan sebelumnya, Ignasius Jonan, pada akhir 2015 sudah benar tapi, sayangnya, larangan itu keluar pada situasi tidak tepat.
Larangan muncul ketika jumlah mitra Go-Jek dan GrabBike telah mencapai ribuan. Sementara layanan transportasi publik di perkotaan, khususnya Jakarta, masih buruk. Padahal, sepeda motor memang tidak bisa masuk sebagai alat transportasi umum sebab berisiko besar untuk keselamatan.
“Kalau sudah ribuan (mitra pengemudi), maka ini sudah jadi masalah sosial. Bukan lagi sekadar masalah bisnis, apalagi sekadar transportasi,” kata Lilik kepada Tirto.
Lilik mengilustrasikan, “Alasannya susah dibantah, masak orang kerja dilarang pemerintah? Kalau sudah jadi masalah perut banyak orang, susah diatur.”
Kejadian serupa terulang di penerbitan Permenhub 32/2016. Regulasi ini muncul ketika mitra pengendara GrabCar, Uber dan Go-Car sudah berjibun. Mereka merambah banyak kota sekaligus mengundang marah banyak sopir taksi dan angkot yang pendapatannya mampet ketika pesaing berpelat hitam meluber di jalan.
Menurut Lilik, Permenhub 32/2016 hanya menjawab masalah operasional, bukan strategis yang semestinya bisa menentukan absah atau tidaknya model bisnis transportasi online.
“Pemerintah sejak awal tidak tegas, cenderung permisif. Dari segi transportasi, (taksi online) sudah bermasalah,” kata Lilik.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam