tirto.id - Gerbang kantor Topjek di deretan ruko jalan Rawa Bambu, Pasar Minggu, terkunci rapat. Dari luar tidak terlihat aktivitas apa pun. Ruko di kiri dan kanan Topjek pun tutup. Pos satpam juga kosong. Satu-satunya penanda yang meyakinkan dari keberadaan kantor ojek online itu adalah logo Topjek di bagian atas ruko.
Agus, seorang warga yang tinggal di kompleks belakang kantor Topjek, mengatakan sejak tiga bulan lalu kantor Topjek sudah kosong. Sebelumnya masih ada aktivitas di kantor itu, tetapi ia tidak pernah melihat ada pengemudi Topjek yang datang.
“Tiga bulan ini kosong beneran,” kata Agus.
Kondisi itu berbeda dengan dua tahun yang lalu. Pada akhir 2015, kantor Topjek ramai didatangi orang-orang yang ingin mendaftar sebagai pengemudi Topjek. Saat itu Topjek baru saja membuka lowongan besar-besaran.
“Dulu ramai, sebelum ada Go-Jek,” ungkap Agus.
Aplikasi Topjek sampai saat ini masih ada di Google Play Store dan bisa digunakan. Namun, saat melakukan pesanan, tidak ada satu pun pengemudi yang mengambilnya, padahal pada peta GPS, ada 13 pengemudi yang terlihat aktif.
Tidak hanya Topjek, Ojek Kampung yang dulunya berkantor di Margonda bernasib serupa. Ojek yang sempat eksis di Depok itu kini sudah tidak terlihat jejaknya. Kantor mereka pun sudah tidak ada, cuma menyisakan aplikasi yang bisa diunduh tapi tak lagi berfungsi.
Begitu juga Blu-Jek yang pada awal kemunculannya, akhir tahun 2015, sempat digadang-gadang sebagai pesaing Go-Jek, pemain besar dalam bisnis jasa transportasi berbasis aplikasi mobile, didirikan oleh Nadiem Makarim pada 2010. Blu-Jek bahkan diberitakan oleh sejumlah media, yang tampaknya menandakan keberhasilan awal mereka dalam promosi. Sayangnya Blu-Jek tidak bertahan lama. Kini hanya tersisa papan nama perusahaan ini di bekas kantornya di Pasar Minggu.
Masa Menjamur Ojek Daring
Akhir tahun 2015 adalah masa menjamurnya bisnis rintisan transportasi berbasis aplikasi di ibukota dan daerah sekitarnya. Sejumlah perusahaan ojek online yang berdiri pada saat itu di antaranya Blu-Jek, Ojek Syari, LadyJek, Topjek, Ojek Kampung, Ojek Argo, Pro-Jek dan sebagainya. Munculnya banyak perusahaan ojek online ini dipicu oleh kesuksesan Gojek yang mulai terlihat sejak 2014.
Para perintis mencoba mengambil ceruk pasar masing-masing. Ojek Argo, misalnya, menawarkan keleluasaan kepada pelanggannya dalam penentuan lokasi tujuan. Para pelanggan yang tidak mengetahui tujuan secara pasti tidak perlu khawatir karena pengemudi ojek akan mengantarkan meski tidak sesuai dengan tujuan dalam aplikasi.
“Kalau Go-Jek mereka harus pasti lokasinya, padahal ada orang yang naik ojek tapi masih cari-cari alamat, harus muter-muter dulu. Ini yang kita tawarkan pada pelanggan,” kata Rizal Saputra, pendiri Ojek Argo kepada Tirto.
LadyJek lebih spesifik lagi. Mereka menyasar pangsa pasar perempuan dengan menyediakan pengemudi perempuan juga. Spesifikasi itu membuatnya, pada awal kemunculannya, digemari oleh kaum hawa. Ada pula Ojek Syari khusus perempuan yang hanya melayani pelanggan dengan pedoman hukum syariat Islam.
Topjek juga demikian. Mereka tidak fokus pada antar-jemput penumpang, melainkan mengincar pasar pada jasa pengiriman barang yang saat itu belum digarap oleh Go-Jek.
Pada awal kehadiran mereka, ojek-ojek online ini langsung mencuri perhatian warga, baik yang ingin menjadi pengemudi ataupun pelanggan. Ribuan orang mendaftar di masing-masing perusahaan tersebut. Ojek Argo, misalnya, pernah memiliki 2.500 pengemudi, menyebar di seluruh Indonesia.
“Sampai pertengahan 2016, kita masih banyak, setelah itu memang turun karena lebih banyak lari ke Go-Jek. Terus terang saja, memang modal kita enggak banyak, tidak seperti Go-jek dan lainnya,” ungkap Rizal.
LadyJek bahkan pernah memiliki pengemudi sebanyak 3.000 orang, menyebar di Cengkareng, Bekasi, dan Jakarta. Uang yang dikeluarkan perusahaan ini, untuk menggaet pengemudi dan promosi, tidaklah sedikit sebagai modal awal: perusahaan mengklaim menyediakan Rp5 miliar.
“Hanya enam bulan pertama kita beroperasi. Semakin lama semakin turun konsumen karena dihantam berbagai promo (pesaing besar),” ujar Lucia Liemesak, direktur LadyJek kepada Tirto.
Serangan Promosi Ojek Online Bermodal Besar
Upaya membuat niche market—upaya pemilihan segmen pasar secara khusus guna memperkecil kompetisi—yang dilakukan ojek-ojek online ini sia-sia. Go-Jek, Grab, dan Uber—pemain kelas kakap dalam bisnis yang sama—menumbangkan mereka dengan promosi gila-gilaan pada 2016.
Go-Jek mengeluarkan promosi Rp10.000 ke mana saja dan diskon hingga 50 persen bagi pengguna Go-Pay. Grab memberikan kupon gratis perjalanan dan diskon. Sementara Uber memberikan tarif termurah Rp1.000/kilometer.
Perang harga dan promosi gencar itu membuat ojek-ojek online bermodal kecil langsung belingsatan. Pesanan mereka mendadak anjlok, pengemudi mereka memilih pindah. Ibarat pelanduk yang berdiri di tengah dua gajah yang bertarung, mereka akhirnya kolaps.
Mulai awal 2016 satu per satu ojek-ojek online bermodal cekak ini tumbang. Beberapa dari ojek online secara terang-terangan mendeklarasikan kebangkrutannya, tetapi ada juga yang memilih mati enggan hidup pun susah. (Baca Laporan Tirto soal perang tarif promosi: "Manuver Tarif Go-Jek" dan "Perang Tarif Uber versus Grab di ASEAN, Siapa Juara?")
Bang-Jek, salah satu usaha rintisan asal Yogyakarta pada Februari 2016, menutup usahanya melalui fanpage di Facebook. Beberapa lain seperti Pro-jek dan We-Jek tidak ada kejelasan. Aplikasi mereka masih bisa diunduh, tapi tidak ada satu pun pengemudi yang melayani pesanan di area Jakarta.
Lady-Jek mencoba bertahan melawan promosi-promosi tersebut dengan cara memberikan promo serupa, yakni Rp10.000 ke mana saja. Namun, karena modal terbatas, LadyJek pun memutuskan untuk “rehat” di tengah impitan persaingan tiga raksasa Go-Jek, Grab, dan Uber.
Saat sama-sama memberikan promo, pesanan LadyJek tetap stabil. Namun, begitu promo dicabut karena modal menipis, pesanan langsung anjlok. Pengemudi yang tidak mendapat penumpang akhirnya hijrah ke ojek online bermodal besar. LadyJek kini hanya melayani jasa pengantaran bisnis to bisnis yang sudah melakukan kerjasama. Dari 3.000 pengemudi, kini hanya tersisa 50 pengemudi.
“Kalau saya mendingan mundur dulu sampai napas mereka habis semua karena promo itu sewaktu-waktu," kata Lucia. "Someday akan habis napas. Setelah habis napas, baru kita hidupkan kembali lagi.”
Begitu pula dengan Ojek Argo yang hanya bermodal tak lebih dari Rp100 juta. Jumlah pesanan anjlok drastis begitu perang promo dimulai. Deddy Kurniawan, seorang mantan pengemudi Ojek Argo, mengaku hanya satu kali saja mendapat pesanan selama hampir tiga bulan.
“Itu pun yang pesan ternyata bosnya Ojek Argo. Setelah itu ya sudah, saya mending bikin usaha saja,” kata Deddy yang kini memilih menggeluti bisnis percetakan digital di daerah Mampang Prapatan.
Ojek Argo pun memilih bermain di luar Jakarta dengan membuka agen. Salah satunya di Tegal, Jawa Tengah. “Bagi yang mau menjadi agen, cukup membayar Rp1 juta. Kami akan berikan aplikasinya, sisanya silakan dikelola sendiri, mulai dari mencari driver hingga pembagian hasil,” ujar Rizal.
Topjek berakhir tanpa kejelasan. Jasa pengiriman barang yang menjadi andalan Topjek meringsek begitu Go-Send diluncurkan Go-Jek pada September 2016. Direktur Topjek, Cempaka Adinda Devi saat dihubungi Tirto mengaku sampai saat ini Topjek masih ada. Namun, di lapangan, tidak terlihat aktivitas pengemudi Topjek. Pesanan lewat aplikasi pun tidak direspons.
Pada akhirnya, persaingan dalam inovasi dan ceruk pasar, yang bermain di layanan jasa transportasi massal—yang jadi kebutuhan sehari-hari warga—kalah oleh pemodal besar. Mengingat belum beresnya sistem transportasi publik yang seharusnya jadi kewajiban pemerintah, inisiatif bisnis swasta lewat Go-Jek, Grab, dan Uber dengan mudah menggilas perusahaan kecil lain yang sudah terlanjur merugi.
Bagi sejumlah perusahaan rintisan yang bermodal cekak, mereka menyerah untuk terus-menerus "membakar uang".
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam