Menuju konten utama

Menjajal Peluang Bisnis Ojek Online di Daerah

Para anak muda yang berani menangkap peluang bisnis di daerah mencoba merintis ojek online, yang belum terjamah ekspansi perusahaan jasa serupa bermodal besar.

Menjajal Peluang Bisnis Ojek Online di Daerah
Pengemudi ojek online Ho-Jak di Aceh. FOTO/Doc. Hojek Indonesia

tirto.id - Khairul Mubaraq, direktur Ho-Jak—transportasi berbasis online pertama di Banda Aceh—mengatakan kehadiran usaha rintisannya berawal dari keluhan pelancong yang mengunjungi lokasi-lokasi wisata Aceh. Ia melihat para pelancong sulit mencapai tempat wisata di provinsi paling barat Indonesia ini.

Khairul mengetahui, beberapa ojek berbasis daring di ibukota mati karena tak sanggup bersaing dengan kompetitor besar seperti Go-Jek yang memiliki modal besar. Justru karena ia main di daerah, dan para raksasa ini belum ekspansi ke daerah Serambi Mekkah, ia optimis dengan target yang juga berbeda.

"Kalau di Jakarta untuk orang kerja, sementara di Aceh, target Ho-Jak untuk wisatawan," katanya kepada Tirto.

Bila melihat angka, berdasarkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, kunjungan wisatawan pada 2014 mencapai 1,4 juta orang, mayoritas turis domestik. Jumlah ini meningkat pada 2015 menjadi 1,7 juta orang. Rata-rata ada 50 ribu turis asing datang ke Aceh setiap tahun. Tahun lalu Aceh mendapatkan penghargaan World Halal Tourism Award yang digelar di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Dengan potensi turis yang terus meningkat, Khairul yakin kehadiran Ho-Jak bisa menunjang kebutuhan transportasi massal yang sangat minim di Banda Aceh.

Niat pria asal Bireuen semakin kuat saat ia menggeluti bisnis kudapan salak 'Pliek U', ampas kelapa yang sudah terfermentasi sebagai bumbu cocol salak dan rumbia. Banyak pelanggan yang memesan layanan antar ke tempatnya masing-masing.

Khairul akhirnya meluncurkan Ho-JAK pada 4 Februari lalu. Ia membuka lowongan pekerjaan bagi orang berumur 17-50 tahun. Dalam waktu sebulan, ujarnya, ia sudah memiliki 500 pengemudi untuk tiga jasa alat transportasi: Ho-Bike, Ho-Car, dan Ho-Becak.

Rinaldi, pengemudi Ho-Bike, mengatakan Ho-Jak bisa buat cari pendapatan tambahan. Namun, karena perusahaan rintisan ini belum resmi dirilis, para pelanggannya pun masih minim.

“Kadang satu, dua, dan empat pelanggan dalam sehari. Kawan-kawan lain ada yang dapat lima per hari,” kata Rinaldi, yang baru mengumpulkan pendapatan sehari antara Rp10 ribu - Rp30 ribu.

Mungkin karena masih baru, beberapa warga yang saya wawancarai via telepon belum memakai meski sudah tahu layanan jasa transportasi Ho-Jak. Silfira Rahma, warga Banda Aceh, mengatakan para calon konsumen bagaimanapun harus dikasih tahu lebih dulu bagaimana sistem aplikasi layanan ini.

"Mungkin kendala orang enggak tahu cara pesannya, yang biasa melalui WhatsApp dan telepon, sekarang pakai aplikasi. Selain itu, layanan yang ditawarkan apa, kemudahannya apa untuk konsumen? Di masyarakat belum booming, mungkin cuma di media saja, ya,” kata Silfira.

Alhadi, warga Banda Aceh lain, mengatakan pemberitaan Ho-Jak di media Aceh "luar biasa tapi belum tampak di lapangan."

“Memang berita Ho-Jak ini heboh," kata Alhadi, "tapi belum ada kawan-kawan yang menceritakan mereka memakainya, yang (kata berita) murah, enak, dan cepat."

Kendala awal yang terbayang di depan mata Khairul soal warga Aceh yang sebagian besar punya sepeda motor dan memakainya untuk aktivitas sehari-hari. Juga pemerintah Kota Banda Aceh sudah bikin layanan transportasi umum bernama Trans Koetaradja, yang beroperasi sejak April 2016. Meski targetnya khusus untuk para pelancong, sejauh ini langkah Ho-Jak belum terlihat.

Mereka baru menjalin kerjasama dengan Pemerintah Aceh untuk kegiatan resmi pada 6-11 Mei 2017. Ho-Jak diajak sebagai transportasi antar-jemput tamu undangan yang diikuti 50.000 peserta.

Khairul mengklaim, labi-labi—sebutan angkot di Aceh— bahkan minta bergabung ke Ho-Jak. "Enggak ada demo seperti Jakarta. Perwakilan labi-labi datang ke Ho-Jak untuk minta solusi," ujarnya, percaya diri. Ia berjanji manajemen akan mengikutkan labi-labi dalam daftar transportasi online ke depan setelah sistem Ho-Jak telah kuat.

Di daerah lain seperti Jambi, bisnis rintisan berbasis aplikasi buat transportasi sudah berjalan macam Grabme. Rino Wahyu Susilo, pemilik Grabme, mengatakan sebelum pakai aplikasi, pihaknya memakai pesan BlackBerry dan layanan telepon terpusat buat saluran memesan layanan kurir maupun antar-jemput dokumen maupun barang, transportasi ojek, dan membeli belanja konsumen.

INFOGRAFIK HL Ojek Online Modal Cekak

Persaingan Ojek Online di Jambi

Sebelum ganti nama Grabme, Rino menamakan Imex Kurir dan Kargo buat menjajaki pasar di Jambi. Modalnya dengan kocek pribadi, sebesar Rp200 juta. Ia semula punya 3 pengemudi lantas bertambah jadi 9 pengemudi. Tahun lalu, klaim Rino, Grabme punya 50 pengemudi.

Layanan yang mereka tawarkan termasuk belanja barang hingga tiket bioskop, jasa cuci kendaraan di rumah, jasa membersihkan ruko dan kantor, jasa membawa pakaian ke tempat penatu, hingga jasa beli-antar makanan.

Semula Grabme ditolak oleh jasa ojek konvensional, sebagaimana banyak terjadi di pelbagai daerah atas ekspansi pemain kelas kakap macam Go-Jek. Namun, ujar Rino, penolakan ini berlangsung pendek karena ojek konvensional ikut bergabung dengan Grabme.

"Sebagian besar driver kita profesinya ojek pangkalan. Mereka hanya mendapatkan Rp30 ribu/ hari dan itu sudah hebat. Tapi setelah bergabung, penghasilannya beda banget. Pendapatan mereka meningkat," kata Rino. “Minimal pendapatan pengemudi Grabme mencapai Rp150 ribu hingga Rp200 ribu,” klaimnya.

Pelbagai cara dipakai buat menggaet pelanggan, salah satunya memberi potongan harga maupun tarif murah. Grabme memberikan potongan harga 10-25 persen kepada konsumen, tetapi tidak setiap hari melainkan sebulan sekali. Buat menarik minta, potongan harga ini ditawarkan berupa sebuah tiket yang diundi secara acak.

Rino sadar, dengan modal serba terbatas, ia harus pintar memainkan trik promosi dan tak mungkin menuruti permainan tarif layaknya ojek online yang berbasis di Jakarta. Apalagi di Jambi sudah ada pesaingnya, namanya Let's Go Indonesia, yang juga bermodal pas-pasan.

Let's Go menawarkan layanan berupa ojek penumpang, pengiriman dan menjemput paket, serta jasa bengkel kendaraan ke rumah terutama sepeda motor. Tarifnya lebih murah Rp500 dibanding Grabme, Rp2.500/ kilometer. Bahkan untuj jasa servis motor, mereka memasang tarif tetap Rp70.000 tanpa mengitung jarak lokasi konsumen.

Bagaimana laba ojek online di daerah ini?

Grabme, klaim Rino, sudah membukukan 150 transaksi per hari, dan 200 transaksi di hari libur atau akhir pekan. Rino optimis masih ada peluang lebar buat bisnis tranportasi berbasis aplikasi di daerah. Ia sudah ancang-ancang buat ekspansi ke daerah lain macam perusahaan bermodal besar.

“Kalau tidak ada halangan, targetnya tahun ini buka cabang di kota lain. Sedikit bocoran, di Pulau Jawa dan Sumatera yang belum ada Go-Jek,” katanya.

Ucapan senada diungkapkan Khairul Mubaraq, direktur Ho-Jak, yang akan ekspansi ke kabupaten-kabupaten Aceh lain dalam lima bulan ke depan. Salah satunya adalah Sabang, yang dikenal dengan pantainya yang indah, salah satu lokasi wisata favorit di Provinsi Aceh buat turis lokal maupun asing.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI ONLINE atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Bisnis
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam