tirto.id - Menjamurnya bisnis layanan ojek online di Indonesia ternyata menarik minat Heni Widiafari, perempuan berusia 29 tahun. Berawal dari pesan WhatsApp teman dari "Komunitas Sahabat ke Surga," Agus Edi Susanto, komisaris Ojek Syari di Surabaya, menawarkan Heni membuka cabang di Bekasi.
Heni membuat kesepakatan kerjasama dalam bentuk mitra Ojek Syari. Sebagai mitra, ia diharuskan menyediakan dana awal berupa 10 jaket dan 10 helm Ojek Syari. Syarat pun dipenuhi dengan mudah oleh Heni.
Untuk menjalankan operasional, ia harus merekrut pengemudi atau "sahabat pengendara" Ojek Syari. Sejumlah cara dilakukan, dari pengumuman di akun Facebook dia, menyebar pesan lewat WhatsApp, hingga obrolan dalam pengajian bulanan dan majlis taklim yang diikutinya.
Pada Agustus 2015, Ojek Syari Indonesia resmi berjalan di Bekasi. Saat rilis perdana, ada 20 perempuan sahabat pengendara yang mayoritas berasal dari ibu rumahtangga.
Namun, seiring langkah usaha itu, jumlah pengemudi kian fluktuatif. Tak sedikit yang memutuskan untuk keluar karena urusan rumah tangga, pendapatan menurun, bahkan ada yang berhenti menjadi mitra.
"Pada awalnya ada 20 orang, lalu meningkat hingga 30 sahabat pengendara, dan turun lagi. Akhirnya, hingga saat ini, yang bertahan hanya 21 orang," kata Heni kepada Tirto.
Penurunan pengemudi bukan hanya di Bekasi, melainkan juga di Jakarta Pusat. Awalnya ada 60-an orang, lalu menyusut menjadi 26 orang, 14 orang hingga ... cuma 3 orang. Dengan jumlah yang minim ini, Purwanti Praja, mitra Ojek Syari di Jakarat Pusat, memutuskan pula jadi pengemudi.
Ia kesulitan mencari pengemudi di wilayah Jakarta Pusat, dengan menyesuaikan syarat dari manajemen pusat. Di antaranya pengendara wajib perempuan muslimah berjilbab, berpakaian longgar, dan mendapatkan izin dari suami atau keluarga. Belum lagi sepinya konsumen memakai jasa Ojek Syari karena lama direspons dan dijemput.
Kondisi macam itu mendorong Purwanti berhenti menjadi mitra Ojek Syari Indonesia wilayah Jakarta Pusat dan menyerahkan kembali ke Surabaya.
Ojek Syari semula cukup kuat melawan tarif promo dari para kompetitor. Perusahaan berkantor pusat di Surabaya ini tetap memberikan harga normal kepada pelanggannya: Rp8.000 untuk jarak 1 kilometer pertama dan Rp3.000 untuk kilometer selanjutnya.
"Kita tahu sendiri kalau Go-Jek murah banget. Kita enggak kayak gitu, konsumen masih ada yang menggunakan Ojek Syari, tapi enggak sebesar konsumen GrabBike dan Go-Jek," kata Rosnaini, mitra Ojek Syari wilayah Jakarta Selatan.
Evilita Adriani, pendiri Ojek Syari Indonesia, mengatakan bahwa pihaknya mengutamakan misi dakwah untuk menjaga bisnis ini tetap jalan. Setiap bulan ia mewajibkan pertemuan rutin. Tujuannya, mengevaluasi kinerja sekaligus berbagi ilmu agama.
Ia juga melakukan apa yang disebutnya "pembinaan spiritual" agar setiap pengendara dapat menjaga hubungan dan keamanan pelanggan. Menurutnya, meski tidak gencar bersaing dengan kompetitor lain, upaya membangun kekuatan internal setidaknya dapat menjaga roda perusahaan tetap berputar.
Sementara nasib lebih ngenes untuk bisnis ojek berbasis daring, yang menyasar segmen perempuan, dialami oleh LadyJek. Ojek perempuan yang berkantor di Casablanca ini optimis dengan pasar khusus wanita sejak mereka meluncur pada Agustus 2015. Akan tetapi, tak kuat dihantam promo kompetitor, umur mereka cuma enam bulan dan kini statusnya mati suri.
Segmentasi khusus ini juga dilirik oleh Ojek Akhwat Tigaes di Jambi. Syarifah Lestari, pendiri ojek tersebut, berkata baru satu bulan beroperasi, 14 Februari lalu. Dengan modal Rp500 ribu dan sebuah sabak, Syarifah dan temannya memberanikan diri merintis ojek dengan sistem pemesanan melalui telepon, WhatsApp, sandek, pesan BlackBerry dan inboks Facebook.
Tigaes, katanya, ialah transportasi pribadi khusus melayani penumpang perempuan muslim, baik antar-jemput maupun antar belanja, selain mengirim paket. Produk lain, yang jadi niche market mereka, adalah menyediakan belajar privat untuk menulis kreatif, baca Alquran atau Iqra, bimbingan belajar untuk SD dan SMP, hingga mengajarkan baca, menulis, dan berhitung bagi anak usia pra-SD.
Mereka juga mempersilakan konsumen menawar harga pemesanan. Penawaran ini, kata Syarifah, atas dasar "perniagaan Islam."
Sejumlah inisiatif serupa juga muncul di tempat lain, seperti Sister Ojek di Tangerang Selatan atau Ojek Akhwat Salimah di Bandar Lampung. Motivasinya beragam. Bisa buat bagian dari dakwah macam Ojek Syari, ada juga didorong oleh keprihatinan pendirinya atas tidak ramahnya transportasi publik bagi perempuan.
Apapun motif yang melatarinya, tampaknya pelbagai perusahaan rintisan dengan segmentasi perempuan dan muslimah ini, baik bermodal sangat tipis sampai yang cukup ambisius seperti LadyJek, harus bersaing keras di tengah impitan kompetisi untuk jasa massal macam ojek.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam