Menuju konten utama

Bentrok Transportasi Konvensional dan Online

Ketegangan antara pengemudi transportasi online dan konvensional makin marak. Selain karena tak menginginkan adanya transportasi online, kabar hoax kadang jadi pemicu.

Bentrok Transportasi Konvensional dan Online
Pengemudi taksi terlibat ricuh dengan pengemudi gojek yang melintas saat unjuk rasa menolak operasi Go-jek di Balaikota Solo, Jawa Tengah, Rabu (15/3). Kericuhan tersebut dipicu protes pengemudi taksi menolak keberadaan Go-jek di kawasan stasiun Purwosari. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha.

tirto.id - Pemberitaan Go-Jek, Grab dan Uber menghiasi halaman depan media massa. Dalam setahun terakhir, muncul pelbagai demonstrasi penolakan terhadap transportasi berbasis online tersebut. Demonstrasi itu datang dari pengemudi transportasi non-aplikasi yang bahkan berujung bentrok.

Pada 14 Maret 2016, ratusan pengemudi angkutan umum berunjuk rasa di Kantor Balai Kota DKI Jakarta. Mereka menuntut pemerintah untuk menertibkan angkutan umum berbasis aplikasi. Bagi para pengemudi taksi, kopaja, dan bajaj di Ibu Kota, jasa transportasi online mengurangi pendapatan mereka.

“Kami menolak aplikasinya, bukan menolak orangnya. Tutup aplikasi, bubarkan aplikasi, bubarkan angkutan yang tidak sah,” kata orator dalam unjuk rasa tersebut, seperti dikutip Antara.

Di Makassar, puluhan sopir angkutan kota (angkot) dan taksi melakukan aksi di kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Mereka mendesak pemerintah menutup dan memblokir transportasi online. Alasannya pun sama, yakni mengurangi pendapatan sopir dan menurunkan tarif yang diberlakukan Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Selatan.

Menanggapi unjuk rasa dari para sopir angkot dan taksi, DPRD setempat mengambil langkah tegas. “Angkutan online ini preman transportasi dan meresahkan. Kita akan panggil segera pihak terkait untuk rapat membahasnya karena ada dugaan melanggar aturan,” kata seorang politikus, dikutip Antara.

Unjuk rasa menolak transportasi online terjadi di Malang, Tangerang, Solo hingga Medan. Alasan utama penolakan sopir angkot dan taksi di kota-kota itu karena berkurangnya pendapatan setelah kehadiran transportasi berbasis online.

Di Solo, tak hanya ojek pangkalan yang berdemonstrasi menolak transportasi berbasis online, pengemudi becak pun menyampaikan aspirasinya. Mereka menuntut Pemkot menertibkan dan melarang Go-Jek, Uber, dan Grab beroperasi.

Menurut Ketua Forum Komunikasi Keluarga Becak (FKKB) Sardi Ahmad, kehadiran Go-Jek di Solo mengakibatkan pendapatan pengemudi becak dan ojek pangkalan berkurang dan berpotensi mematikan industri becak dan ojek pangkalan.

Kehadiran pemain baru dalam bisnis transportasi, di tengah problem angkutan umum yang buruk, telah memicu ketegangan bahkan berbuntut kekerasan itu. Tetapi, dalam riwayat problem perkotaan di Indonesia, hal macam itu bukan hal baru. Sebelum kehadiran transportasi berbasis aplikasi, jalanan Jakarta maupun kota-kota besar lain yang pernah di tahun-tahun dulu dilintasi bajaj juga menyingkirkan becak. Begitu juga saat ada angkot maupun ojek pangkalan serta bisnis taksi—mereka merajai jalanan dengan melenyapkan pelan-pelan transportasi lebih tua seperti bajaj dan becak hingga delman atau ojek sepeda.

Sejarah berulang.

Infografik Trasnportasi Konvensional vs Online

Gampang Menelan Hoax

Sudah terjerat sistem transportasi publik yang buruk, berimbas pada persaingan di jalanan dengan pemain baru, eh malah disiram dengan berita palsu.

Itulah yang terjadi di Bogor. Informasi yang berkembang di antara para sopir angkot adalah massa dari pengemudi ojek online akan melakukan sweeping. Bentrokan pecah antara kedua pihak selama hampir satu jam, sebelum dihentikan oleh petugas keamanan.

Tak hanya sekali hoax memicu bentrok. Pada 9 Maret lalu, satu keluarga asal Margahayu Kencana, Kota Bandung, menjadi korban amukan massa karena dituduh memakai jasa taksi online. Massa yang tersulut emosi, dari sentimen mereka terhadap transportasi online, merusak kendaraan itu tanpa peduli jika di dalamnya ada seorang bayi.

Penyerangan itu dipicu pula oleh sopir angkot yang teriak-teriak bahwa keluarga itu menumpang taksi online. “Iya, saya menyesal. Saya memang di bawah pengaruh alkohol. Saya minum tiga gelas tuak,” kata seorang pelaku, seperti dikutip Antara.

Salah satu hoax yang juga pernah beredar: pengemudi GrabBike menabrak lari sopir angkot yang dikabarkan meninggal dan penabrakan itu dilakukan sengaja—begitupun sebaliknya; tinggal mengganti subjek pelaku dan korban. Kabar hoax macam ini di media sosial dan grup aplikasi pesan ikut menaikkan tensi emosi sopir angkot dan ojek online.

Dampak dari kericuhan di Bogor: lima angkot dirusak. Menurut para pengemudi angkot, pengendara ojek online melempar batu dan merusak angkot milik mereka.

Sebanyak 300 personel gabungan dari kepolisian Bogor mengamankan lokasi di depan terminal Laladon pada 22 Maret lalu.

Sesudah peristiwa kekerasan itu, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto meminta dua pihak tidak menyebarkan informasi maupun foto-foto yang belum terkonfirmasi kebenarannya. Misalnya angkot yang terbakar, wajah yang babak belur dan lainnya, karena bisa saja itu hanyalah provokasi dan hoax.

===========

Naskah diperbarui pada 5 April 2017, 05:30

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI ONLINE atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani