tirto.id - Tidak sampai satu hari setelah bertemu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno pada Senin (17/9/2018), Kwik Kian Gie ditelepon para pengurus PDIP. Pernyataan Kwik soal kesediaannya menjadi penasihat Prabowo-Sandiaga dalam mengarungi Pemilihan Presiden 2019 rupanya membuat Ketua Umum PDIP Megawati geram.
"Hendrawan Supratikno dan Aria Bima [keduanya Ketua DPP PDIP] menelepon saya. Mereka mengatakan bahwa Ibu Mega marah besar. Tetapi, yang dimarahi bukan saya. Dia marah besar terhadap internal PDIP, tim ekonominya. Bu Mega menelepon dan menanyakan 'Apa betul Pak Kwik tidak pernah diajak bicara? Kenapa tidak pernah diajak bicara?' begitu," ujar Kwik saat dihubungi Tirto, Selasa (18/9/2018).
Benang merah antara Kwik, PDIP, dan Megawati tergambar jelas. Kwik mengakui di hadapan Prabowo, Sandiaga, dan para wartawan pada Senin (17/9/2018) bahwa ia masih kader PDIP, parpol pengusung Jokowi-Ma'ruf, rival Prabowo-Sandiaga di Pilpres 2019. Laki-laki kelahiran 1935 itu sendiri merupakan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas di era Presiden Megawati. Kepada Tirto, dia mengatakan, "Hubungan saya dengan Bu Mega begitu dekatnya."
Namun, yang mengajaknya berdiskusi pandangan dan masukannya mengenai permasalahan ekonomi di Indonesia justru Prabowo. Kwik bahkan memuji Prabowo yang tekun mencatat serta menandai bagian-bagian penting yang ditemukannya dalam buku karangan Kwik.
Sedangkan PDIP, menurut Kwik, tidak pernah menggubris pendapatnya dari 2004, 2009, hingga 2014. Namun, soal ini dibantah Sekretaris Jenderal PDIP. Ia mengklaim paradigma ekonomi yang diusung Kwik sudah diimplementasikan. Konsep ekonomi itu, menurut Hasto, justru berbeda dengan yang dimiliki Gerindra, PKS, dan Sandiaga Uno.
Salah satu kritik yang kerap dilontarkan Kwik terhadap pemerintah ialah dominasi "Mafia Berkeley" dalam perumusan dan pengambilan kebijakan ekonomi Indonesia.
Pada era Presiden SBY, Kwik Kian Gie mengkritik Sri Mulyani. Lalu, pada zaman Presiden Jokowi, lagi-lagi, Kwik menyebut tiga menteri (Darmin Nasution, Sri Mulyani, dan Bambang Brodjonegoro) sebagai pewaris Mafia Berkeley yang menghalangi diterapkannya ekonomi kerakyatan di Indonesia.
Amat jarang politikus PDIP mengkritik pemerintahan Jokowi. Selain membuat posisi Kwik dalam PDIP unik, kritik itu juga bikin relasinya dengan Prabowo semakin menarik.
Mafia Berkeley dan Ekonomi Indonesia
Mafia Berkeley adalah sebutan bagi lima teknokrat pengampu kebijakan ekonomi Orde Baru. Mereka ialah arsitek yang membangun pondasi pemikiran ekonomi Indonesia sejak Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Sukarno. Kelompok itu disebut "Mafia Berkeley" sebab empat di antaranya mengenyam pendidikan terakhir atau pernah studi di University of California, Berkeley, Amerika Serikat (AS). Lulusan Berkeley itu antara lain Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, dan Mohammad Sadli.
Semasa Orde Baru berkuasa, para Mafia Berkeley memiliki posisi yang amat strategis. Widjojo menjabat Kepala Bappenas (1967-1983); Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) pada 1973-1983; dan Penasihat Ekonomi Presiden (1983-1998). Sedangkan Ali Wardhana menjadi Menteri Keuangan (1973-1983) dan Menko Ekuin (1983-1988).
Sementara itu, Emil Salim menjabat Menteri Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara merangkap Wakil Kepala Bappenas (1971-1973), Menteri Perhubungan (1973-1978), Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1978-1983), serta Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (1983-1993). Sedangkan Mohammad Sadli menjadi Menteri Tenaga Kerja (1971-1973) dan Menteri Pertambangan (1973-1978).
Bangkitnya ekonomi Indonesia semasa awal Orde Baru boleh dibilang berkat tangan dingin para Mafia Berkeley. Haryo Aswicahyono, ekonom senior yang berkantor di Center for Strategic and International Studies (CSIS) memuji langkah Widjojo membuka Indonesia untuk dimasuki modal asing.
“PMA [penanaman modal asing] mulai masuk, terutama Jepang. Hasilnya bukan main. Inflasi dari 600 bisa ditekan jadi 2 digit. Produksi pertanian naik, utang luar negeri bisa direstrukturisasi, padahal jika dilihat dari utang, Indonesia sudah bangkrut waktu itu,” ujar Haryo saat diwawancarai Tirto pada Agustus 2016.
Setelah pintu untuk investor asing dibuka, selanjutnya pemerintah Orde Baru mencari bantuan luar negeri. Langkah ini berujung pada pembentukan Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), sebuah konsorsium pemberi pinjaman kepada Indonesia, pada 1967. IGGI terdiri 13 negara (termasuk Jepang dan AS), Bank Dunia, IMF, Bank Pembangunan Asia (ADB), UNDP, serta Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Setelah IGGI dibentuk dan moratorium utang luar negeri diberlakukan, kucuran pinjaman terus berdatangan.
Namun, keberadaan lembaga besutan Mafia Berkeley itu malah membuat Indonesia kian bergantung kepada utang luar negeri. Negara-negara IGGI juga meminta timbal balik berupa penguasaan sektor-sektor industri penting di Tanah Air.
Salah satu dampak IGGI disebutkan dalam Rethinking the Dynamics of Capital Accumulation in Colonial and Post-Colonial Indonesia: Production Regulation (2001) yang disusun Andrew Mack. Ia menyebutkan perusahaan lokal tidak mendapat ruang untuk mengelola industri ekstraktif dengan produksi keuntungan yang tinggi sebab hal itu sudah diberikan kepada negara-negara IGGI. Pada akhirnya, kepentingan asing di Indonesia telah memaksa perusahaan lokal tunduk pada status perusahaan asing. Perusahaan lokal hanya ditempatkan sebagai produsen-korporat di Indonesia serta agen pemasaran produk.
Dampak buruk ketergantungan terhadap utang luar negeri juga terasa betul ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1997. Bantuan yang dikucurkan IMF untuk melikuidasi 16 bank pada awal November 1997 yang terpuruk justru memicu penarikan dana besar-besaran oleh nasabah yang panik.
"Saya Kenal Pak Mitro Sejak Lama"
Istilah Mafia Berkeley sudah sarat konotasi negatif sejak digunakan pertama kali, yakni dalam artikel "The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre" yang ditulis David Ransom dalam majalah Ramparts (Vol. 9, No. 4, Oktober 1970).
Ransom menjelaskan peran Sumitro Djojohadikusumo sebagai pendiri Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) yang menjadi kampus para Mafia Berkeley, komunikasi Sumitro dengan agen Central Intelligance Unit (CIA), hingga pandangan ekonomi-politik Sumitro.
Politikus Partai Sosialis Indonesia (PSI) itu pula, atas bantuan Ford Foundation, yang mengirim Widjojo dan kawan-kawan untuk kuliah di Berkeley. Sementara itu, para profesor dari Berkeley merancang FE UI sebagai sekolah ekonomi, statistika, dan administrasi bisnis ala AS.
Di sini lah benang merah antara Kwik Kian Gie, Prabowo, dan Sumitro bertemu. Sumitro merupakan ayah Prabowo Subianto. Sementara Kwik Kian Gie—pengkritik dominasi Mafia Berkeley itu—dan Sumitro sama-sama alumni Nederlandse Economische Hogeschool, Rotterdam, Belanda.
"Yang istimewa dari alumni Rotterdam itu kayak ada hubungan batin yang dekat. Walau Pak Mitro usianya jauh, kalau bertemu [saya], ya, ngobrol dan berdiskusi macam-macam. Saya kenal Pak Mitro sejak lama. Saya juga kenal Prabowo sejak dia belum punya pikiran politik," ujar Kwik Kian Gie.
Kwik tidak menampik bahwa para Mafia Berkeley adalah murid-murid Sumitro. Namun, menurutnya, murid-muridnya itu tidak mengikutsertakan pandangan Sumitro lagi setelah dapat gelar dari Berkeley dan diangkat sebagai menteri oleh Soeharto.
"Kemarin malam saya bicara dengan Pak Prabowo mengenai itu bahwa Pak Sumitro, ayah Prabowo, ditendang dari kelompok mereka [Mafia Berkeley]. Lalu, Pak Prabowo ingat betul oleh karena mereka mengatakan bahwa Pak Mitro tidak perlu diajak bicara untuk menyusun kebijakan karena Pak Mitro lulusan Rotterdam dan pemikiran ekonominya sudah usang sama sekali," cerita Kwik Kian Gie.
Kritik atas Kritik terhadap Mafia Berkeley
Goenawan Muhammad tidak menyetujui kritik yang dilontarkan Kwik Kian Gie mengenai kebijakan ekonomi Orde Baru. Menurut pendiri majalah Tempo itu, pernyataan Kwik Kian Gie mengabaikan kenyataan bahwa, "Dalam 'pembangunan ekonomi' Soeharto ada sebuah wajah yang lain." Dengan mengutip Richard Robison, Goenawan menyebut "wajah yang lain" itu sebagai "nasionalisme ekonomi yang didorong negara".
Goenawan mencatat Ibnu Sutowo—mantan dirut Pertamina—memelopori nasionalisme ekonomi tersebut pada 1970-an. Saat itu, harga minyak dunia melonjak dan uang hasil bisnis jual-beli minyak bumi mengalir ke kantong pemerintah. Pelbagai hal dibangun Ibnu Sutowo dengan uang negara tersebut: industri bahan, rumah sakit modern, lapangan golf, hingga pabrik pupuk terapung.
Namun, menurut lelaki kelahiran Batang, Jawa Tengah itu, yang terjadi adalah korupsi dan utang Pertamina yang sebesar 10,5 miliar dolar AS.
"Menghadapi hal-hal seperti inilah 'liberalisasi' jadi masuk akal: pasar akan lebih cepat memperingatkan dan sekaligus memberi hukuman ketimbang seorang menteri penertiban aparat negara, ketika sebuah perusahaan sebesar Pertamina salah urus," ujar Goenawan dalam "Catatan Pinggir"-nya yang berjudul "Reformasi, Katanya. Tapi Mungkin 'Tumpas Kelor' terhadap Ingatan".
Sementara itu Boediono—mantan wapres dan menkeu—orang yang disebut Kwik sebagai pewaris pemikiran Mafia Berkeley, mengatakan bahwa pernyataan David Ransom yang menyebut pemikiran Widjojo bagian dari rencana CIA adalah tuduhan belaka.
Menurut Boediono, tuduhan itu tidak adil sebab Ransom tidak pernah hidup di Indonesia dan mengerti kondisi yang diakibatkan sistem ekonomi terpimpin yang diterapkan Sukarno.
Widjojo mengganti sistem ekonomi ala Sukarno itu dengan membuka peluang bagi pasar namun unsur pengendalian oleh negara dipertahankan. Akibatnya, menurut Boediono, pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen per tahun selama lebih dari 30 tahun Orde Baru berkuasa.
Editor: Ivan Aulia Ahsan