tirto.id - Salah satu aturan yang wajib ditaati oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) terkait posisinya di pemerintahan adalah bersikap netral dalam pemilihan umum (Pemilu). Aturan ASN harus netral dalam pemilu ini secara jelas tercantum di beberapa regulasi.
Lantas, apa yang dimaksud dengan netralitas ASN dalam pemilu?
Netralitas ASN di pemilu maksudnya adalah ASN tidak boleh menunjukkan keberpihakan pada kandidat atau partai yang menjadi peserta pemilihan umum. Adapun yang dimaksud dengan ASN ialah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Aturan ASN harus netral dalam pemilu tersebut diatur secara tegas di beberapa peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-undang ASN Nomor 5 Tahun 2014 (kini sebagian isinya telah diubah dengan UU ASN yang disahkan oleh DPR RI pada 3 Oktober 2023).
Sementara itu, jika harus bersikap netral, apakah ASN boleh ikut pemilu? Faktanya, para PNS dan PPPK masih tetap memiliki hak pilih dalam pemilu.
Meskipun wajib bersikap netral, ASN masih bisa mengikuti pemilu dengan menjadi pemilih yang memberikan suaranya. Karena itu, ASN tetap berhak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) guna mencoblos sekalipun dilarang menunjukkan dukungan kepada kandidat tertentu.
Siapa Saja yang Harus Netral dalam Pemilu?
Terdapat beberapa alasan yang mendasari kenapa ASN harus netral dalam pemilu. Salah satunya adalah mencegah konflik kepentingan. Netralitas ASN penting untuk memastikan tidak ada penggunaan fasilitas negara dalam upaya menyokong peserta pemilu tertentu.
Alasan itu juga mendasari peraturan yang mewajibkan netralitas aparat negara lainnya di pemilu, seperti anggota TNI/POLRI, pegawai Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Kewajiban para aparatur negara tersebut bersikap netral dalam pemilu telah secara jelas diatur di UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) serta beberapa undang-undang lainnya.
Sanksi atas pelanggaran terhadap kewajiban netralitas dalam pemilu itu bervariasi, mulai dari teguran, hukuman administratif, hingga pemecatan.
Di sisi lain, sebagian aparat tadi masih memiliki hak pilih, meski harus bersikap netral dan tidak bisa dipilih (menjadi kandidat) dalam pemilu.
Berikut ini penjelasan tentang pihak-pihak yang harus netral dalam pemilu:
1. PNS
PNS adalah pegawai tetap berstatus ASN yang diangkat untuk bekerja di pemerintahan. Sebagai salah satu bagian dari ASN, PNS wajib menjaga netralitas dalam pemilu.
Sesuai dengan Pasal 9 UU ASN Nomor 5 Tahun 2014, PNS wajib menjaga netralitasnya dengan cara terbebas dari pengaruh maupun intervensi semua golongan dan partai politik. Meskipun harus netral, PNS boleh ikut pemilu untuk menyalurkan hak pilihnya.
2. PPPK
PPPK merupakan pegawai tidak tetap pemerintah yang diangkat melalui perjanjian kerja. Sebagai ASN, PPPK juga wajib netral dalam pemilu dengan tidak ikut memihak golongan dan partai politik tertentu. Sama seperti PNS, PPPK tetap berhak mengikuti pemilu untuk menyalurkan hak pilihnya.
3. KPU
KPU adalah lembaga negara yang menyelenggarakan pemilihan umum di Indonesia. Oleh karena posisinya sebagai penyelenggara pemilihan umum, bersikap netral jadi kewajiban yang melekat di seluruh jajaran KPU. Sebagaimana ASN, jajaran KPU pun punya hak pilih.
Keharusan bersikap netral dalam pemilu ini wajib ditaati oleh anggota KPU, pegawai KPU, hingga panitia pemungutan suara (PPS) yang diangkat oleh KPU.
Mengutip pasal 7 UU Pemilu: "Dalam menyelenggarakan Pemilu, KPU bebas dari pengaruh pihak mana pun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya."
4. Bawaslu
Bawaslu adalah lembaga negara yang bertugas dalam mengawasi jalannya pemilu. Sama seperti KPU, Bawaslu juga wajib menjaga netralitasnya dalam pemilu. Semua jajaran di bawah Bawaslu juga seperti ASN, masih memiliki hak pilih di pemilihan umum.
Menjaga netralitas ini wajib ditaati oleh pegawai Bawaslu, anggota Bawaslu, dan badan pengawas ad hoc yang diangkat oleh oleh Bawaslu.
Berdasarkan pasal 96 huruf a UU Pemilu, Bawaslu wajib "bersikap adil dalam menjalankan tugas dan wewenang."
5. TNI
Prajurit TNI juga wajib menjaga netralitas dalam pemilu. Namun, berbeda dari ASN, TNI tidak bisa menggunakan hak pilihnya di pemilihan umum.
Hal ini tertuang dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 yang melarang prajurit TNI untuk berada di arena tempat pemungutan suara (TPS) saat pelaksanaan pemungutan suara. Peraturan yang sama juga tertuang dalam UU Pemilu.
6. Polri
Sama seperti TNI, anggota Polri wajib menjaga netralitasnya dalam pemilu. Hal ini berarti polisi bukan hanya tidak boleh menunjukkan keberpihakan terhadap kandidat atau parpol tertentu, tetapi juga tidak bisa ikut memilih di pemilu. Ketentuan ini termuat dalam pasal 28 ayat 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
7. Pejabat negara hingga kepala desaUU Pemilu juga mewajibkan netralitas dalam pemilu kepada pejabat negara hingga kepala desa. Hal ini sesuai pasal 282 UU Pemilu Nomor 5 Tahun 2014 yang berbunyi:
"Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu selama masa Kampanye."
Aturan Netralitas ASN dalam Pemilu
Kewajiban netralitas ASN dalam pemilu tertuang dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Salah satu yang menjadi pedoman adalah UU ASN Nomor 5 Tahun 2014.
Hal ini sesuai dengan pasal 9 UU ASN 5/2014 yang menyebutkan bahwa ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi politik. Aturan netralitas ASN di pemilu juga tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS.
PP tersebut mengatur bahwa PNS pelanggar kewajiban netralitas politik dan pemilu dapat dikenai sanksi disiplin.
Lantas, apa saja tindakan ASN yang dianggap sebagai pelanggaran netralitas di pemilu?
Berdasarkan UU ASN 5/2014, tindakan yang dianggap tidak netral bagi ASN adalah ikut serta dalam politik praktis. Itu artinya ia tidak boleh bergabung menjadi anggota maupun pengurus partai politik.
Tak hanya itu, politik praktis yang dimaksud dalam UU ASN juga bisa diwujudkan dalam beberapa tindakan yang menunjukkan keberpihakan, termasuk ikut kegiatan kampanye hingga menunjukkan dukungan lewat unggahan media sosial.
Berdasarkan surat edaran (SE) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) nomor B/71/M.SM.00.00/2017, serta PP Nomor 94 Tahun 2021, berikut daftar bentuk keterlibatan dalam politik praktis yang dilarang bagi ASN:
- Melakukan pendekatan terhadap partai politik terkait rencana pengusulan dirinya maupun orang lain sebagai bakal calon/wakil di pemilu
- Memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya maupun orang lain sebagai bakal calon di pemilu.
- Mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon.wakil di pemilu
- Menghadiri deklarasi bakal calon/bakal pasangan calon dengan dan/atau tanpa menggunakan atribut bakal paslon maupun partai politik
- Mengunggah, menanggapi (seperti like, komentar dan sejenisnya), atau menyebarluaskan gambar/foto bakal calon pasangan calon melalui media online maupun media sosial.
- Berfoto bersama dengan bakal calon dan/atau wakilnya dengan mengikuti simbol tangan/gerakan yang digunakan sebagai bentuk keberpihakan.
- Menjadi pembicara/narasumber pada kegiatan pertemuan partai politik.
- Bergabung menjadi anggota dan/atau pengurus parpol.
- Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
Netralitas ASN dalam pemilu diawasi dengan ketat oleh lembaga yang berwenang, yaitu Bawaslu. Dikutip dari situs Bawaslu, jika ASN terbukti melakukan pelanggaran terkait netralitas di Pemilu, pengawas berhak untuk melaporkan atau melakukan penindakan.
Mengapa ASN harus Netral dalam Pemilu?
Berdasarkan penjelasan di situs web resmi Bawaslu, ASN diharuskan untuk netral karena statusnya sebagai pegawai pemerintah yang sangat mengikat.
Artinya, ASN diangkat agar menjalankan tanggung jawabnya kepada publik, bukan untuk kepentingan suatu golongan atau parpol tertentu.
Jika ASN tidak netral dalam pemilu, dikhawatirkan terjadi adanya conflict of interest alias konflik kepentingan yang merugikan negara dan masyarakat.
Pentingnya sikap ASN agar tidak berpihak secara politik secara jelas ditegaskan dalam UU Aparatur Sipil Negara. Pasal 2 UU ASN Nomor 5 Tahun 2014 berisi ketentuan bahwa salah satu asas dalam kebijakan dan Manajemen ASN adalah "Netralitas."
Mengutip Policy Brief bertajuk "Netralitas ASN di Tengah Intervensi Politik" terbitan Komisi Aparatur Sipil Negara atau KASN (2017), netralitas ASN penting karena kualitas aparatur birokrasi tak boleh berubah dalam memberikan pelayanan publik walaupun pimpinannya berganti karena ada mekanisme pemilu.
Selain itu, sikap netral juga wajib dimiliki oleh ASN karena mereka bertugas memberikan pelayanan publik secara langsung kepada masyarakat. Netralitas penting agar ASN tidak memobilisasi warga maupun aset negara untuk mendukung kelompok politik tertentu.
Hasil riset Bidang Pengkajian dan Pengembangan Sistem KASN terhadap sejumlah pilkada pada 2015-2017 menunjukkan pelanggaran netralitas ASN yang paling banyak adalah:
- memakai anggaran Pemda untuk kampanye terselubung;
- terlibat langsung atau tidak langsung dalam kampanye kandidat;
- terlibat memfasilitasi kandidat tertentu;
- memasang baliho atau spanduk untuk kepentingan kandidat tertentu;
- dan lain sebagainya.
Berbagai jenis pelanggaran di atas tidak hanya merugikan negara dan masyarakat karena mengarah pada tindakan korupsi anggaran maupun kewenangan, tapi juga bisa merusak kualitas demokrasi di Indonesia.
Pada dasarnya, netralitas ASN sulit direalisasikan secara penuh karena mereka pun masih punyam hak pilih. Namun, ASN juga harus menyadari bahwa dukungannya pada kandidat atau parpol tertentu hanya bisa ditunjukkan di bilik-bilik tempat pemungutan suara.
Editor: Addi M Idhom