Menuju konten utama
Museum Lubang Buaya

Sejarah Museum Lubang Buaya, Lokasi, dan Syarat Masuk

Berikut ini informasi sejarah Museum Lubang Buaya, lokasinya ada di mana, apa saja yang ada di museum tersebut serta syarat masuk Museum Lubang Buaya.

Sejarah Museum Lubang Buaya, Lokasi, dan Syarat Masuk
Presiden Joko Widodo didampingi ibu negara Iriana Joko Widodo berjalan menuju Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Kamis (1/10). Hari Kesaktian Pancasila diperingati untuk mengenang jasa tujuh pahlawan revolusi korban peristiwa G30S 1965. antara foto/m agung rajasa/15.

tirto.id - Museum Lubang Buaya atau Museum Pancasila Sakti merupakan sebuah museum yang menyimpan berbagai bukti sejarah terkait peristiwa G30S 1965. Berdasarkan sejarah, Museum G30S 1965 ini sudah berdiri selama lebih dari 50 tahun.

Lokasi Museum G30S Lubang Buaya berada di Jakarta Timur, tempat terjadinya peristiwa 30 September. Pada lokasi yang sama ditemukan jasad para Jenderal Angkatan Darat (AD) yang menjadi korban para pemberontak G30S 1965.

Museum Lubang Buaya saat ini banyak digunakan sebagai destinasi wisata sejarah dan edukasi. Setiap tanggal 1 Oktober Monumen Pancasila Sakti yang berada di satu kompleks dengan museum dijadikan lokasi upacara peringatan peristiwa G30S 1965.

Selain itu, museum ini juga dibuka secara luas untuk umum. Sama seperti lokasi wisata bersejarah lainnya, setiap pengunjung museum wajib menaati syarat dan ketentuan masuk.

Sejarah Museum Lubang Buaya

Museum Lubang Buaya berdiri dua tahun setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Berdasarkan informasi yang tercantum dalam Direktori Museum-Museum di Indonesia (1986), Museum Lubang Buaya berdiri pada pertengahan Agustus 1967.

Museum Lubang Buaya sebetulnya juga dikenal dengan nama Museum Pengkhianatan PKI (Komunis), Museum Pancasila Sakti, dan Museum G30S/PKI. Nama-nama tersebut disematkan karena museum ini memuat berbagai koleksi nasional terkait peristiwa G30S 1965.

Meskipun museum sudah berdiri sejak Agustus 1967, namun peresmiannya baru dilakukan pada 1 Oktober 1967 bertepatan dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Peresmian Museum Lubang Buaya dilakukan oleh Presiden Soeharto.

Dasar pendirian Museum Lubang Buaya sendiri berkaitan dengan peristiwa sejarah kelam pada 30 September 1965. Pada saat itu, gerombolan pelaku G30S 1965 melakukan penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal AD.

Peristiwa tersebut menyebabkan 6 orang jenderal dan 1 letnan AD tewas. Mereka yang tewas antara lain Ahmad Yani, MT Haryono, S.Parman, DI Panjaitan, Sutoyo Siswomiharjo, Anumerta Suprapto, dan Pierre A. Tendean. Ketujuh korban kini mendapat gelar sebagai Pahlawan Revolusi.

Besarnya dampak dari peristiwa tersebut terhadap Indonesia, membuat Pemerintah Orde Baru memutuskan untuk membangun monumen di lokasi kejadian G30S 1965.

Lokasi yang dimaksud adalah area operasional gerombolan pelaku G30S 1965 sekaligus tempat kejadian penculikan dan pembunuhan para jenderal. Tak hanya itu, wilayah Lubang Buaya juga menjadi tempat ditemukannya jenazah para jenderal di sebuah sumur tua.

Monumen yang didirikan disebut sebagai Monumen Pancasila Sakti. Monumen tersebut didirikan dengan tujuh patung Pahlawan Revolusi yang mengelilingi patung Garuda Pancasila.

Pada awal masa berdiri, Museum Lubang Buaya dikelola oleh 23 orang yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Sri Suko.

Lokasi Museum Lubang Buaya

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Museum Lubang Buaya berlokasi di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Alamat lengkap Museum adalah di Jalan Raya Pondok Gede RT. 4/RW 12, Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur.

Perlu diketahui bahwa istilah 'Lubang Buaya' bukanlah merujuk pada lubang tempat dikuburnya para jenderal. Lubang Buaya sendiri adalah salah satu wilayah di Jakarta Timur yang sudah ada jauh sebelum peristiwa G30S 1965 terjadi.

Menurut Aqillah Afifadiyah Rahman dalam jurnal Local History and Heritage (2021) Nama Lubang Buaya disematkan oleh tokoh masyarakat kuno bernama Pangeran Syarif (Datok Banjir). Ia diketahui merupakan pengelana sakti yang dipercaya masyarakat mampu melihat hal tak kasat mata.

Saat datang ke sebuah desa di Cipayung, Jakarta Timur, Datok Banjir melewati Kali Sunter yang penuh dengan buaya. Tak hanya buaya rawa, ia juga melihat buaya putih yang dipercaya sebagai penjaga astral wilayah tersebut.

Oleh karena itu, wilayah desa tersebut diberi nama sebagai Lubang Buaya. Konon, masyarakat masih percaya bahwa sungai-sungai di sekitar Lubang Buaya masih dijaga oleh buaya-buaya putih.

Sementara itu, lubang yang menjadi lokasi tempat ditemukannya jenazah para Jenderal adalah sebuah sumur tua di kelurahan Lubang Buaya. Sumur tersebut memiliki kedalaman 12 meter dengan diameter 0,75 meter.

Di dalam sumur itulah jenazah para jenderal yang sudah dieksekusi dimasukkan dan ditutup dengan sampah. Saat ini tentu sumur tersebut sudah ditutup, digantikan dengan replika yang autentik dan dipamerkan di Museum Lubang Buaya.

Ada Apa Saja di Museum Lubang Buaya?

Museum Lubang Buaya memuat berbagai atraksi dan koleksi sejarah nasional terkait peristiwa G30S 1965.

Dikutip dari Instagram @Monumenpancasilasakti, berikut daftar atraksi dan koleksi sejarah di Museum Lubang Buaya:

    1. Replika sumur maut atau sumur tua tempat ditemukannya jasad para Pahlawan Revolusi.
    2. Rumah penahanan dan penyiksaan Pahlawan Revolusi.
    3. Monumen Pancasila Sakti (Patung Pahlawan Revolusi dan Relief)
    4. Rumah Pos Komando.
    5. Rumah Ibu Amroh yang dijadikan dapur umum dan penyimpanan logistik oleh pelaku G30S 1965.
    6. Mobil Truk P.N. Artha Yasa.
    7. Mobil sedan yang merupakan mobil dinas Mayjen Ahmad Yani.
    8. Mobil Jeep Toyota yang merupakan mobil dinas Presiden Soeharto.
    9. Museum Pengkhianatan PKI (Komunis).
    10. Museum Diorama Paseban.
    11. Ruang teater.
    12. Ruang relik pakaian para Pahlawan Revolusi dan bekas darah.
    13. Ruang pameran foto dan dokumenter.
    14. Panser saraceen.

    Syarat Masuk Museum Lubang Buaya

    Museum G30S Lubang Buaya dibuka untuk umum setiap hari Selasa hingga Minggu pukul 08.00 - 15.30 WIB. Namun, Museum Lubang Buaya tutup setiap 1 Oktober untuk Upacara Hari Kesaktian Pancasila.

    Museum ini terbuka untuk individu maupun rombongan. Salah satu syarat utama bisa masuk Museum Lubang Buaya adalah mempunyai tiket.

    Harga tiketnya pun terjangkau, yaitu Rp5.000 per pengunjung umum dan Rp3.000 per pengunjung pelajar atau mahasiswa. Namun, setiap tanggal 1 November bertepatan dengan Hari Pahlawan, akses masuk ke Museum Lubang Buaya Gratis.

    Selain itu, pengunjung juga bisa menyewa jasa pemandu dan bus sebesar Rp100.000 dan menonton film dokumenter dengan biaya dihitung rombongan (Rp75.000/50 orang).

    Selain, membeli tiket, ada beberapa ketentuan lain yang disyaratkan pengelola Museum Lubang Buaya bagi pengunjung, yaitu:

      1. Pengunjung diharapkan dapat menjaga perasaan khidmat, tidak berteriak-teriak, bercanda, dan berbuat tidak sopan di area museum.
      2. Pengunjung diharapkan dapat menjaga kebersihan, ketertiban, dan keamanan di area museum.
      3. Pengunjung dilarang membawa dan/atau menggunaka pemandu selain pemandu resmi Monumen Pancasila Sakti. Apabila memerlukan pemandu, pengunjung dapat menghubungi bagian informasi.
      4. Pengunjung dilarang keras membawa semua jenis senjata dan bahan peledak.
      5. Pengunjung dilarang memasang spanduk, menggelar orasi unjuk rasa, demonstrasi, pawai, rapat umum, dan/atau mimbar bebas serta kegiatan lainnya yang dapat mengganggu ketertiban.
      6. Pengunjung dilarang keras menduduki, memindahkan, benda-benda yang berada di rumah penahanan/penyiksaan, rumah pos komando, dan rumah dapur umum.
      7. Pengunjung dilarang mengotori dinding atau bangunan dengan coretan atau sejenisnya.
      8. Pengunjung dilarang menaiki dan mengotori koleksi kendaraan.
      9. Pengunjung dilarang makan, minum, dan merokok di area Monumen Pancasila Sakti, Museum Pekhianatan PKI (Komunis), Museum Diorama Paseban, ruang teater, ruang relik, dan ruang foto dokumenter.

      Baca juga artikel terkait G30S atau tulisan lainnya dari Yonada Nancy

      tirto.id - Pendidikan
      Penulis: Yonada Nancy
      Editor: Dhita Koesno