Menuju konten utama

Jenderal-Jenderal Orde Baru yang Pernah Dicap PKI

Meski dituduh kiri, komunis, bahkan PKI; Soegandhi, Ali Moertopo, dan Sudharmono tetap berjaya di masa Orde Baru.

Jenderal-Jenderal Orde Baru yang Pernah Dicap PKI
Ali Moertopo dan Soeharto, keduanya pernah kena cap PKI. FOTO/Istimewa

tirto.id - Suatu kali, staf dari seorang jenderal mengajukan usulan untuk menyusun tulisan tentang Peristiwa Tiga Daerah 1946. Tapi staf itu malah kena marah. Sang jenderal bilang pada stafnya, “Mau apa? Mau diskreditkan saya?”

Jenderal yang marah itu, menurut cerita yang dihimpun Jenderal Soemitro dalam Soemitro dan Peristiwa 15 Januari’ 74 (1998: 279), tak lain adalah Ali Moertopo.

“Ali Moertopo marah karena menilai pembahasan dalam buku itu terlalu mendalam sehingga terbongkar semua belang komunis,” aku Soemitro.

Bukan itu saja cerita miring soal Ali Moertopo yang sampai ke Soemitro. Kata Kasman Singodimedjo, seperti diakui Soemitro, Ali pernah jadi agen Netherlands East Indies Forces Intelligence Service (NEFIS) yang nyaris dibunuh Hizbullah. Tapi tak jadi karena hendak dijadikan agen ganda (hlm. 278).

Sementara itu, Adam Malik menuduh Ali Moertopo sebagai salah satu pendiri Angkatan Komunis Moeda (Akoma), partai komunis yang berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Meski dikenal sebagai rival dari Letnan Jenderal Ali Moertopo, Soemitro membantah jika Ali pendiri Akoma. “Menurut saya versi Adam Malik ini agak gegabah dan kurang dapat dipercaya,” kata Soemitro.

Menurut Soemitro, Ali punya hubungan dengan Kolonel Marsudi, yang dicap PKI, dan menjadi salah seorang direktur Opsus dan mantan perwira intel Soeharto di masa Revolusi. Marsudi juga disebut-sebut sebagai pendiri organ mahasiswa kiri, Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).

Di Indonesia, meski bukan anggota PKI, selama dia anggota organisasi yang dekat dengan PKI atau kerap berhubungan dengan orang-orang yang dianggap PKI, maka orang itu sudah dicap PKI.

Dituduh PKI karena Ikut Pesindo

Benar-tidaknya jika Ali itu komunis, dia bukan satu-satunya orang (bahkan jenderal) yang dituduh komunis atau PKI. Letnan Jenderal Sudharmono, yang pernah jadi Wakil Presiden Indonesia era Soeharto, juga kena tuduhan semacam itu. Ini terjadi sebelum Sudharmono diangkat sebagai wakil presiden.

Menjelang penentuan wapres pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (SU MPR) 1988, kalangan sipil di Golongan Karya (Golkar) lebih menyukai Sudharmono untuk dijadikan pendamping daripada Soeharto. Kala itu, Sudharmono adalah Ketua Umum Golkar.

Sementara itu, kelompok militer lebih menyukai Try Sutrisno. Pendukung utama Try Sutrisno adalah kawan lamanya yang jadi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pangab), yakni Leonardus Benjamin Moerdani alias Benny Moerdani.

“Mereka yang menolak Sudharmono (jadi Wakil Presiden) menuduh bahwa Sudharmono pernah terlibat PKI,” tulis Retnowati Abdulgani Knapp dalam Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President (2007:184).

Lebih lanjut Retnowati menyebut bahwa tuduhan Sudharmono adalah PKI tak pernah terbukti.

“Sudharmono adalah anggota organisasi pemuda yang berhubungan dengan PKI semasa Peristiwa Madiun (1948),” tulis Leo Suryadinata dalam Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik (1992: 131).

Sementara dalam buku R. Soekardi, Tentara Demokrat (2000) yang disusun Patmono S.K. menyebut, “Sudharmono sebagai anggota Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) yang merupakan organisasi massa pemuda yang terlibat dalam peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948. Pendek kata Sudharmono dituduh PKI! Melalui kesaksian orang-orang militer ketika peristiwa tahun 1948, kelompok yang ingin menjatuhkan Sudharmono menyebarkan tuduhan itu” (hlm. 167).

Sejarah Pesindo terkait dengan Pemuda Rakyat, yang dekat dengan PKI pada 1965. Meski begitu, terlalu dangkal untuk menuduh semua simpatisan Pesindo adalah komunis. Keterlibatan seseorang dalam sebuah laskar di masa Revolusi tak melulu karena alasan ideologis. Lebih banyak karena persamaan musuh, yakni militer Belanda. Pemimpin Permesta Sulawesi Utara, J.F. Warouw, juga pernah bergabung dengan Pesindo di masa revolusi. Permesta adalah gerakan yang dicap dan mencap diri anti-komunis.

Tentang Sudharmono sendiri, dia termasuk orang yang berjasa dalam pembubaran PKI pada 1966. Bersama stafnya, Letnan Moerdiono, Kolonel Sudharmono adalah orang yang berpikir keras untuk mencari landasan hukum bagi pembubaran PKI.

“Saya dan Saudara Moerdiono berdebat agak mendalam. Saya menunjuk pada Penpres tentang Kepartaian yang berlaku dan organisasi Kopkamtib sebagai dasar hukumnya. Di lain pihak, kedua hal ini dianggap oleh Saudara Moerdiono masih kurang kuat, karena justru Presiden Soekarno secara politis tidak menghendaki pembubaran PKI,” aku Sudharmono di buku Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun (1991: 6).

Perdebatan berhenti setelah mereka melihat naskah Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Maka lengkaplah sudah landasan hukum pembubaran PKI. Sebelumnya, hanya dengan Penetapan Presiden Nomor 7/1959 tentang pembubaran partai politik yang terlibat pemberontakan, mereka berdua kurang mantap.

Itulah jasa besar Sudharmono dan Moerdiono dalam pembubaran PKI. Keduanya lalu jadi jenderal yang dekat dengan Soeharto. Karier dan pangkat mereka juga terus melesat, walau bukan dikenal sebagai jago tempur.

Nyatanya, terbukti atau tidak soal keterkaitan Sudharmono dengan PKI, dia diangkat juga jadi wakil presiden.

“Tahun 1988, ketika saya [Sudharmono] terpilih dan diangkat oleh MPR menjadi menjadi Wakil Presiden. Presiden [Soeharto] membentuk cabinet pembangunan V dan mengangkat Pak Moerdiono sebagai Menteri Sekretaris Negara menggantikan saya,” tuturnya dalam Sudharmono SH: Pengalaman Dalam Masa Pengabdian (1997: 306).

Infografik Jenderal Orba yang dituduh Komunis

Soeharto Bahkan Kena Tuduh

Selain Sudharmono dan Ali Moertopo, tokoh Golkar dan pendiri Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Raden Haji Soegandhi Kartosoebroto, juga pernah kena tuduh ikutan kelompok kiri. Orang yang menuduh Soegandhi tak tanggung-tanggung: Kolonel Zulkifli Lubis, mantan komandan badan intelijen di awal kemerdekaan Indonesia.

“Dia itu aliran kiri, dari kelompok sosial Mahameru,” kata Zulkifli Lubis seperti dikutip dalam sebuah artikel berjudul "Komandan Intelijen Pertama" (Tempo, 29 Juli 1989, hlm. 57).

Di masa Revolusi, Lubis adalah kepala intelijen dan Soegandhi—yang dipanggil Gandhi—adalah ajudan Presiden Sukarno sejak beristana di Gedung Agung Yogyakarta. Waktu jadi Kepala Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani), Lubis merupakan orang yang boleh membangunkan Sukarno di tempat tidur. Namun, setelah hanya menjadi Wakil Kepala Intelijen Kementerian Pertahanan Bagian V, dia tak punya keistimewaan itu lagi. Bahkan masuk istana saja sulit.

Lubis menuduh, “Gandhi tak menyokong saya kalau mau ketemu Bung Karno.”

Suami daripada Mien Soegandhi ini tak goyah diterjang isu kiri. Isu ini juga tidak pernah ramai. Soeharto lebih peduli pada MKGR yang memperkuat Golkar ketimbang mengurusi benar-tidaknya kekirian Gandhi. Toh, tidak terbukti juga bahwa Gandhi orang kiri. Di tahun-tahun terakhir Orde Baru, istri Gandhi malah menjadi Menteri Urusan Peranan Wanita.

Jangankan para jenderal itu, Soeharto sendiri pernah dituduh PKI. Dan tentu saja dibantah. Termasuk oleh Harry Tjan Silalahi. Dalam biografinya yang disusun J.B. Sudarmanto, Tengara Orde Baru: Kisah Harry Tjan Silalahi (2004), disebut, “[...] kalau Soeharto dituduh PKI, ini juga tidak benar karena Soeharto sendiri malah memusuhi PKI, meskipun Soeharto mengenal sejumlah orang PKI seperti Syam Kamaruzaman di Marx House, Pathuk, Yogyakarta” (hlm. 179).

Marx House adalah tempat diskusi dan kumpul-kumpul pemuda yang dikelola Sutan Sjahrir, pemimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Anak angkat Sjahrir, Des Alwi, dalam buku Pak Harto: The Untold Story (2011) mengaku, Soeharto memang sering nongkrong di Pathuk. Tapi Des tak menyebut Soeharto terkait pemikiran kiri di sana. Berkawan dengan Pemuda Pathuk yang dicap kiri di masa revolusi adalah hal biasa (hlm. 62).

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan