Menuju konten utama

Intel Melayu, Belajarlah Kepada Zulkifli Lubis Muda!

Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) hanya akan memberi keterangan kepada Presiden.

Intel Melayu, Belajarlah Kepada Zulkifli Lubis Muda!
Zulkifli Lubis. [Foto/mustprast.com]

tirto.id - Cukup jarang badan intelijen membuat rilis yang disebarkan ke media. Tapi itulah yang terjadi tak lama setelah persidangan Ahok pada pekan lalu (Selasa, 31/1). Pertanyaan tim kuasa hukum kepada K.H. Ma'ruf Amin yang hadir sebagai saksi bergulir menjadi isu penyadapan, terutama setelah Susilo Bambang Yudhoyono menggelar konferensi pers.

Bola pun bergulir ke arah Badan Intelijen Negara (BIN), salah satu lembaga yang punya kewenangan melakukan penyadapan. Tak ingin bola menjadi liar, BIN kemudian mengeluarkan rilis untuk mengklarifikasi isu yang berkembang. Rilis itu dipublikasikan oleh Deputi VI BIN pada Kamis 2 Februari 2017.

Dalam rilis itu BIN menyampaikan bahwa informasi dari tim kuasa hukum Ahok terkait dugaan komunikasi antara SBY dan Ma'ruf Amin tidak ada kaitannya dengan BIN. Lembaga yang bermarkas di Pejaten, Jakarta Selatan, itu juga mengatakan BIN tidak memasok informasi apa pun kepada tim kuasa hukum Ahok. Selain itu, BIN juga menyampaikan bahwa mereka memang diberi kewenangan melakukan penyadapan, namun penyadapan itu dilakukan dengan menjunjung tinggi demokrasi dan HAM serta tidak dipublikasikan.

Satu-satunya kewajiban BIN untuk melaporkan adalah kepada Presiden Republik Indonesia. Menurut Pasal 13 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 tahun 2013 tentang Koordinasi Intelijen Negara, “Kepala BIN melaporkan hasil pelaksanaan tugas dan fungsi Koordinasi Intelijen Negara kepada Presiden paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.”

Menurut Pasal 42 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara, menyebut, “laporan dan pertanggungjawaban penyelenggara Intelijen Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a (Badan Intelijen Negara) disampaikan secara tertulis kepada Presiden.”

Bagi Kepala BIN, cukup jelas, satu-satunya orang yang boleh dia berikan keterangan terkait kegiatan intelijen atau laporan intelijen hanyalah Presiden Republik Indonesia. Prinsipnya, presidan adalah single client bagi BIN. Hanya Presiden satu-satunya junjungan Kepala BIN.

Tak sepantasnya Kepala BIN memberikan konfirmasi kepada publik, apalagi dalam kasus berbau politik. Semua tahu, yang namanya intel selalu bekerja secara rahasia. Soal apa yang mereka kerjakan beserta hasilnya, hanya Presiden yang boleh tahu. Itulah bentuk kesetiaan seorang kepala intel kepada Presiden.

Sedari dulu, sejak zaman Soekarno, ketika Zulkifli Lubis menjadi Kepala Intelijen bernama Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI), Presiden Sukarno begitu percaya, bahkan dianggap percaya tanpa ragu kepada kepala intelijennya yang masih muda itu. Tak seperti kebanyakan orang-orang yang pernah menjadi Kepala Intelijen di Indonesia, Zulkifli Lubis tak kenal dekat dengan Presiden Sukarno. Padahal, nyaris selalu Kepala Intelijen adalah orang-orang yang dipercaya para presiden jauh sebelum jadi Kepala Intelijen.

“Ia (Zulkifli Lubis) menjadi salah seorang dari beberapa perwira militer yang dapat membangunkan (Presiden) Soekarno dari tidurnya guna memberikan penjelasan atas suatu kejadian penting,” tulis Ken Conboy dalam buku Intel: Menguak Takbir Dunia Intelijen Indonesia (2007).

Zulkifli Lubis tak punya gelar segambreng macam Ph.D., atau master dari kampus-kampus bergengsi. Kuliah di sebuah kampus saja tidak pernah. Pendidikan SMA-nya pun tak jelas, kerena Perang Pasifik telah menutup sekolah pemuda cerdas ini. Dia menghabiskan masa mudanya di zaman Jepang untuk belajar jadi intel militer dan tak melanjutkan SMA-nya.

"Sejak awal 1943 ia juga menjadi salah seorang pemuda Indonesia pertama yang terpilih sebagai taruna yang tergabung dalam PETA (baca: Tentara Sukarela Pembela Tanah Air). Di PETA, Lubis berkenalan dengan untuk pertama kalinya dengan dasar-dasar intelijen. Di Tangerang, yang terletak sedikit di luar kota Jakarta, Tentara Jepang mendirikan versi lokal sekolah intelijen militer Nakano Gakko yang terkenal itu,” tulis Ken Conboy.

Infografik Intelijen asing di Indonesia 3

Pertengahan 1944, Lubis dikirim ke Singapura. Di sana ia belajar lebih banyak dan lebih intensif lagi soal intelijen. Seorang perwira Jepang kerap bercerita padanya bagaimana aksi intelijen Perancis menaklukan Indocina.

Ken Conboy menulis bagaimana penampilan Zulkifli Lubis: “Perawakan Zulkifli Lubis sama sekali tak ada potongan sebagai Spymaster (Kepala Badan Intelijen) pertama Indonesia...Lubis yang berkacamata tidak menyukai olahraga semasa mudanya. Bahkan kulitnya mulus seputih pualam, serta suaranya juga lembut seperti wanita.”

Lubis terkesan menyembunyikan kejantanannya. Kesan-kesan yang ditulis Ken Conboy itu mengindikasikan jika Zulkifli Lubis jauh dari kesan sebagai "intel melayu": sebuah sindiran di dunia intelijen yang meremehkan orang-orang berbadan tegap, membawa pistol dan handy talky, memakai jaket berwarna gelap dan kerap mengaku intel dan banyak bertanya layaknya reserse kepolisian. Intel-intel macam ini biasanya adalah anggota militer (TNI) atau polisi yang ditempatkan dalam seksi intelijen di kesatuan mereka. Ketika menyamar pun publik akan mudah mengenali jika mereka adalah aparat.

Soal intel melayu, Kepala BIN yang saat itu dijabat Sutiyoso pernah memecat seseorang yang mengunggah surat tugasnya sebagai anggota BIN. Dalam dunia intelijen, sebetulnya sangatlah tidak pantas seorang intel mengaku diri ke publik jika dirinya adalah intel. Bahkan, satuan tugas di bawah komando Kopassus di Papua yang sering berkeliaran di sekitar Papua dengan pakaian preman pun tak mau mengaku intel meski keberadaan satgas intel di Papua itu adalah bagian dari operasi intelijen terbuka. Soal keintelen mereka, mereka lebih memilih cukup hanya dirinya, komandannya dan Tuhan saja yang tahu dirinya adalah intel.

Baca juga artikel terkait PERSIDANGAN AHOK atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS