tirto.id - Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar menyatakan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi harus mengklarifikasi pernyataannya soal memegang data intelijen terkait arah dukungan partai politik di Pemilihan Presiden 2024.
Wahyudi menilai, pernyataan Jokowi bisa diduga mengarah kepada penyalahgunaan kepentingan pertahanan dan keamanan intelijen untuk kepentingan politik pribadi Presiden.
“Diduga ada pelanggaran (hukum). Maka dari itu, perlu ada proses klarifikasi menggunakan mekanisme pengawasan di DPR RI,” kata Wahyudi dihubungi reporter Tirto, Senin (18/9/2023).
Menurutnya, DPR RI memiliki sub-komisi yang mengawali kegiatan intelijen di Indonesia. Wakil rakyat berhak bertanya terkait pernyataan Presiden Jokowi, agar lembaga intelijen tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Di sisi lain, kata Wahyudi, DPR RI juga dapat menggunakan fungsinya sebagai pengawas eksekutif untuk bertanya langsung kepada presiden Jokowi apa maksud dari pernyataannya tersebut.
“DPR berhak bertanya, arahnya seperti apa? Dan apa yang ingin disampaikan Presiden sesungguhnya, dan sejauh mana keterlibatan dalam intelijen,” terang Wahyudi.
Ia mengingatkan, dibentuknya UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara justru untuk membatasi peran-peran intelijen negara agar tidak diintervensi untuk melanggengkan kekuasaan politik atau penyalahgunaan peran.
“Kita ingin membatasi betul memisahkan fungsi-fungsi intelijen negara dari politik kekuasaan. Orde baru menggunakan intelijen negara untuk politik kekuasaan mempertahankan rezim pemerintah saat itu. Jangan sampai kita tidak belajar dari apa yang terjadi di masa lalu,” jelas Wahyudi.
Selain itu, jika membiarkan institusi intelijen digunakan untuk kepentingan pribadi Presiden, bukan tidak mungkin praktik ini dipertahankan pada periode kekuasaan selanjutnya dan menjadi momok demokrasi.
“Periode mendatang Presiden terpilih menggunakan taktik yang sama, ini justru yang tidak kita inginkan,” kata Wahyudi.
Dalam negara demokrasi, kata Wahyudi, asupan informasi intelijen kepada kepala Negara memang sah-sah saja selama digunakan untuk mengambil keputusan strategis negara.
Sebaliknya, jika lembaga negara digunakan untuk tujuan politik tertentu Presiden, justru ini menjadi hal yang problematis dalam suatu pemerintahan yang demokratis.
Wahyudi mengingatkan soal skandal di Amerika Serikat pada 1970-an, ketika Presiden AS kala itu, Richard Nixon mengundurkan diri, bahkan sempat hendak dimakzulkan, imbas pencurian data di kantor Komite Nasional Demokrat di Kompleks Watergate yang terkait dengan kampanye pemilihan umum.
“Itu juga saat sedang atmosfer pemilu, bahkan kongres meminta Nixon untuk mundur. Itulah bagaimana negara demokrasi bekerja,” tegas Wahyudi.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Reja Hidayat