tirto.id - Ada adagium yang cukup beken di kalangan para demonstran: protes damai bisa membuat rakyat tergugah melongok "bahaya laten konflik", tetapi protes lewat jalur kekerasan mampu membikin rakyat melek "urgensi konflik".
Kedua hal tersebut, sekalipun mampu menyulut reaksi publik, ternyata membuahkan efek domino yang berbeda.
Daniel Q. Gillion, profesor Universitas Pennsylvania, lewat percakapan dengan Laura Basset menyimpulkan, "Kenyataannya adalah—secara objektif memeriksa protes—protes kekerasan memiliki dampak positif pada perubahan politik dan kebijakan... Tentu saja saya tidak memaafkan kekerasan, dan saya tidak mendorong individu untuk terlibat dalam perilaku [protes] yang melanggar hukum. Tetapi jika kita secara objektif menganalisis pengaruh protes, kita tidak jujur mengatakan bahwa protes kekerasan tidak membawa individu ke meja [diskusi], bahwa itu [seakan-akan] tidak mengarah pada perubahan kebijakan."
Judul artikel yang dieditori Laura Basset itu mencoba merepresentasikan dengan tandas: "Why Violent Protest Work". Agak senada dengan yang diungkapkan Marthin Luter King, "Kerusuhan adalah bahasa yang tidak didengar."
Kendati pernyataan itu menuai perdebatan yang urung rampung, setidak sejarah gerakan demonstrasi mencatat bahwa protes dengan kekerasan mampu menjadi patuk reformasi atas kebijakan yang menindas.
Salah satu contohnya adalah Gerakan 1968 di Italia yang diinisiasi akademisi universitas dan buruh pabrik yang menggelar beragam aksi protes: pemogokan, demonstrasi, pengambilalihan alat produksi, dan sabotase. Hasilnya, Italia menaikkan gaji pekerja secara menyeluruh pada 1969, meningkatkan biaya tenaga kerja lebih dari 20 persen, dengan tekanan upah berkelanjutan di tahun-tahun berikutnya.
Inilah yang disebut Fozzie dalam artikelnya, "Anatomy of Autonomy" sebagai strategia della tensione atau strategi ketegangan. Strategi ini sukses dengan catatan, "Kelas politik dominan menyatakan ketidakmampuannya untuk menghadapi perjuangan ini."
Keduanya sama-sama menjadi jangkar. Lantas seolah menyeret ke arah pendikotomian diskursif: manakah yang lebih efektif?
Menantang Otoritarianisme dengan Protes
Dalam realitasnya, baik protes kekerasan maupun protes damai sama-sama pernah mencapai keberhasilan, tetapi juga tak sedikit mendulang rentetan kegagalan.
Tetapi yang luput dari polemik dikotomis ini adalah, faktor penyebab protes mengalami kegagalan sering kali dipicu dominasi sistem kuasa pengetahuan. Sistem ini semacam jaringan-jaringan inheren, dikonstruksi lewat propaganda taktis dengan maksud "menginjeksi", bergerak klandestin tanpa gelombang protes sadari.
Sebagaimana kajian Michel Foucault tentang relasi kuasa dan pengetahuan, keduanya tidak dapat dipisahkan, dan pengetahuan adalah bentuk kekuasaan yang otoritatif.
Di halaman pertamanya, pengantar penerbit buku Kronik Otoritarianisme Indonesia (2025) menulis, "Dalam dunia yang mengagungkan demokrasi, nyatanya otoritarianisme sanggup merayap di mana-mana. Ia tak hilang sepenuhnya meski gaya lama fasisme, komunisme, dan kekuasaan militer yang terang-terangan kini terdengar seperti artefak dari masa yang terlupakan."
Sebabnya, pemerintah otoriter mudah saja mengintervensi demokrasi dengan menunggangi egalitarianisme lewat cara-cara licik. “Ia (otoritarianisme) bisa hidup serta beradaptasi dalam demokrasi dengan cara meniru praktik-praktik demokrasi," demikian yang termuat di buku itu dalam sinopsisnya.

Di negara dengan prinsip autokrasi, dukungan publik hampir menjadi prasyarat mutlak menyukseskan narasi legitimasi. Prasyarat ini penting, sebab itu strategi yang cukup efektif meraup suara politis.
Para otoritarian, bertindak seolah-olah kebijakan mereka selaras dengan kebutuhan publik. Tetapi sebenarnya, mereka hanya berusaha mempertahankan status quo: kemapanan dan kekuasaan.
Mao Zedong pernah menekankan ke muka para pejabatnya, "Ketika Anda membuat revolusi, Anda harus terlebih dahulu mengelola opini publik," dikutip dari Dick Wilson, Mao Tse-Tung in the Scales of History (1977: 179).
Itu dipicu lantaran senjata paling ampuh otoritarianisme adalah mitos nasionalisme, ditunjang semboyan keberhasilan atau kegagalan dalam mempertahankan kehormatan bangsa dari intervensi krisis internasional.
Rezim otoriter sadar bahwa kredensial patriotik para pemimpin otoriter—menafikan demokrasi—dapat memicu lahirnya pihak oposisi. Menjalarnya kemarahan oposisi dapat memicu gejala "membakar tumpukan jerami". Protes semakin meluas, menjelma amuk sporadis tak terkendali, sehingga menyulut protes jalanan bahkan perpecahan elitis.
Itulah alasan "citra" menjadi perhatian khusus bagi otoritarian.
"Kelemahan pendahulu Republik Rakyat Tiongkok dalam mempertahankan kedaulatan Tiongkok pada Konferensi Perdamaian Paris tahun 1919 memicu protes dan pemogokan umum, yang memaksa pemerintah memecat tiga pejabat dan menolak Perjanjian Versailles, sehingga Tiongkok memberikan wilayahnya kepada Jepang," tulis Jessica Chen Weiss dan Allan Dafoe dalam "Authoritarian Audiences, Rhetoric, and Propaganda in International Crises: Evidence from China" (2019).
Masalahnya, kepentingan citra membuat segalanya menjadi acakadul, salah satunya dalam pemilu. Ridhah Taqwah dalam "Politik Citra dan Implikasinya dalam Pemilihan Umum Era Reformasi" (2013) menjelaskan bahwa politik citra tidak hanya menyokong perayaan pembusukan politik, pemutarbalikan realitas, melainkan juga ranah pembersihan diri (political purification).
Tak ayal jika praktik "pemilu damai" diteken sebagai pakta integritas di ajang pemilu presiden tahun lalu. Meminjam istilah Jessica dan Allan, "Meskipun para pemimpin otoriter jarang dimintai pertanggungjawaban terhadap opini publik melalui pemilihan umum yang bebas dan adil, kekhawatiran akan kerusuhan rakyat dan penggulingan yang tidak teratur sering kali sangat membebani para autokrat yang ingin memaksimalkan masa jabatan mereka."
Narasi Damai: Depolitisasi Protes?
Bima Satria Putra, penulis yang aktif dari balik jeruji besi sebagai anggota federasi anarkis di CrimethInc. menulis, "Saya tidak percaya akan ada reformasi kecuali ada penggulingan kekuasaan dengan kekerasan dan petahana menjanjikan reformasi. Kelas penguasa saat ini telah membentuk koalisi membengkak yang merangkul semua mantan oposisinya dan 'memberi mereka sepotong kue'."
Tulisan itu seolah-olah menekankan bahwa demonstrasi dan revolusi "damai" hanyalah logika negara yang mendominasi kuasa. Negara berusaha sekuat tenaga untuk mensterilkan amarah rakyat, agar proses politik senantiasa sesuai dengan kelindan paradigma kedamaian—yang semu.
Peter Kropotkin dalam Anarchist Morality (1897) pernah berkata, "Pemberontakan sering kali lebih jujur ketimbang kelaparan dan penderitaan, bukan dari kompromi. Tapi bagaimana jika kelaparan itu menelan orang yang tak pernah memilih ikut perang?"
Protes damai, yang menyebut dirinya berada "di pihak rakyat" memberikan ilusi bahwa seolah-olah protes berada di jalur yang tepat. Justru sebaliknya, protes damai menggiatkan status quo yang semakin terpinggirkan serta dianggap liyan. Pola ini sama dengan cara negara memilih strategi depolitisasi institusional untuk meredam protes, dan ini mungkin merupakan taktik yang acap kali digunakan.
Tentu saja, sebab institusi negara mengantongi "perangkat legal" untuk membentuk lembaga khusus yang dirancang untuk melunakkan opini publik, melepaskan agen sampai batas tertentu dari pertimbangan politik jangka pendek guna mendapatkan suara, citra populis, dsb.
Matthew Flindes dan Jim Buller dalam "Depoliticisation: Principles, Tactics and Tools" (2006: 299) menyatakan, "Patut dicatat bahwa aspek penting pemerintahan Inggris sejak terpilihnya pemerintahan Partai Buruh pada Mei 1997 melibatkan penerapan depolitisasi kelembagaan pada berbagai bidang kebijakan."
Keduanya berhasil mengodifikasikan bahwa rezim otoriter memanfaatkan relasi kuasa untuk mencekal haluan politik, dengan tujuan tersirat "menghilangkan" kritik politik lewat kebijakan-kebijakan yang melunakkan protes.
Misalnya, Flindes dan Jim mencontohkan (hlm. 301), Komite Kebijakan Moneter (MPC) Bank of England, yang bekerja sama dengan Kementerian Inggris memilih menghelat "jamuan makan siang" dengan demonstran di luar pengawasan publik.
Hal tersebut dianggap sebagai bentuk "protes damai", yang malahan terkesan aneh. Sebabnya, hubungan hukum formal—dalam suatu tindak informal—bertindak sebagai kedok bagi kendali pemerintah secara de facto.

Protes damai bukan berarti suatu perbuatan yang tak efektif atau dihindari. Tetapi dampaknya, tak secepat insureksi, yang melawan kekerasan negara dengan kekerasan pula.
Aksi Kamisan, bentuk solidaritas warga membongkar impunitas atas pelanggaran berat HAM dapat menjadi evaluasi gerakan protes damai. Protes damai Aksi Kamisan bukan ilusi, tetapi ketidakmampuannya mengakomodasi pemerintah agar melek "urgensi konflik" patut menjadi soal.
Boleh jadi karena tak dianggap penting dan mendesak, pemerintah memilih mengabaikannya. Pernyataan ini bahkan belum membongkar tuntutan dan harapan apa saja yang digaungkan massa di depan Istana Negara. Namun frekuensi gelombang protes damai dalam Aksi Kamisan mengalami stagnasi, tak banyak berkembang sejak perdana turun ke jalan pada 18 Januari 2007.
Ditambah lagi retorika rezim otoriter—lewat seruan narasi damai—terkesan melucuti kepentingan rakyat dalam protes-protes yang telah terjadi.
"Seruan perdamaian yang diorkestrasi pihak tertentu usai rentetan aksi massa Agustus 2025 sangat mungkin menenggelamkan seruan organik aksi demonstrasi massa,” tulis editor Tirto dalam ringkasan artikel yang ditulis Fina Nailur Rohmah.
Karenanya, narasi damai dalam eskalasi protes hanya akan mengaburkan protes utama dan sedikit sekali menjamah masalah rakyat, apalagi praksisnya dalam menjawab tuntutan.
"Suara-suara organik tentang demonstrasi, aksi protes, atau perlawanan terhadap kebijakan pemerintah, akan sangat mungkin tenggelam oleh seruan berdamai," tulis Fina.
Bukan hanya soal pengaburan, protes damai juga berpotensi memengaruhi opini publik, sebagaimana wacana demokrasi dalam aksi Indonesia Gelap. Alih-alih mengevaluasi kebijakan lewat kritik, pemerintah justru membangun narasi damai tandingan, dengan tagar #IndonesiaTerang.
Itulah wujud depolitisasi, penghilangan perdebatan politik lewat narasi damai yang sengaja diciptakan. Siasat itu semakin meminggirkan posisi protes dan tuntutan dari relnya dalam situasi politik.
Bahkan yang lebih buruk lagi, depolitisasi dan protes damai bisa berakhir mengenaskan, tak sesuai harapan.
Protes damai terhadap demokrasi di Tiananmen yang dimulai pada akhir April 1989 justru menjelma menjadi ladang pembantaian massal. Tiongkok memberlakukan darurat militer pada akhir Mei 1989. Wartawan asing diusir, meninggalkan kesan tragedi ini berusaha ditutup-tutupi. Sementara itu, People’s Liberation Army dengan titah rantai komando bergerak "membersihkan" alun-alun Tiananmen.
Arsip Pemerintah Inggris yang dipublikasikan pada Desember 2017 menyertakan keterangan Alan Ewen Donald, Dubes Inggris untuk Cina periode 1988—1991, yang mengatakan ulang pernyataan pejabat Tiongkok memperkirakan korban tewas sipil di kisaran 10.000 jiwa.
Artinya, jika protes damai benar-benar menawarkan solusi konkret yang berkelanjutan, dengan risiko minim, seharusnya diskursus mengenai anarkisme tak akan pernah ada.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































