tirto.id - Pria itu mengenakan kemeja putih, celana panjang hitam, dan menggenggam tas belanja di tangan kiri. Di tengah Lapangan Tiananmen, Beijing, Republik Rakyat Cina, badannya berdiri tegap. Matanya menyorot yakin ke arah depan, menghentikan barisan tank tipe-59 yang sanggup melumatnya hidup-hidup.
Awalnya hanya ada empat tank. Tak lama berselang, tank-tank lain ikut berbaris di belakang. Pria itu memanjat ke tank paling depan, mengetuk pintu masuk, dan tampak berbicara dengan prajurit di dalamnya. Saat sudah turun, dua pria lain berlari menghampiri, lalu menariknya pergi.
Hingga kini tak ada yang mengetahui identitas sang pria, atau nasib setelahnya. Quartz Media melaporkan rumor bahwa pria tersebut adalah seorang arkeolog dari ibukota Provinsi Hunan, Changsa. Setelah kejadian di Tiananmen itu, ia kabur ke Taiwan dan bekerja di Museum Istana Nasional (klaim yang dibantah pihak museum). Lainnya percaya ia mati dieksekusi rezim RRC.
Julukan yang disematkan media massa kepada pria itu adalah “Tank Man”. Jeff Widener dari Asssociated Pressmengabadikan keberaniannya dari lantai 6 Hotel Beijing, memakai kamera tipe lensa 400 mm, pada 5 Juni 1989.
Tank Man adalah simbol perjuangan demokrasi yang dimulai pada 15 April 1989, tepat hari ini 29 tahun lalu, oleh ratusan ribu mahasiswa.
Tuntutan Demokratisasi dan Gerakan Anti-Korupsi
Aksi massa memang berpusat di Tiananmen dan Beijing, namun protes dengan tuntutan yang sama juga merebak di 400-an kota di seantero Cina. Buruh, dokter, pedagang kecil, hingga anak-anak dan golongan tua, banyak yang mendukung.
Faktor pendorongnya bisa dipecah menjadi beberapa poin. Pertama, reformasi ekonomi ke arah yang lebih liberal di era Deng Xiaoping memang efektif memangkas angka kemiskinan. Namun korupsi dan nepotisme di kalangan pejabat negara kian menjamur.
Mereka memakai kekuasaan untuk mensukseskan bisnisnya sendiri. Rakyat kecil banyak yang jadi korban, menghasilkan jurang kesenjangan ekonomi yang kian mendalam.
Menurut Ezra Vogel dalam Deng Xiaoping and the Transformation of China (2011), sistem penentuan harga berbasis pasar yang digagas Deng justru menimbulkan gelombang penarikan uang tunai, pembelian, dan penimbunan di seluruh negeri. Pemerintah yang panik kemudian membatalkan kebijakan ini, tapi kemudian berdampak pada inflasi yang meningkat tajam.
Nepotisme juga merajalela di perusahaan-perusahaan, terutama yang dimiliki negara, karena cenderung merekrut orang-orang pesanan elite partai. Lulusan jurusan ilmu sosial-humaniora kian terlantar sebab permintaan kerja hanya berseliweran di sektor agrikultur, industri lampu, jasa, dan investasi luar negeri.
Kaum intelektual menuduh situasi pelik ini disebabkan ketidakbecusan pemerintah dalam menjalankan reformasi setelah era Mao Zedong.
Isunya makin lama makin politis. Pada era 1980-an, kampus-kampus mulai mendirikan studi tentang demokrasi, lalu timbul dorongan agar warga diberi partisipasi politik yang lebih luas dan keluar dari sistem partai tunggal ala Partai Komunis Cina (PKC).
Elite turut terbelah. Kaum kiri-konservatif, pembela sosialisme Cina, dipimpin Ketua Komisi Penasihat Pusat PKC Chen Yun. Di sisi kanan, dengan pandangan politik yang lebih liberal dan plural, ada sosok karismatik bernama Hu Yaobang. Hu, seorang Sekjen PKC, menjadi favorit kaum intelektual yang berharap ada demokratisasi di Cina.
Pada pertengahan 1986, muncul aksi mahasiswa yang menyuarakan kebebasan, hak asasi manusia, dan partisipasi politik. Lokasinya berada di sejumlah kota besar, termasuk Shanghai dan Beijing. Pemerintah menanggapinya dengan waspada karena takut berujung pada tindakan radikal—sebagaimana dulu Revolusi Kebudayaan bermula.
Hu disalahkan oleh elite politik lain, terutama kubu Chen, karena dianggap terlalu lembek dalam menanggulangi demonstrasi. Ia akhirnya dipaksa mengundurkan diri oleh pemimpin besar Cina Deng Xiaoping pada 16 Januari 1987. Kubu konservatif bersorak, lalu memulai kampanye pembersihan sisa-sisa ide liberal Hu di tubuh pemerintahan.
Mahasiswa bersedih menerima kabar tersebut. Namun tak ada yang lebih menggerakkan mereka ketimbang kematian Hu pada 15 April 1989. Di Monumen Pahlawan Rakyat, Lapangan Tiananmen, serombongan kecil mahasiswa meratapi kematian Hu sekaligus menyuarakan aspirasi terkait reformasi demokratis.
Pada 17 April, ribuan mahasiswa Universitas Peking dan Universitas Tsinghua memadati Tiananmen. Dalam catatan Dingxin Zhao di buku The Power of Tiananmen: State-Society Relations and the 1989 Beijing Student Movement (2001), mereka menuntut pemerintah untuk:
(1) mengakui kebenaran demokrasi dan kebebasan ala Hu, (2) mengakui kesalahan kampanye melawan liberalisasi borjuis dan “polusi spiritual”, (3) mempublikasikan gaji para pemimpin dan anggota keluarganya, (4) mengizinkan berdirinya koran swasta dan menghentikan sensor media, (5) menaikkan anggaran pendidikan dan gaji akademisi, (6) penghentian pelarangan demonstrasi di Beijing, dan (7) peliputan yang objektif mengenai gerakan mahasiswa.
Dalam beberapa hari berikutnya mereka mulai melakukan pendudukan Tiananmen. Kekerasan oleh anggota kepolisian yang berniat membubarkan aksi justru membuat mahasiswa dari kampus lain, yang sebelumnya apolitis, turut bergabung.
Kurang lebih ada 100.000 mahasiswa di Tinananmen pada 22 April atau di hari pemakaman Hu. Federasi mahasiswa juga dibentuk agar aksi makin solid.
Massa aksi mendapat dukungan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk dari kalangan buruh pabrik. Mereka ingin pemerintah memusnahkan praktik korupsi dan nepotisme, memperbaiki ekonomi yang ditimpa inflasi dan ketimpangan ekstrim, membuka keran partisipasi politik, menjunjung akuntabilitas lembaga negara, menghormati kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.
Pada 13 Mei, dua hari sebelum kunjungan pemimpin Soviet Mikhail Gorbachev, massa aksi memulai mogok makan. Tujuannya agar lebih menekan pemerintah. Simpati datang. Jumlah demonstran melonjak ke angka 300.000. Protes di Tiananmen juga menginspirasi aksi dengan tuntutan serupa di seantero Cina, kurang lebih di 400 kota, demikian catat Anthony Thomas untuk Frontline PBS.
Negosiasi dengan pemerintah buntu. Rezim Deng kesal sebab massa tak mau membubarkan diri. Kubu kiri-konservatif juga akhirnya mampu meyakinkan elite lain bahwa protes di Tiananmen adalah ancaman nyata bagi sistem politik serta ideologi RRC. Apalagi aksi itu kian populer di mata masyarakat, termasuk berkat kehadiran para pesohor yang menyumbang nyanyian maupun orasi.
Pada 20 Mei, pemerintah Cina akhirnya mendeklarasikan darurat militer. Mereka memobilisasi sedikitnya 300.000 pasukan ke Beijing, khususnya di area sekitar Tiananmen. Hingga awal Juni situasi ibukota kian mencekam. Kerusuhan-kerusuhan kecil mulai merebak. Kontak fisik antara massa aksi dengan tentara kian sering terjadi.
Malam tanggal 3 Juni elite PKC dan pemimpin militer RRC bertemu untuk merampungkan kebijakan pembersihan Tinananmen. Tentara boleh menembak sebagai upaya pertahanan diri. Keesokan harinya, tanggal 4 Juni 1989, senjata api benar-benar meletus. Korban pertama jatuh di persimpangan Wukesong, 10 kilometer dari Tiananmen.
Dijinakkan lewat Kekerasan dan Represi
Timothy Brook menarasikan secara detil perihal darah yang tertumpah di Tiananmen dalam bukunya, Quelling the People: The Military Suppression of the Beijing Democracy Movement (1998).
Gerombolan demonstran yang bercampur dengan warga sipil di sekitar Tiananmen diberondong senjata otomatis laras panjang. Korban meninggal mulai berjatuhan. Suasana makin chaos. Orang-orang yang mencoba kabur tetap kena tembakan di bagian punggung.
Pertahanan diri memakai bom molotov, batu, kayu, sia-sia belaka menghadapi kendaraan tempur lapis baja. Penembakan mahasiswa, plus siapapun yang mendukungnya, terjadi dari pagi sampai sore. Tentara mendesak peserta aksi di Tiananmen untuk meninggalkan tempat. Baru pada sore harinya perintah ini dipatuhi. Mereka yang tetap membandel dihujani pukulan pentungan atau ditangkap.
Keesokan harinya, Tiananmen sudah dalam kontrol pemerintah. Warga sipil yang mencoba merebutnya dihalangi tentara. Sebagian yang dituduh melakukan kerusuhan kembali dihantam timah panas. Tank-tank didatangkan untuk menyampaikan pesan kepada orang-orang bahwa pengamanan oleh militer di Tiananmen bukan lagi gertak sambal.
Korban meninggal tak hanya mahasiswa, namun juga profesor universitas, pejabat lokal, pekerja, pengusaha swasta, pensiunan, dan yang paling muda adalah anak sekolahan usia 9 tahun. Hingga kini tidak ada jumlah yang pasti terkait total korban meninggal. Pemerintah hanya memberi perkiraan 300 orang, meliputi warga sipil, tentara, dan mahasiswa.
Data pemerintah AS yang dibuka tahun 2014 menyebut ada 10.454 kematian dan 40.000 korban luka. Arsip pemerintah Inggris yang dipublikasikan pada Desember 2017 menyertakan keterangan Alan Ewen Donald, dubes Inggris untuk Cina periode 1988-1991, yang mengatakan pada 1989 ada seorang pejabat Cina telah memperkirakan korban tewas sipil di kisaran 10.000, sebagaimana dilaporkan Independent.
Sementara Time mengutip pernyataan Palang Merah Cina yang memberikan perkiraan korban tewas sebanyak 2.600 orang—hanya di tanggal 4 Juni. Pada 21 Juni 1989, New York Times melaporkan setidaknya ada selusin tentara dan polisi yang tewas, dengan korban sipil sekitar 400-800 orang. Amnesty Internasional memperkirakan angka tewas mencapai ratusan hingga 1.000 orang.
Terjadi gelombang penangkapan, pemenjaraan, dan pengasingan aktivis pro-demokrasi usai tragedi Tiananmen. Mereka yang dituduh menjadi biang kerusuhan serta pelaku kekerasan selama protes berlangsung diburu, ditangkap, lalu dieksekusi.
Pejabat negara yang dituduh mendukung demonstrasi ditahan, diturunkan pangkatnya, atau langsung dipecat. Posisi yang kosong kemudian diisi orang-orang dari kubu kiri-konservatif.
Komunitas internasional ramai-ramai mengecam, meski Deng memilih untuk menutup telinga. Dampak yang secara riil menghantam Cina adalah datangnya sanksi ekonomi serta embargo senjata dari Barat.
Reformasi ekonomi dan politik otomatis gagal sebab rezim PKC kemudian mengabaikan tuntutan-tuntutan para demonstran. Kontrol media justru makin diperketat dan partisipasi politik tetap dibelenggu. Cina menjauhi proses demokratisasi sekaligus kian otoriter.
Cita-cita yang diusung orang-orang yang darahnya tertumpah di Tiananmen lumat, dan hingga kini hanya menyisakan harapan serta semangat yang tak sedahsyat dulu kala.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Ivan Aulia Ahsan