tirto.id - Episode “Nosedive” dari serial Black Mirror tayang Oktober tahun lalu. Ia merupakan episode pertama dari musim ketiga, sebuah serial asal Inggris karangan Charlie Broker. Selain karena ditarik Netflix—penyedia layanan menonton streaming paling populer—ke dalam jaringan mereka, Black Mirror juga meledak karena pelintiran plotnya yang terkenal tidak biasa. Contohnya kisah Lacie (Bryce Dallas Howard) dalam “Nosedive”.
Tokoh utama adalah perempuan yang terobsesi untuk mendapatkan rating—semacam likes di Instagram. Bedanya, likes di Instagram saat ini hanya masih berpengaruh pada kemampuan seseorang untuk jadi pengiklan alias endorser. Sementara rating dalam “Nosedive” akan berdampak pada skor individu Lacie, yang punya dampak besar terhadap seluruh aspek kehidupannya. Mulai dari: kemampuannya membeli apartemen, menyewa rental mobil, tempat duduk di pesawat, bahkan bilik di penjara.
Semakin tinggi skor Lacie, semakin mudah hidupnya. Maka semakin rendah skor yang ia peroleh, semakin menyedihkan pula fasilitas yang bisa ia pakai.
Baca juga: Memahami Banyak Hal dengan Big Data
Saat itu, “Nosedive” sempat ramai dapat tanggapan baik. Kemiripan pola pikir hedonis Lacie dengan kebanyakan generasi saat ini yang larut dalam media sosial jadi proximity-nya. Meski di kehidupan nyata tak ada aplikasi yang benar-benar serupa seperti milik Lacie, faktanya sebagian orang merasa kritik serial itu dekat dengan situasi saat itu.
Namun, tak banyak orang tahu, Cina justru telah mengesahkan aturan serupa seperti terjadi di tempat tinggal Lacie dua tahun sebelum serial “Nosedive” hadir.
Pada 14 Juni 2014, Cina menerbitkan “Ikhtisar Rencana Pembangunan Sistem Kredit Sosial”. Isinya kurang lebih adalah tentang bagaimana negara memanfaatkan big data para warganya untuk membuat takaran kelayakan penduduknya, bukan cuma dalam mendapat kredit, tapi juga seluruh aspek hidup mereka.
Persis seperti Lacie, warga Cina nantinya juga akan berlomba menunjukkan “berperilaku baik” sesuai dengan kriteria yang ditentukan negara. Sebab, segala hal dalam kehidupan mereka bergantung dari sana. Dalam makalahnya Sistem Kredit Sosial Cina, Mirjam Meissner dari Mercator Institute for China Studies menyebut di antaranya: kelayakan menerima kredit, kelayakan menerima subsidi, akses pada pengadaan publik, kelayakan menerima investasi.
Sistem pengawasan semacam ini, dianggap oleh Rogier Creemers, seorang ahli dari Oxford University memiliki kemiripan dengan yang dilakukan para pemerintah di Jerman Timur. Hanya saja, pemerintah Cina lebih agresif. "Tujuan Jerman terbatas [dalam mengawasi warga] guna menghindari pemberontakan melawan rezim tersebut," kata Creemers dalam wawancara dengan surat kabar Belanda De Volkskrant.
Baca juga: Cara Efektif Mengawasi Warga Negara Beri Mereka Skor
Aturan itu memang baru akan benar-benar diterapkan 2020 nanti. Namun, persiapannya sudah berjalan. Sejak 2015, sudah ada delapan perusahaan swasta yang dipilih bank sentral Cina untuk terlibat, termasuk Tencent dan Alibaba.
Data Forbes bahkan menyebut otoritas Cina sudah mendaftarkan 44 perusahaan swasta lain untuk sistem pembayaran online bukan bank, alias Wanglian. Mereka bahkan sudah diminta melakukan clearinghouse per Juni 2018 mendatang.
Fungsinya, mereka akan mempermudah regulator memantau transaksi di tingkat mikro. Wanglian juga akan menyediakan data pelanggan mereka untuk membantu bank merekam kredit konsumennya. Dalam sistem ini juga telah terdaftar 300 bank komersial yang telah tergabung.
Tak cuma perilaku finansial warga dan perusahaan di Cina yang akan direkam pemerintah. Dalam catatan Meissner: perilaku online, rekaman kriminal, riwayat pekerjaan, laporan pengeluaran dan pajak tahunan, adalah ihwal lain yang telah direkam pemerintah Cina sejak aturan tersebut dikeluarkan.
Sampai 2020 nanti, pemerintah Cina juga akan menambahkan regulasi-regulasi tambahan untuk melancarkan program ini. Di antaranya tentang energi terbarukan, e-commerce dan aktivitas online, serta kalkulasi harga. Sementara menurut linikala kerjanya, setelah 2020, pemerintah Cina akan segera menginklusi seluruh sektor dan industri. Mereka juga akan membangun sistem monitoringreal-time: untuk mengawasi kegiatan online, emisi, dan pelacakan kendaraan.
Baca juga: Benarkah Kecerdasan Buatan adalah Malapetaka?
Menurut Susan Hsu, Asisten Profesor Ekonomi di Universitas Negeri New York, Cina memang tengah membangun sistem kredit yang menembus sistem perbankan. Dengan sistem ini, orang-orang yang selama ini tak tersentuh bank juga akan terjangkau dan lebih mudah diatur serta dipantau.
Terlepas dari kontroversi sistem ini yang menuai kritik dari luar Cina, pemerintah tampaknya berhasil menggiring warganya tanpa perlawanan. Salah satu hal baik menurut Hsu adalah, “Suka atau tidak, debitur terpercaya akan terpisah dari debitur yang tak dapat dipercaya dengan cara yang jauh lebih jelas,” tulisnya di Forbes.
Tapi bukan tak punya risiko sama sekali. Meissner juga mencatat dampak akibat data pribadi yang direkam negara. Kurang lebih, hidup warga Cina nanti akan mirip hidup Lacie. Kesempatan berkarier, hingga kelayakan dapat diskon hotel, tiket transportasi, hingga rental mobil juga akan ditentukan skor yang diperoleh.
Kini, hal itu belum terlalu terasa. Setidaknya tidak bagi semua orang, sebab SKS masih regulasi yang bersifat dianjurkan. Pada 2020 nanti, semua orang di Cina akan wajib masuk dalam sistem. Dunia yang dialami Lacie akan benar-benar terjadi secara nyata, dan Cina kini sedang memulai membuat sebuah "cermin hitam" yang mengerikan.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra