Menuju konten utama

Benarkah Kecerdasan Buatan adalah Malapetaka?

Kecerdasan buatan dinilai akan melampaui kemampuan berpikir manusia.

Benarkah Kecerdasan Buatan adalah Malapetaka?
Ilustrasi kecerdasan buatan. REUTERS/Fabrizio Bensch

tirto.id - Angelica Lim masih sangat ingat kunjungannya ke Jepang beberapa tahun lalu. Di sebuah kafe bergaya khas Jepang, "seorang" robot pramusaji dengan pakaian kimono tradisional menyapa Lim di sudut kafe yang berlokasi di Osaka itu. Robot itu mengambil pesanan Lim, lalu kepada barista yang berada di bar, ia menyahut, "Satu teh!"

Pengalaman bertemu dengan robot juga dirasakan jurnalis New York Times Andrew Ross Sorkin. Pada 25 Oktober 2017, laki-laki yang juga menjadi pembawa acara Squawk Box di CNBC tersebut bertemu dengan Sophia dalam konferensi Future Investment Initiative (FII) di Arab Saudi. Pada momen itu, Sorkin menanyakan beberapa hal kepada Sophia mengenai kecerdasan buatan.

Sorkin juga berkata bahwa Sophia tampak bahagia. Sophia pun membalas, “Aku selalu bahagia ketika dikelilingi oleh orang-orang pintar yang juga kaya dan berkuasa.”

Dalam beberapa tahun terakhir, kata robot dan kecerdasan buatan menjadi bahan perbincangan. Situsweb pegiat kecerdasan buatan, Phrasee, menyebutkan meski kedua istilah tersebut berbeda, mereka berkaitan satu sama lain.

Secara sederhana, kecerdasan buatan adalah program komputer yang dirancang untuk memecahkan permasalahan rutin yang dikerjakan oleh manusia maupun hewan. Kecerdasan buatan dirancang untuk mengembangkan program yang dapat memecahkan masalah secara mandiri.

Ia dirancang memproses sejumlah besar data, mencari tren dan pola, dan kemudian memberikan wawasan berdasarkan pola tersebut. Mereka juga disiapkan untuk melaksanakan tugas yang sangat spesifik. Beberapa contoh kecerdasan buatan yang telah dikembangkan sekarang meliputi aplikasi Watson pada IBM, Google Siri, dan Chatbots Twitter.

Sementara itu, robot adalah alat mekanis yang mampu bergerak secara otomatis. Ia dirancang untuk melakukan gerakan atau serangkaian gerakan, baik yang bentuknya sederhana seperti mengangkat sebuah boks atau yang kompleks seperti memadamkan api dari sebuah lilin yang disembunyikan dalam labirin.

Lalu dimana kaitan antara kecerdasan buatan dan robot? Jawabannya sederhana, jika robot itu hardware, kecerdasan buatan adalah software-nya.

Memuji dan Mencerca Kecerdasan Buatan

“Tapi saya tahu dia tidak melakukannya sendiri – robot itu tidak mengerti apa-apa. Di suatu tempat di atas (kafe), saya tahu, pasti manusia mengendalikan android yang hiper-realistis ini. Para peneliti menyebutnya teknik Wizard of Oz atau mengendalikan robot dari kejauhan,” sebut Lim.

Kalimat itu ditulis Lim dalam artikel bertajuk “Robots Aren’t as Smart as You Think”. Menurut asisten profesor bidang komputasi di Simon Fraser University itu, robot dengan kecerdasan buatan yang berkembang sekarang tergolong lemah. Robot tidak memiliki pemahaman yang nyata. Mereka bisa bertindak cerdas tetapi tidak bisa mengerti makna dari apa yang mereka katakan atau lakukan.

Namun tidak sedikit orang-orang yang berbeda pendapat dengan Lim. Awal November 2017, fisikawan Inggris Stephen Hawking mengatakan kecerdasan buatan akan melampaui kemampuan manusia dan menciptakan sebuah bentuk baru kehidupan.

"Saya takut kecerdasan buatan akan menggantikan manusia secara keseluruhan. Mereka layaknya virus komputer yang dapat mengembangkan kemampuan dan mereplikasi diri," ujar Hawking kepada Wired.

Baca juga: Resah Karena Kecerdasan Buatan

Pernyataan serupa pernah dilontarkan profesor yang disertasinya bertajuk Properties of Expanding Universes itu sebelumnya. Pada 2014, Hawking mengatakan kepada BBC bahwa perkembangan kecerdasan buatan dapat menjadi penanda akhir umat manusia.

Sejalan dengan Hawking, CEO Tesla dan SpaceX Elon Musk sempat mencuit, “Jika Anda tidak peduli dengan keamanan AI (kecerdasan buatan), sebaiknya Anda peduli. Resikonya lebih besar dari Korea Utara.”

Musk juga menyumbangkan dana sebesar 10 juta dolar AS untuk Future of Life Institute. Lembaga itu bertujuan memitigasi risiko yang ditimbulkan pengembangan kecerdasan buatan.

Pernyataan Hawking dan Musk tidak berlebihan. Tepat 20 puluh tahun lalu, sebuah perangkat kecerdasan buatan bernama Deep Blue yang diciptakan IBM berhasil mengalahkan pecatur Gerry Kasparov.

Deep Blue membuat sejarah sebagai komputer pertama yang mengalahkan juara dunia dalam pertandingan enam babak. Kasparov menang pada babak pertama, kemudian kalah pada babak kedua, dan seri pada tiga babak selanjutnya. Saat Deep Blue memenangi pertandingan babak terakhir, Kasparov tidak percaya dan menduga IBM berbuat curang.

Al Music, sebuah perusahaan rintisan (start-up) asal Inggris berhasil menciptakan kecerdasan buatan yang mampu menciptakan musik berdasarkan genre, mood, tempo, instrumen dan panjang lagu yang diinginkan seseorang. Sementara pada Juli 2017, kecerdasan buatan milik Facebook menciptakan bahasa baru yang tidak dimengerti manusia. Pada pertemuan FII itu pun, robot Sophia didapuk sebagai warga negara Arab Saudi – seolah setara dengan manusia.

Bumbu Imaji Katastrofi

Jawaban atas pertanyaan “Apakah sebuah mesin bisa berpikir?” telah menghantui para peneliti dan inovator sejak awal perkembangan komputer.

Pada 1950, matematikawan penemu Mesin Enigma yang menjadi cikal bakal komputer, Alan Turing, mengajukan usulan: sebuah mesin dapat dididik seperti anak-anak. Sementara pada 1955, inventor bahasa pemrogaman LISP John McCarthy menciptakan kata "kecerdasan buatan" untuk pertama kali.

Tidak lama kemudian, para peneliti kecerdasan buatan mulai menggunakan komputer untuk mengenali gambar, menerjemahkan bahasa, dan memahami instruksi, tidak hanya dalam bentuk kode tetapi juga dalam bahasa normal. Kegiatan ini jamak dilakukan pada periode 1960-an dan 1970.

Gagasan bahwa komputer akan mengembangkan kemampuan untuk berbicara dan berpikir pun merasuk dalam semesta wacana budaya populer. Film 2001: A Space Odyssey (1968) menampilkan robot HAL (Heuristically Programmed Algorithmic) 9000 yang mampu berbicara, bermain catur dengan manusia, dan merawat pesawat luar angkasa.

Baca juga: Saat Kecerdasan Buatan Menyatu dengan Situs Porno

Beberapa di antaranya menyajikan kecerdasan buatan sebagai katastrofi (malapetaka) dalam peradaban manusia, misalnya Colossus: The Forbin Project (1970). Film tersebut menampilkan komputer berkedip besar yang membawa dunia ke ambang kehancuran nuklir.

Sementara itu, The Terminator (1984) menyajikan "seorang" robot pembunuh yang menyerupai manusia (diperankan oleh Arnlod Schwarzenegger). Ia dikirim dari tahun 2029 ke tahun 1984 untuk membunuh Sarah Connor (Linda Hamilton), perempuan yang kelak melahirkan seorang pemimpin pembebasan manusia atas tirani robot di masa depan.

infografik awas ai lebih cerdas

Manusia Kalah, Robot Menang?

Meski setelah Turing perkembangan kecerdasan buatan kurang mendapatkan suplai dana, semangatnya tetap terjaga oleh sejumlah penulis fiksi-ilmiah era 1980-an dan 1990-an. Bahkan mereka membawa kecerdasan buatan ke tingkat lanjut: sebuah komputer menjadi mampu secara mandiri merancang cara untuk mencapai tujuan tertentu, melakukan evaluasi terhadap tindakannya, memodifikasi perangkat lunaknya, dan mereproduksi dirinya sendiri.

Hal tersebut dicatat Paul Ford dalam artikelnya “Our Fear of Artificial Intelligence”. Menurut Ford, konsep yang dikenal dengan istiah singularitas itu dipopulerkan seorang penulis fiksi-ilmiah bernama Vernor Vinge.

Adanya konsep ini dan beberapa peristiwa di kemudian hari membuktikan bahwa robot atau kecerdasan buatan mampu menandingi manusia – DeepBlue, Al Music, mobil swakemudi, dsb – membawa pemahaman masyarakat bahwa di masa depan kecerdasan buatan memiliki kemampuan berpikir lebih tinggi dibandingkan manusia. Pada 2005, inventor Ray Kurzweil memrediksi singularitas akan terjadi pada 2045.

Baca juga: Knight Rider dan Teknologi Mobil dengan Kecerdasan Buatan

Nomura Research Institue (NRI), pada Februari 2017, merilis survei di tiga negara – Jerman, Amerika Serikat, dan Inggris – mengenai kecerdasan buatan. Salah satu pertanyaan NRI, “Apakah masyarakat sadar akan adanya singularitas pada 2045?”

Hasilnya, hanya 9 persen responden dari Jepang, 19 persen dari AS, dan 9 persen dari Jerman yang sadar bahwa hal tersebut bakal terjadi. Sementara 55 persen responden dari Jepang, 44 persen dari AS, dan 45 persen dari Jerman sama sekali tidak sadar dengan hal tersebut.

NRI juga menanyakan pendapat responden mengenai keuntungan dari kecerdasan buatan. NRI menyediakan jawaban tertutup dengan rentang skala 1,2,3,4, dan 5. Semakin besar angka skala yang dipilih responden, ia dinilai semakin merasakan kecerdasan buatan menguntungkan dirinya.

Perbedaan jawaban responden di tiga negara cukup variatif. Di Jerman, ada 33 persen responden mengisi memilih skala 1, sementara 32 persen di antaranya mengisi skala 3. Hanya ada 5 persen responden di Jerman yang mengisi skala 5.

Sedangkan di Jepang, ada 11 persen responden yang mengisi skala 1, sementara 51 persen mengisi skala 3. Hanya ada 11 responden di Jepang yang mengisi skala 1.

Di AS, reponden terbelah. Sebanyak 30 persen responden mengisi skala 4, dan 5. Sedangkan 40 persen responden lainnya mengisi skala 1 dan 2.

Adanya singularitas ini pun masih problematis bagi peneliti bidang kecerdasan buatan di Aston University, Aniko Ekart. Kepada Sputnik, dia mengatakan salah satu definisi kecerdasan buatan menetapkan bahwa manusia menciptakan mesin cerdas yang tidak dapat melakukan semua hal yang sudah dapat dilakukan manusia

“Sangat sulit mengatakan kapan kita akan membuat robot sekuat manusia. Apa yang saya pikirkan sejauh ini adalah bahwa kecepatan pengembangan kecerdasan buatan sekarang ini jauh lebih cepat dibanding dua puluh tahun yang lalu. Jadi cukup sulit untuk memprediksi kapan hal itu akan terjadi,” ujar Ekart.

Baca juga artikel terkait KECERDASAN atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Teknologi
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS