Menuju konten utama

Musik Buatan Mesin Vs Musik Buatan Manusia

AI sudah bisa bikin musik. Akankah ini mengancam nasib musisi?

Musik Buatan Mesin Vs Musik Buatan Manusia
Ilustrasi musik artifisial. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Malibu, lagu karangan Miley Cyrus telah ditonton lebih dari 237 juta kali sejak dilempar ke Youtube pada awal Mei lalu. Lagu itu menuai banyak pujian dari kritikus musik. Ia dianggap sebagai lagu comeback mantan artis Disney yang kontroversial itu. Miley dianggap kembali lebih pop ketimbang citra eksentrik yang ditunjukkannya pada album Bangerz (2013). Pesan romantis di balik lagu itu juga membuatnya viral sekejap mata.

Miley cerita kalau Malibu adalah lagu jatuh cinta. Liam Hemsworth, aktor Australia yang sudah jadi tunangannya adalah alasan lagu itu tercipta. Ia mengaku cuma butuh beberapa menit menggubah, lalu merekam melodinya di hari yang sama. Ia menciptakan lagu itu di dalam mobil, dalam perjalanan menuju acara televisi tempat Miley jadi juri.

Nilai emosional jadi salah satu dagangannya. Lagu itu meledak.

Cerita di belakang sebuah lagu memang punya manfaat banyak. Selain jadi hal menarik yang bisa mengikat dan memikat pendengar, cerita-cerita emosional itu bisa mengangkat nama sang musisi dan menggelembungkan pundi-pundinya. Karena itu, wajar ketika musisi-musisi dunia merekrut puluhan penulis lagu ketika mencetak sebuah album. Lemonade milik Beyonce punya 72 orang dalam tim penulis lagu; Anti milik Rihanna punya lebih dari 30 orang; The Life of Pablo dari Kanye West bahkan punya lebih dari 100 orang. Menciptakan lagu sudah jadi sebuah industri sejak lama.

Studio Abbey Road di London bisa jadi adalah studio musik yang paling sering digunakan musisi dunia untuk menggubah lagu mereka. Mulai dari Elgar sampai Adele, The Beatles, Pink Flyod, dan Kanye West. Musisi Indonesia: J-Rocks, Gigi, Indische Party, /rif juga pernah bikin rekaman lagu di sana. Tapi, pria yang ditemui The Observer di Abbey Road kala itu bukan salah satu musisi tersebut. Ia malah salah satu dari CEO startup pembuat aplikasi-aplikasi yang mungkin menggempur musik konvensional atau justru membawanya ke level berikut.

Namanya Siavash Madavi, CEO AI Music, sebuah startup dari Inggris yang mengeksplorasi industri musik dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Dalam beberapa tahun terakhir mereka mengembangkan sebuah teknologi yang menjawab pertanyaan: bisakah AI menciptakan sebuah lagu?

“Bisakah kau menekan sebuah tombol dan menulis sebuah melodi?” tanyanya. “Itu hal yang sangat sulit dilakukan. Tapi aku tak tahu seberapa berguna hal itu. (Pasalnya) para musisi mengantre agar musiknya bisa didengar: untuk dapat kontrak dan dapat panggung. Hal terakhir yang mereka butuhkan (untuk visi itu) adalah kehadiran tombol serupa yang kubilang tadi,” tambah Madavi.

Kenyataannya, tombol itu sudah ada. Di situs Jukedeck asal London, misalnya. Startup itu sudah bisa membuatkan lagu pada seseorang berdasarkan genre, mood, tempo, instrumen dan panjang lagu yang diinginkan. Tentu dengan teknologi AI. Amper Music, asal New York juga punya layanan serupa.

“Beberapa tahun lalu, AI tidak ada di panggung tempat ia bisa menciptakan sepotong musik yang cukup bagus bagi seseorang. Sekarang, lagu ciptaannya bahkan cukup baik untuk beberapa kasus penggunaan,” kata Ed Newton-Rex, CEO Jukedeck.

Apakah hasilnya lebih bagus dari karangan musisi sungguhan?

Newton-Rex masih tak yakin kalau jawabannya iya. Tapi dia punya penjelasan menarik. “Ini bukan perkara untuk jadi lebih baik dari Adele atau Ed Sheeran. Tak ada hasrat menuju sana, dan kalau ada, apa gunanya? Musik itu sangat objektif. Ihwal itu bisa jadi kompetisi yang salah, bahwa tak ada ukuran yang sama-sama disepakati tentang seberapa bagus sebuah musik. Tujuan (musik AI) bukan 'akankah ini jadi lebih baik dari X?' tapi ‘akan ia berguna untuk orang-orang? Akankah ia membantu?’”

infografik musik artifisial

AI Music, yang diciptakan Mahdavi, punya sistem pemanfaatan AI yang cukup berbeda. Tak seperti Jukedeck, ia memang tak menargetkan produksi musik sebagai dagangan utama. AI Musik hadir sebagai alat penggubah lagu yang sudah ada. AI membantu mengaturkan tempo lagu, membuatnya jadi lebih ringan atau berat.

“Mungkin, kalian ingin mendengar lagu di sepotong pagi yang mungkin sedikit lebih akustik dari versi aslinya. Mungkin lagu yang sama, ketika kalian ingin memainkannya saat pergi ke gym, bisa memutarnya dengan versi deep house atau drum ‘n ‘bass. Dan saat malam, bisa diputar lebih jazzy. Lagunya bisa berubah dengan sendirinya,” kata Mahdavi.

Startup serupa yang mulai memadupadankan AI dan industri musik bukan cuma AI Music, Jukedeck, atau Amper Music saja. Ada Popgun dari Australia, Humptap dari San Francisco, atau riset di bidang serupa yang dikerjakan Google bernama Magenta, atau riset Sony yang bernama Flow Machines di Paris.

Pangsa pasar industri ini memang besar. Dari riset Tirto, di Jawa-Bali saja, 82,9 persen Generasi Z mendengarkan musik lewat saluran streaming. Artinya, ada perubahan tabiat yang terjadi karena paparan teknologi. Pendengar yang banyak artinya sumber keuntungan yang besar pula.

Jon Eades dari Abbey Road Red incubator menilai perkawinan antara AI dan industri musik ini sebagai pedang bermata dua, persis seperti semua jenis teknologi baru yang belakangan bermunculan: ia mengguncang industri musik dan komunitas kreatif di dalamnya. “Kukira bakal ada kerusakan fatal, mirip seperti internet. Ia (Musik AI) menciptakan kesempatan, dan benar-benar mengubah lanskap. Tapi tergantung dari mana Anda melihatnya dalam ekosistem pra-internet: apakah Anda menyebutnya kesempatan atau justru ancaman,” katanya.

Hingga kini, musik yang diciptakan musik AI memang tak sekompleks dan semegah musik buatan manusia. Itu diakui Newton-Rex sendiri. Tapi tak ada kepastian kalau teknologi ini tidak lebih berkembang di masa depan. Lantas, ketika musik AI sudah sama bagusnya dengan buatan manusia, bagiamana nasib para musisi?

Mark Mulligan, konsultan industri musik, menilai musik AI lebih tentang musik sonik ketimbang musik berkualitas yang sebenarnya. Ia hanya akan jadi musik pengiring gim video, atau mungkin latar musik para youtuber yang kesulitan mencari lagu karena masalah hak cipta. “Musik AI tak akan jauh sampai jadi sebuah hits, dan itu bukan masalah. Ia adalah muzak (musik Kodak) abad 21,” kata Mulligan.

Ia juga yakin kalau musik AI tak akan pernah bisa membuat musik sebagus bikinan manusia. “Kenapa tidak?” katanya dalam wawancara dengan The Observer. “Karena membuat musik yang bisa menggerakan orang lain—untuk melompar dan menari, menangis, tersenyum—membutuhkan pemantik emosi dan butuh kesadaran untuk memahami emosi yang bisa memantiknya.”

CEO Amper Music Drew Silverstein sepakat. Ia memang memprediksi, “di saat tertentu nanti, musik AI dan bikinan manusia mungkin akan susah dibedakan,” ungkap Silverstein. Namun, meski keluaran artistik itu sukar dibedakan, kita sebagai manusia akan selalu menghargai duduk bersama di sebuah ruangan dengan orang lain sambil berkreasi sebuah seni. Itu adalah bagian dari diri kita sebagai manusia. Hal itu tak kan pernah hilang,” katanya.

CEO Popgun Stephen Phillips, startup musik AI dari Australia malah menganggap perkembangan ini jadi jembatan membuat musik yang dikenal manusia selama ini ke level berikutnya. “Mungkin musik AI tak akan membuat musik seperti bikinan manusia. Mungkin ia malah akan membawa kita pada musik yang belum pernah kita dengar sebelumnya. Ia tak mengancam musik bikinan manusia, malah menunjukkan adanya jenis musik manusia baru yang bisa lebih dikembangkan,” kata Phillips.

Ia melihat hadirnya musik AI sebagai instrumen yang kelak justru membantu para musisi mengembangkan musiknya, bukan jadi saingan mereka.

Jika, Bowie, Prince, Lennon, Joplin, dan MJ masih hidup, akankah mereka berkolaborasi dengan teknologi baru ini?

Baca juga artikel terkait ARTIFICIAL INTELLIGENCE atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Musik
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti