tirto.id - Pemerintah Cina secara rutin telah melakukan sensor terkait isu-isu sensitif, antara lain terkait kondisi di Tibet, hubungan dengan Taiwan, diskriminasi terhadap muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, maupun pelanggaran kemanusiaan lain. Kini pemerintah Negeri Tirai Bambu menyatakan target baru yang membuat kening publik berkerut tanda kaget sekaligus tak percaya: Winnie the Pooh.
Winnie the Pooh adalah karakter fiksi berbentuk beruang madu berkaos merah yang oleh penciptanya, A. A. Milne, dipakai sebagai tokoh utama di dalam buku cerita anak-anak. Setelah diadaptasi oleh studio Disney, popularitas Winnie dan kawan-kawannya kian moncer di hampir seluruh negara, termasuk di Cina sendiri. PBB bahkan menetapkannya sebagai Duta Persahabatan Dunia pada tahun 1997.
Para pengguna internetlah yang memulai kebencian pemerintah Cina kepada sosok menggemaskan itu. Mereka menggunakan Winnie the Pooh untuk mengganti sosok Presiden Xi Jinping dalam ulasan politik di blog. Bagi mereka, Jinping dan Winnie memiliki kesamaan secara fisik. Akibat sensor ketat pemerintah terhadap segala ulasan seputar Jinping, apalagi yang berisi kritik, warganet Cina pun mengganti foto sang presiden dengan Winnie the Pooh.
Bulan November 2014 media massa ramai memberitakan pertemuan Xi Jinping dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Pertemuan formal tersebut terasa penting sebab terjadi untuk pertama kalinya sejak keduanya menjabat.
Meski demikian, bukan perkara tentang ketegangan di Laut Cina Selatan atau isu krusial lain yang menjadi tajuk utama di beberapa kanal berita daring, melainkan betapa dingin dan awkward-nya jabat tangan antara Jinping dan Abe.
Warganet Cina kemudian menyebarkan meme yang menggambarkan momen tersebut namun mengganti sosok Jinping dan Abe dengan Winnie the Pooh yang tengah bersalaman dengan Eeyore. Eeyore adalah karakter berbentuk keledai teman Winnie. Lucunya lagi, adegan salaman awkward antara Winnie dan Eeyore memang pernah ada di salah satu episode bikinan Disney.
Hal yang sama juga dilakukan warganet Cina kala sedang membahas pertemuan antara Jinping dengan mantan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama pada tahun 2013 silam. Jinping berjalan beriringan dengan Obama, dan meme yang beredar menggambarkan Winnie the Pooh saat berjalan beriringan dengan Tigger, teman harimau Winnie yang diasosiasikan sebagai Obama.
Dua tahun berselang meme serupa muncul lagi. Kali itu beredar gambar Winnie mengendarai mobil kecilnya disandingkan dengan Jinping yang juga sedang mengendarai mobil, lebih tepatnya berdiri melalui jendela bagian atas mobil sehingga terlihat jelas dari luar. Portal analis politik Global Risk Insight sampai menyebutnya sebagai “foto paling disensor di Cina” tahun 2015.
Qiao Mu, ahli studi media dan mantan profesor di Universitas Beijing Foreign Studies, berkata kepada The Telegraph bahwa pemblokiran konten Winnie the Pooh sesungguhnya tak terlalu mengejutkan mengingat Partai Komunis Cina kekinian memang sangat sensitif terhadap penggambaran pemimpin tertingginya di depan publik. Bukan untuk dibuat konyol, apalagi disamakan dengan beruang madu.
Sensitivitas itu memuncak terutama pada tahun 2017 ini saat Jinping diharapkan mampu mengkonsolidasikan kekuatan partai menjelang kongres yang akan digelar dalam beberapa bulan ke depan. Presiden adalah sosok yang mestinya tegas dan serius, demikian menurut Pemerintah Cina. Tentu saja mereka tak terima Jinping disandingkan dengan karakter fiksi dengan sifat yang bertentangan.
Meski demikian, yang disayangkan oleh Mu dan mewakili kegelisahan publik, adalah tak ada pernyataan resmi mengenai alasan di balik sensor ketat tersebut. Akibatnya kondisi ke depan kian membingungkan.
“Jadi kondisinya lumayan abu-abu tentang apa yang dibolehkan dan apa yang dilarang, sebab pemerintah Cina sendiri tak pernah menyatakan apa yang akan disensor selanjutnya,” jelas Mu sembari mengatakan bahwa foto Winnie the Pooh yang dikaitkan dengan Jinping masih diviralkan oleh warganet Cina.
Melarang Nama Arab/Islam
Bukan kali ini saja Pemerintah Cina dinilai memusuhi hal-hal yang sesungguhnya remeh namun dianggap sangat mengancam. Bulan April otoritas yang berkuasa di wilayah Xinjiang, provinsi dengan populasi muslim terbesar di Cina, melarang para orang tua untuk memberi nama Arab kepada bayi yang baru lahir, antara lain “Muhammad”, “Arafat”, “Jihad”, dan beberapa nama lainnya.
Jika ada orang tua yang tetap memakai nama-nama itu beserta 17 jenis nama lain yang masuk daftar larangan, si anak tak akan diberi akses layanan kesehatan masyarakat serta pendidikan Aturan serupa sudah diberlakukan di wilayah Hotan, Xinjiang Selatan, sejak 2015. Menurut laporan The Telegraph, peraturan yang baru diberlakukan pemerintah Xinjiang di tahun 2017 ini adalah perluasan dari peraturan yang ada di Hotan tersebut.
Pertanyaan klasik “apalah arti sebuah nama” tak berlaku bagi Pemerintah Cina yang sejak beberapa tahun terakhir mulai tegas dengan berbagai serangan teror yang terjadi di Xinjiang. Pada Desember 2016 misalnya, terdapat serangan ke sebuah gedung pemerintahan dan menewaskan satu orang.
Lalu di awal Ramadan 2015 setidaknya ada 18 orang yang tewas dalam sebuah serangan solo. Pelakunya adalah seorang beretnis Uighur, targetnya para polisi, dan serangan tersebut bermodalkan pisau serta bom yang diledakkan di pos pemeriksaan lalu lintas di sebelah selatan kota Kasghar. Pemerintah kemudian menyalahkan orang-orang Uighur dan militan Islam atas teror tersebut.
Meski rangkaian teror itu mengorbankan penganut agama Islam sendiri, yang menurut riset Pew Forum on Religion & Public Life berjumlah kurang lebih 10 juta orang di wilayah Xinjiang, Pemerintah Cina tetap menyalahkan mayoritas etnis Uighur. Mereka mengambil kontrol terhadap hampir seluruh aspek kehidupan orang Uyghur termasuk agama dan budaya, sehingga muncul berbagai larangan-larangan bagi Muslim Xinjiang, termasuk soal nama.
Menyensor Film tentang Mesin Waktu
Pemerintah Cina sangat hati-hati dengan segala produk buatan Amerika Serikat yang masuk ke dalam negeri, tak terkecuali program serial televisi atau filmnya. Barangkali terdengar konyol, tapi pada tahun 2011 Pemerintah Cina benar-benar melaksanakan sensor terhadap serial televisi maupun film asal Hollywood yang menampilkan mesin waktu beserta petualangannya, demikian laporan New York Times.
Dalam sebuah pernyataan resmi tertangal 31 Maret 2011 yang dikeluarkan oleh Administrasi Negara untuk Radio, Film, & Televisi, serial drama yang di dalam ceritanya melakukan perjalanan menembus ruang dan waktu dinilai “tak mengandung makna dan pemikiran yang positif.” Bagi mereka, fiksi ilmiah yang terkandung dalam serial laris seperti Doctor Who, The Adventure of Jimmy Neutron: Boy Genius, atau Back to The Future itu tak jelas.
Produser serial-serial tersebut dianggap “dengan santainya membuat mitos, memiliki plot aneh dan mengerikan, taktiknya absurd, dan mempromosikan feodalisme, takhayul, fatalisme, dan reinkarnasi...”
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani