Menuju konten utama

Teori Relasi Kekuasaan dalam Masyarakat

Teori relasi kekuasaan dalam masyarakat telah dijelaskan oleh para ahli, mulai dari John Locke hingga Michel Foucault. Simak penjelasannya berikut ini.

Teori Relasi Kekuasaan dalam Masyarakat
Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim (kedua kanan) didampingi Anggota Komisi X DPR Adrianus Asia Sidot (kanan) berbicara dengan para siswa dalam kunjungan ke Sekolah Dasar Negeri (SDN) 28 di Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (24/10/2022). ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang/wsj/

tirto.id - Dalam perilaku sosial terdapat tiga pola hubungan meliputi individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Berbagai hubungan yang ada dalam perilaku sosial disebut dengan relasi.

Relasi yang terbentuk dari hubungan sosial tersebut dapat membentuk suatu otoritas atau kekuasaan. Contoh kekuasaan dalam masyarakat adalah hubungan antara kepala desa dengan kepala dusun, RT/RW, serta warga desa.

Contoh relasi kuasa juga bisa dilihat dalam keluarga. Relasi kuasa dalam keluarga adalah hubungan antara sosok ayah sebagai kepala keluarga, istri, dan anak.

Apa yang Dimaksud dengan Relasi Kekuasaan?

Relasi kekuasaan adalah hubungan yang terbentuk dari berbagai pola relasi antar-manusia yang kemudian membawa suatu kepentingan dengan tingkat kekuasaan tertentu.

Terdapat sejumlah teori relasi kuasa menurut para ahli, mulai dari John Locke hingga Paul-Michel Foucault. Nama terakhir disebut adalah seorang filsuf, sejarawan ide, ahli teori sosial, ahli bahasa, serta kritikus sastra asal Prancis kelahiran 15 Oktober 1926.

Lantas, apa itu relasi kuasa Michel Foucault?

Teori Relasi Kuasa menurut Para Ahli

Teori relasi kuasa menurut para ahli dijelaskan dengan beragam pengertian dan ide. Mulai dari John Locke dan Montesquieu, yang berfokus pada pembahasan kekuasaan negara, hingga Foucault, yang mendefinisikan kekuasaan secara berbeda.

1. Pemikiran John Locke tentang kekuasaan

Teori kekuasaan yang dijelaskan John Locke berfokus pada pemerintahan negara. Ia membagi kekuasaan negara menjadi tiga, yakni eksekutif (pelaksana undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang), dan federatif (pelaksana hubungan luar negeri).

Menurut John Locke, wewenang negara dan agama harus dipisahkan agar tidak saling mencampuri.

2. Teori Montesquieu

Teori kekuasaan Montesquieu adalah hasil perkembangan dari teori sebelumnya, yang dikembangkan oleh John Locke. Ia juga membagi kekuasaan menjadi tiga, atau dikenal dengan istilah trias politica.

Dalam buku L’Esprit des Lois (1748), Montesquieu menjelaskan bahwa kekuasaan terbagi atas tiga jenis, yakni eksekutif (pelaksana undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang), dan yudikatif (pihak yang mempertahankan undang-undang dan mengadili pelanggar UU).

Berbeda dengan John Locke, Montesquieu tidak memasukkan federatif, melainkan disatukan dengan eksekutif.

3. Pendapat Max Weber tentang kekuasaan

Menurut Maximilian Weber, kekuasaan adalah kesempatan atau peluang seseorang atau kelompok untuk mewujudkan keinginannya sendiri, bahkan jika harus melawan orang-orang atau golongan tertentu.

4. Talcott Parson

Dikutip dari buku Dasar-dasar Ilmu Politik, Talcott Parson mendefinisikan kekuasaan sebagai kapasitas untuk mengamankan pelaksanaan kewajiban yang mengikat oleh unit-unit dalam suatu sistem organisasi kolektif.

Ketika kewajiban itu dilegitimasi dengan mengacu tujuan kolektif, kemudian terjadi pemangkangan, akan ada anggapan bahwa penegakan hukum akan dilakukan melalui sanksi-sanksi situasional yang cenderung negatif.

5. Relasi Kuasa Foucault

Dalam pikiran Foucault, kekuasaan tidak dimaknai secara negatif melainkan produktif dan reproduktif. Menurut filsuf asal Prancis tersebut, kekuasaan tidak terpusat tetapi menyebar dan mengalir, kemudian dinormalisasikan dalam praktik kedisiplinan.

Normalisasi yang dimaksud disini bisa berupa disiplin. Kekuasaan juga bisa beroperasi dan dijalankan dalam masyarakat, melalui legitimasi dari pengetahuan.

Pemikiran Foucault tentang relasi kuasa tidak diragukan berpengaruh luas terhadap ilmu-ilmu sosial, termasuk sosiologi dan antropologi.

Melalui salah satu karyanya, The History of Sexuality Vol. I (1990), Foucault menunjukkan lima proposisi tentang apa itu kekuasaan.

  1. Kekuasaan bukan hal yang diperoleh, diraih, digunakan, dibagikan, dapat digenggam, atau bahkan bisa punah. Menurutnya, kekuasaan dijalankan di berbagai tempat, dari hubungan yang terus bergerak.
  2. Relasi kekuasaan bukanlah struktural hirarkis yang membayangkan adanya pihak yang menguasai dan dikuasai.
  3. Kekuasaan datang dari bawah, yang membayangkan bahwa tidak ada lagi perbedaan oposisi biner. Sebab, kekuasaan mencakup dalam keduanya.
  4. Relasi kekuasaan itu bersifat intensional dan non-subjektif.
  5. Kekuasaan berkaitan erat dengan anti-kekuasaan. Keduanya bertolak belakang tetapi ada dalam waktu yang sama. Di mana ada kekuasaan, di situ juga ada anti-kekuasaan. Dalam konsep relasi kuasa Foucault, resistensi tidak berada di luar relasi kekuasaan. Setiap orang berada dalam kekuasaan, dan tidak ada jalan untuk keluar darinya.

Apa Saja Unsur Relasi Kekuasaan?

Relasi kekuasaan dalam perkembangannya terjadi di banyak bidang, mulai dari ekonomi, teknologi, identitas, lingkungan, dan interelasi dinamik.

Contoh relasi kuasa di bidang interelasi dinamik yakni aturan pemakaian seragam yang ditetapkan oleh suatu lembaga. Hal ini menunjukan bahwa relasi kekuasaan dapat mewujud menjadi aturan dan ketentuan, sesuai pihak yang berkuasa atau berwenang.

Berdasarkan buku Antropologi SMA/MA Kelas XII (2022) terbitan Kemdikbud, relasi kekuasaan memiliki beberapa unsur sebagai berikut:

1. Legitimasi

Max Weber dalam The Theory of Social and Economic Organization (1964) menjelaskan bahwa legitimasi memiliki tiga sumber utama, meliputi: kepercayaan dalam waktu lama atau disebut tradisi, kepercayaan kepada penguasa atau disebut karismatik, dan legalitas atau aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Pemerintah yang sah berdasarkan teori legitimasi sangat bergantung pada pandangan masyarakat mengacu kebiasaan (tradisi). Sementara itu, karismatik timbul sebagai akibat dari rasionalitas terhadap aturan hukum.

Legitimasi melalui otoritas terdiri atas tiga bentuk yakni otoritas tradisional, legal-rasional, dan karismatik. Ketiganya termasuk sebagai unsur relasi kekuasaan.

2. Otoritas tradisional

Dalam Teori Sosiologi (1998), George Ritzer menjelaskan bahwa otoritas tradisional mengacu pada klaim yang diajukan para pemimpin. Ia juga datang dari suatu kepercayaan tentang adanya kebajikan dalam kesucian aturan-aturan dan kekuasaan kuno. Dalam otoritas tradisional, kesetiaan masyarakat didasari nilai tradisi yang berlaku.

3. Otoritas legal-rasional

Otoritas legal-rasional adalah kepercayaan terhadap legalitas aturan-aturan yang ditetapkan. Hal itu juga didasarkan pada aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah. Dengan demikian, menurut Max Weber, seseorang yang mendapatkan dan melaksanakan otoritas tersebut secara absah mendasarkan pada landasan tertentu, termasuk peraturan perundang-undangan yang berlaku di masyarakat.

4. Otoritas kharismatik

Otoritas karismatik datang dari kesetiaan pengikut berdasarkan kesucian luar biasa, watak teladan, heroisme, tatanan normatif, serta kekuasaan istimewa seperti keajaiban. Otoritas karismatik terwujud pada sesok pemimpin yang menginspirasi dan memotivasi orang lain melalui aktivitasnya.

Baca juga artikel terkait ANTROPOLOGI atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fadli Nasrudin