Menuju konten utama
Mozaik

Perjuangan Demokrasi Juni 1987 di Korsel, Berhasil dan Rengat

Gerakan ini berhasil menumbangkan orde otoriter. Namun saat pemilu digelar, kelompok prodemokrasi pecah hingga mereka kalah oleh penerus rezim sebelumnya.

Perjuangan Demokrasi Juni 1987 di Korsel, Berhasil dan Rengat
Header Mozaik Perjuangan Demokrasi Juni 1987 di Korea Selatan. tirto.id/Tino

tirto.id - Lampu neon di langit-langit bergetar, memantulkan cahaya pucat ke dinding kusam ruang interogasi. Di sudut ruangan, seorang mahasiswa tersungkur setengah telanjang dengan tangan terikat, napasnya berat, matanya menatap kosong ke lantai. Ia disiksa bertubi-tubi.

Seorang perwira polisi, wajahnya kaku, menghampiri dan menatap mahasiswa itu. Sejenak ada keraguan di matanya, tapi segera tertutup oleh perintah yang harus dijalankan. Ketegangan di udara begitu pekat, seakan setiap tarikan napas bisa memicu ledakan.

“Satu nyawa yang melayang sama sekali bukan hal yang penting. Di mana Jong Woon?” ujar polisi.

Park Jong-chul, mahasiswa itu, menjawab berkali-kali bahwa ia tidak mengetahuinya. Polisi kembali menyiksanya dengan menceburkan wajahnya ke air kolam.

Adegan dalam film 1987: When the Day Comes (2017) tersebut menggambarkan bagaimana kematian Park Jong-chul dan upaya pemalsuan penyebab kematiannya.

Film itu juga merepresentasikan gerakan demokrasi di Korea Selatan ketika gelombang protes masif meletus di seluruh negeri, mengakhiri hampir tiga dekade pemerintahan otoriter. Gerakan yang dikenal sebagai Perjuangan Demokratis Juni itu tidak hanya mengubah lanskap politik Korea Selatan, tetapi juga membuka ruang bagi lahirnya industri hiburan dan budaya populer yang kini dikenal dunia sebagai K-Pop.

Percikan Api di Musim Dingin

Rakyat Korea Selatan di bawah kepemimpinan Chun Doo-hwan mengalami penindasan yang sistematis. Setelah merebut kekuasaan melalui kudeta militer pada 1979 dan pembantaian Gwangju pada 1980 yang menewaskan ribuan warga sipil, pemerintahan Chun menerapkan kontrol ketat terhadap berbagai aspek kehidupan.

Dari 1980 hingga 1987, pemerintah menjalankan apa yang disebut sebagai “rezim media” dengan menutup 172 publikasi bulanan dan menerapkan sensor ketat.

Penindasan merambah kehidupan budaya. Lagu-lagu pop dilarang bukan hanya karena alasan politik, tetapi juga karena dianggap terlalu kebarat-baratan atau tak sesuai selera penguasa.

Pada 14 Januari 1987, di tengah musim dingin yang menusuk tulang, sebuah peristiwa terjadi di ruang interogasi anti-komunis di Namyeong-dong, Seoul, yang menyulut api perlawanan nasional.

Park Jong-chul, seorang mahasiswa linguistik berusia 21 tahun dari Universitas Nasional Seoul, disiksa hingga tewas. Selama interogasi, ia menolak untuk mengungkapkan keberadaan rekannya sesama aktivis.

Rezim segera bergerak untuk menutupi kejahatan tersebut. Dalam sebuah konferensi pers, polisi mengumumkan sebuah cerita yang sangat tidak masuk akal: Park Jong-chul meninggal karena “syok” setelah seorang interogator “membanting meja dengan keras”.

Kebohongan yang begitu terang-terangan dan arogan ini tidak hanya gagal meyakinkan publik, tetapi juga memicu kemarahan dan kecurigaan yang meluas. Seorang dokter, Oh Yeon-sang, yang dipanggil ke tempat kejadian, menolak untuk menandatangani sertifikat kematian palsu.

Sementara jaksa penuntut, Choi Hwan, yang mencurigai adanya kejanggalan, menggunakan wewenangnya untuk memerintahkan otopsi. Hasil otopsi mengonfirmasi apa yang ditakutkan semua orang: tanda-tanda penyiksaan yang parah dan penyebab kematian karena sesak napas.

Polisi yang menyiksanya, seperti dilaporkan The New York Times, menggunakan teknik waterboarding yang brutal hingga paru-parunya terisi air dan jantungnya berhenti berdetak.

Kebenaran akhirnya terungkap melalui institusi masyarakat sipil yang memiliki otoritas moral yang tidak mudah dibungkam oleh rezim: gereja. Pada 18 Mei 1987, bertepatan dengan peringatan tujuh tahun Pemberontakan Gwangju, Asosiasi Imam Katolik untuk Keadilan (CPAJ) mengungkapkan kepada publik bahwa kematian Park Jong-chul adalah hasil dari penyiksaan sistematis yang ditutup-tutupi oleh para pejabat tinggi.

Gerakan Demokrasi Juni 1987 di Korea Selatan

Gerakan Demokrasi Juni 1987 di Korea Selatan. (Instagram/@infamous_rixx)

Kematian Park Jong-chul bukan sekadar kasus kebrutalan polisi, tetapi menjadi simbol kebobrokan rezim dan seruan untuk keadilan.

Kemarahan atas kematian Park Jong-chul dan pengungkapan kebenarannya terus membara sepanjang musim semi. Puncaknya tiba pada 13 April 1987, ketika Chun Doo-hwan mengumumkan sebuah dekrit sepihak untuk menangguhkan komite tentang reformasi konstitusi untuk pemilihan presiden langsung.

Langkah itu dianggap sebagai deklarasi arogan, lebih-lebih saat ia menunjuk sekutu dan temannya sendiri, mantan jenderal Roh Tae-woo, sebagai calon penggantinya dan melanjutkan kediktatoran militer di bawah fasad yang baru. Bagi rakyat Korea Selatan, ini adalah penghinaan terakhir.

Koalisi kelompok pro-demokrasi merencanakan protes nasional besar-besaran pada 10 Juni, hari saat partai yang berkuasa akan secara resmi mencalonkan Roh Tae-woo. Namun, sehari sebelumnya, pada 9 Juni, tragedi kembali terjadi.

Selama demonstrasi di depan Universitas Yonsei, seorang mahasiswa bernama Lee Han-yeol, 21 tahun, terkena tembakan gas air mata di bagian belakang kepalanya. Seorang fotografer Reuters, Jeong Tae-won, mengabadikan momen mengerikan ketika Lee, yang berlumuran darah dan tak sadarkan diri, digendong oleh sesama mahasiswa.

Foto itu, yang diterbitkan di halaman depan surat kabar keesokan harinya, menjadi ikon pergerakan. Pemakamannya di Seoul dihadiri oleh begitu banyak orang. Inilah jembatan emosional yang memungkinkan kelas menengah, yang selama ini ragu-ragu, untuk melihat perjuangan mahasiswa sebagai perjuangan mereka sendiri.

Pada 10 Juni, seperti yang direncanakan, protes meletus secara serentak di 22 kota di seluruh negeri, diikuti oleh sekitar 240.000 orang. Namun kali ini, protes tidak berhenti. Selama hampir tiga minggu, jalan-jalan di pusat kota Seoul dan kota-kota besar lainnya berubah menjadi medan pertempuran.

Aroma gas air mata yang menyengat menyelimuti udara, sementara para mahasiswa melawan dengan bom molotov dan batu. Katedral Myeongdong di Seoul menjadi pusat simbolis perlawanan, berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi para demonstran yang dikejar polisi.

Titik balik yang menentukan terjadi ketika kelas menengah dan para pekerja kantoran secara massal bergabung dalam gerakan. Dari jendela-jendela gedung perkantoran yang tinggi, mereka meneriakkan slogan-slogan dukungan, melemparkan gulungan kertas toilet sebagai tanda solidaritas. Setelah jam kerja, mereka membanjiri jalanan untuk bergabung dengan para mahasiswa.

Menurut Chae-Jin Lee dalam buku A Troubled Peace: U.S. Policy and the Two Koreas (2006:123), pergeseran sentimen publik ini sudah terlihat dalam sebuah survei pada Mei 1987, yang menemukan bahwa 85,7 persen responden dari kelas menengah merasa bahwa perlindungan hak asasi manusia lebih penting daripada pertumbuhan ekonomi. Gerakan yang dimulai oleh para aktivis mahasiswa kini telah berubah menjadi revolusi rakyat.

Fajar Demokrasi yang Rengat

Menghadapi lautan manusia yang tak terbendung di jalanan, ancaman boikot terhadap Olimpiade Seoul 1988, dan tekanan yang meningkat dari sekutunya, Amerika Serikat, rezim Chun Doo-hwan terpojok.

William Stueck dalam jurnalnya menilai situasi Korea Selatan yang makin memanas memaksa Komite Olimpiade Internasional (IOC) mempertimbangkan lokasi lain untuk menggantikan Seoul, salah satunya adalah Los Angeles yang pernah menjadi tuan rumah Olimpiade 1984.

Pada 29 Juni 1987, dalam sebuah langkah yang mengejutkan, calon presiden dari partai yang berkuasa, Roh Tae-woo, tampil di televisi nasional dan membacakan “Deklarasi 29 Juni” yang merupakan kapitulasi total terhadap tuntutan gerakan pro-demokrasi.

Roh menjanjikan delapan poin reformasi, termasuk yang paling krusial: amandemen konstitusi untuk memungkinkan pemilihan presiden secara langsung. Selain itu, ia menjanjikan pembebasan tahanan politik, pemulihan hak-hak sipil bagi tokoh oposisi seperti Kim Dae-jung, penegakan hak asasi manusia, dan jaminan kebebasan pers. Bagi jutaan orang yang telah mempertaruhkan segalanya di jalanan, itu adalah momen kemenangan yang luar biasa.

Pemilihan presiden langsung pertama dalam 16 tahun dijadwalkan pada Desember 1987. Ini adalah kesempatan untuk menyapu bersih sisa-sisa kediktatoran militer. Namun, apa yang terjadi selanjutnya menjadi studi kasus klasik tentang paradoks transisi demokrasi. Kemenangan rakyat di jalanan tidak secara otomatis diterjemahkan menjadi kemenangan politik di kotak suara.

Gerakan pro-demokrasi yang begitu bersatu dalam tujuannya untuk menggulingkan diktator, gagal bersatu di belakang satu kandidat. Dua tokoh oposisi paling terkemuka, Kim Young-sam dan Kim Dae-jung, yang keduanya merupakan pahlawan perlawanan, tidak dapat mencapai kesepakatan.

Gerakan Demokrasi Juni 1987 di Korea Selatan

Gerakan Demokrasi Juni 1987 di Korea Selatan.

Didorong oleh ambisi pribadi dan basis dukungan regional yang berbeda, keduanya memutuskan untuk maju sebagai calon presiden. Keputusan ini secara fatal memecah suara anti-pemerintah. Akibatnya, Roh Tae-woo, mantan jenderal dan penerus pilihan Chun Doo-hwan, berhasil memenangkan pemilihan hanya dengan suara sekitar 36 persen.

Meskipun hampir dua pertiga pemilih telah memilih kandidat oposisi, perpecahan di antara mereka memungkinkan perwakilan dari rezim lama untuk tetap berkuasa. Hasil ini adalah pengingat yang menyakitkan bahwa meruntuhkan sebuah rezim adalah satu hal, tetapi membangun tatanan politik yang baru dan bersatu adalah tantangan yang sama sekali berbeda. Jalan menuju demokrasi penuh ternyata masih panjang dan berliku.

Dari Kebebasan Politik Menuju Ledakan Budaya

Warisan terpenting dari Perjuangan Juni 1987 mungkin tidak hanya terletak pada perubahan politik, tetapi juga pada ledakan budaya yang mengikutinya. Kemenangan di jalanan meruntuhkan tembok sensor yang selama puluhan tahun telah membelenggu kreativitas di Korea Selatan.

Para seniman, musisi, dan pembuat film tidak lagi harus hidup dalam ketakutan akan karya mereka yang dilarang karena melodi yang dianggap “terlalu Barat” atau lirik yang dianggap subversif. Pintu air kreativitas akhirnya terbuka.

Liberalisasi parsial industri musik juga terjadi pada 1991 ketika Undang-undang Rekaman Musik dan Video menurunkan standar registrasi label musik dan memperkenalkan investasi asing.

Momen titik balik dalam lanskap budaya baru ini tiba pada tahun 1992 dengan debut grup musik Seo Taiji and Boys. Mereka tidak seperti apa pun yang pernah dilihat atau didengar oleh publik Korsel sebelumnya. Mereka secara radikal memadukan genre musik Barat seperti rap, hip-hop, dan heavy metal dengan melodi pop Korea, menciptakan suara yang segar dan memberontak.

Salah satu lagu mereka, “Nan Arayo (I Know)”, tidak hanya menjadi sensasi nasional tetapi juga menjadi preseden untuk K-Pop modern seperti yang kita kenal hari ini. Lirik mereka tidak lagi hanya tentang cinta yang klise, tetapi berani menyentuh isu-isu sosial yang sensitif, seperti tekanan sistem pendidikan yang menindas dan kehampaan budaya kaum muda.

Fondasi budaya yang baru ini kemudian bertemu dengan sebuah krisis yang tak terduga. Krisis Finansial Asia tahun 1997 menghancurkan model ekonomi Korsel yang selama ini bergantung pada industri berat dan manufaktur.

Dalam upaya putus asa untuk mencari mesin pertumbuhan ekonomi baru, pemerintahan Presiden Kim Dae-jung, seorang mantan tahanan politik di bawah rezim militer, mengambil langkah visioner.

Pemerintah mengidentifikasi industri budaya dan teknologi informasi sebagai sektor strategis untuk masa depan Korsel. Peran negara berubah secara dramatis: dari sensor menjadi promotor. Pemerintah secara aktif mulai berinvestasi dalam produksi konten budaya dan memfasilitasi ekspornya ke luar negeri, memandang budaya bukan lagi sebagai ancaman, melainkan sebagai aset soft power dan komoditas ekonomi yang berharga.

Fenomena global yang kita kenal sebagai Hallyu atau Gelombang Korea bukanlah produk sederhana dari kebebasan semata.[12] Ia adalah hasil dari konvergensi tiga faktor historis yang kuat: kebebasan politik yang dimenangkan pada tahun 1987, inovasi budaya yang dipelopori oleh seniman seperti Seo Taiji and Boys, dan kebutuhan ekonomi yang lahir dari krisis 1997.

Tanpa salah satu dari tiga pilar tersebut, K-Pop dan drama Korea mungkin tidak akan pernah melampaui batas negara.

Baca juga artikel terkait DEMOKRASI atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi