Menuju konten utama

Dalih Pengendalian Massa Mengaburkan Bahaya Gas Air Mata

Sempat dilarang berdasarkan The Geneva Protocol, gas air mata kembali digunakan dengan dalih pengendalian massa.

Dalih Pengendalian Massa Mengaburkan Bahaya Gas Air Mata
header Mozaik Gas Air Mata. tirto.id/Ecun

tirto.id - Pada permulaan Perang Dunia I, tepatnya tahun 1914, pasukan Prancis dan Jerman yang tengah bertempur terjebak dalam situasi buntu. Mereka berlindung dalam parit yang jaraknya tak terlalu berjauhan satu sama lain.

Karena kedua belah pihak tak ada yang berani keluar melakukan serangan, maka para perwira Prancis yang tak ikut bersembunyi di dalam parit bersiasat. Mereka diam-diam menyalurkan granat yang bukan berisi mesiu tetapi methylbenzyl bromide.

Granat tersebut lantas dilemparkan pasukan Prancis ke arah parit pasukan Jerman. Seketika asap tebal berwarna kuning kehijauan keluar.

Hal ini, sebagaimana dipaparkan Anna Feigenbaum dalam "Tear Gas: From the Battlefields of War War I to the Streets of Today" (2017), membuat "pasukan Jerman berhamburan keluar dari sarangnya, menangis tak kuasa menahan perih di mata, sesak, dan panas yang merongrong tenggorokan."

"Sempurna," ujar Kapten Joseph Clement, melihat situasi itu sembari menembaki para prajurit Jerman.

Namun karena mengandalkan arah embusan angin dan tak memiliki perlengkapan pelindung, maka saat arah angin berbalik, asap methylbenzyl bromide pun menghampiri parit pasukan Prancis.

"Semua orang terkejut dan air mata kami pun seketika menetes. Tiba-tiba, peluru yang berdesingan dari bedil pasukan Jerman terdengar sangat dekat di telinga kami," kenang Kapten Clement.

Tak sampai setahun setelah pertempuran tersebut, Jerman berhasil membuat granat gas yang lebih tokcer yang mengandung klorin. Granat gas ini digunakan Jerman pada pertempuran di Ypres, Belgia, saat melawan Prancis dan Kanada.

Berlomba Membuat Gas Air Mata

Setelah Jerman merilis granat gas yang mengandung klorin hasil racikan Fritz Haber dengan bantuan 150 ilmuwan kimia, Prancis membalasnya dengan mengarahkan 16 institusi di bidang medis guna menyempurnakan granat gas buatannya.

Langkah serupa dilakukan Inggris dengan mengerahkan akademisi/ilmuwan Oxford hingga Cambridge University. Mereka juga membuat 17,5 juta respirator untuk melindungi pasukannya.

Sementara itu, dipimpin oleh Jenderal Amos Fries, Amerika Serikat membentuk Chemical Warfare Service untuk menciptakan granat gas atau gas air mata ala Paman Sam. Institusi di bawah Kementerian Perang ini mengerahkan 1.900 ilmuwan dan uang senilai $35,5 juta (hampir setara dengan $500 miliar pada kurs saat ini).

Total, tak kurang dari 5.500 ilmuwan dunia bekerja meracik gas air mata untuk negara mereka masing-masing.

Menurut Matthew Meselson dalam "Tear Gas in Vietnam and the Return of Poison Gas" (Bulletin of the Atomic Scientists, Maret 1971), AS hanya mengeluarkan uang senilai $4 (setara dengan $32 dengan kurs saat ini) per pon (450 gram) gas air mata, dari 15 juta pon (sekitar 6.800 ton) gas air mata yang dibawa untuk menggempur Viet Cong.

Selain murah, popularitas gas air mata yang digunakan dalam perang juga karena zat kimia ini efektif. Ya, gas air mata umumnya memang tidak membunuh, tetapi benda ini menghasilkan efek kesengsaraan yang luar biasa.

Hal ini membuat musuh dalam tempo seketika dan bertahan hingga 10 menit menjadi "buta atau kehilangan indra keberadaannya" yang memudahkan untuk ditembak. Secara rancang bangun, gas air mata dibuat untuk menyerang indra secara bersamaan, menghasilkan trauma fisik dan psikologis.

"Dalam kabut kotor, pembunuhan terbesar terjadi," kenang prajurit cum sastrawan Belgia, Daan Boens dalam Gas (1918).

Dipaparkan Howard Hu dalam "Tear Gas: Harassing Agent or Toxic Chemical Weapon" (JAMA, Agustus 1989), studi metabolisme menunjukkan bahwa zat o-chlorobenzylidene malononitrile dalam gas air mata buatan AS yang diserap tubuh manusia, dapat berubah menjadi sianida di jaringan perifer (pencernaan) serta zat ini dapat mengalkilasi gugus sulfhidril dan DNA.

Artinya, ketika perang usai, prajurit yang terkena gas air mata kemungkinan besar masih dapat merasakan efek yang ditimbulkan. Maka itu, perkara ini digaungkan banyak pihak dan semakin menjadi-jadi pada konferensi di Geneva, Swiss, pada 1925, karena dianggap tak berperikemanusiaan.

Melalui kesepakatan bernama "The Geneva Protocol", yang dipertegas dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1969, negara-negara dunia sepakat tak menggunakan gas air mata (atau zat kimia apapun) untuk berperang. Kecuali Amerika Serikat yang enggan meratifikasi kesepakatan itu.

Keengganan AS meratifikasi The Geneva Protocol pada 1969 disebabkan dua hal: masih mereka manfaatkan untuk bertempur, dan telah menjadi industri bernilai miliaran dolar.

Dalih Pengendalian Massa

Tak mau warisan gas air mata dari Chemical Warfare Service yang dipimpinnya menghilang begitu saja dihantam The Geneva Protocol, Jenderal Amos Fries berkongsi dengan koleganya membangun perusahaan swasta dalam industri gas air mata.

Karena hanya Paman Sam yang masih menggunakan gas air mata untuk berperang, maka Fries melebarkan pasarnya. Barang buatannya ini tidak dinarasikan untuk berperang, tetapi sebagai pengendali massa. Senjata penghalau para demonstran yang merongrong kursi kekuasaan.

"[Dulu] gas perang, [kini] barometer peradaban suatu negara," tegas Fries.

Di masa damai antara Perang Dunia I dan II, Fries dan koleganya mengadakan acara yang menunjukkan "sisi humanis gas air mata". Ia menggandeng 200 anggota kepolisian Philadelphia dan meminta mereka menembakkan gas air mata buatannya kepada para demonstran rusuh yang telah disiapkan.

Hasilnya, tulis The New York Times kala itu, "tidak diragukan lagi, gas air mata memiliki manfaat untuk membantu polisi dalam pekerjaannya. Gas air mata terbukti dapat menaklukkan massa dan penjahat."

Tim humas bentukan Fries menyebutnya "harmless" atau "tidak berbahaya". Kesimpulan itu mereka dapat karena secara sembrono membandingkan gas air mata dengan senjata api dalam mengurai massa. Sejak saat itu, gas air mata laris manis dipesan oleh berbagai negara untuk pengendalian massa.

Merujuk The Geneva Protocol, gas air mata memang dilarang digunakan dalam perang, tetapi tak ada pelarangan dalam urusan internal negara. Artinya, tak pernah melarang digunakan penguasa untuk menyerang rakyatnya sendiri.

Terlebih, meskipun pelbagai studi menyebut gas air mata memiliki efek tak berperikemanusiaan, "tidak ada satupun negara di dunia yang tahu berapa banyak korban, baik luka maupun jiwa, gas air mata. Tidak ada yang tahu karena tidak ada yang menghitung. Faktanya, tidak ada produk hukum apapun di seluruh negara di dunia yang mewajibkan pencatatan korban gas air mata," tutur Feigenbaum.

Akibatnya, gas air mata menjadi favorit digunakan dalam berbagai perkara karena halusinasi "harmless". Ia menjadi "sistem penindasan utama ibu kota," ujar Feigenbaum.

Infografik Mozaik Gas Air Mata

Infografik Mozaik Gas Air Mata. tirto.id/Ecun

Di Timur Tengah, kala Jazirab Arab dilanda "musim semi" 2011, dari Mesir hingga Bahrain, gas air mata digunakan untuk mengurai para demonstran yang tiba di ibu kota guna menuntut keadilan pada penguasa.

Pada 2013, berdemonstrasi damai di Taman Gezi, Istanbul, untuk menuntut perubahan, para demonstran justru ditembaki kaleng gas air mata. Pada 2014, kecewa pada pemerintah yang hanya memikirkan penyelanggaraan Piala Dunia, para demonstran di Rio de Janeiro juga ditembaki gas air mata.

Nasib serupa menimpa para demonstran di Amerika Serikat yang menuntut diakhirinya kesewenang-wenangan pada kelompok Kulit Hitam. Dan yang terbaru, gas air mata digunakan aparat dalam tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang.

Merujuk paparan Bruce L. Danto dalam "Medical Problems and Criteria Regarding the Use of Tear Gas by Police" (Journal of Forensic Medical Pathol, 1987), gas air mata membuat manusia lari tunggang-langgang ke berbagai penjuru untuk menyelamatkan diri.

Menurut Howard Hu dalam "Tear Gas: Harassing Agent or Toxic Chemical Weapon" (JAMA, Agustus 1989), satu selongsong gas air mata yang ditembakkan di ruang terbuka menciptakan kabut atau asap berdiameter 6 hingga 9 meter hingga menyebabkan kepanikan. Kondisi ini dapat menyebabkan kecelakaan fatal, entah terjatuh, terinjak, atau tertabrak hingga pada jarak yang cukup jauh dari titik gas air mata ditembakkan.

Situasinya kian mengerikan ketika gas air mata ditembakkan di ruang tertutup atau terbatas.

Musababnya, gas air mata menghasilkan konsentrasi zat o-chlorobenzylidene malononitrile sebesar 2.000 hingga 5.000 miligram per meter kubik pada titik pusat ledakan. Konsentrasi zat ini tak mudah terurai karena ketiadaan tempat atau ruang yang cukup serta masa jenis yang lebih berat dibandingkan udara, yakni 188,6 gram per molekul berbanding 28,97 gram per molekul.

Baca juga artikel terkait BAHAYA GAS AIR MATA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi