Menuju konten utama

Mengenal Fase-Fase Perkembangan Antropologi

Mengenal fase-fase perkembangan antropologi, dari fase pertama hingga kelima. 

Mengenal Fase-Fase Perkembangan Antropologi
Ilustrasi Ilmu Antropologi. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Fase-fase perkembangan antropologi diawali sejak akhir abad ke-15 atauawal abad ke-16. Menurut bapak antropologi Indonesia Koentjaraningrat, fase perkembangan antropologi dibagi dalam lima fase.

Fase pertama berawal dari akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16 hingga sebelum abad ke 18.

Fase kedua terjadi sekitar pertengahan Abad ke 19, fase ketiga di sekitar awal Abad ke 20, fase keempat terjadi sesudah tahun 1930-an, dan fase kelima kira-kira sejak tahun 1970-an.

Menurut modulPengertian dan Sejarah Perkembangan Antropologi Sosial, empat fase awal perkembangan antropologi dirancang berdasarkan temuan Koentjaraningrat.

Sementara fase terakhir, dirancang berdasarkan temuan ahli antropologi lainnya. Dilihat dari perkembangannya, sejarah antropologi dibagi menjadi lima fase.

Fase-fase Perkembangan Antropologi

1. Fase pertama sebelum tahun 1800

Fase pertama sebelum tahun 1800 yaitu dimulai dengan penjajahan bangsa Eropa pada akhir abad ke-15. Kemudian, memasuki abad ke-16, para penjajah mencari rempah-rempah.

Rempah-rempah tersebut dijadikan sebagai bahan baku industri di benua Afrika, Asia, Oecenia, dan Amerika.

Dalam perjalanan para penjajah Eropa, ditemani oleh para musafir, sekretaris/pegawai pemerintah jajahan, penerjemah dan para pendeta Nasrani.

Dalam perjalanan tersebut, dengan cermat mereka memperhatikan setiap kejadian yang ada di sekitar wilayah persinggahan, terutama tradisi, adat-istiadat dan kebudayaan setempat.

Persinggahan tersebut menjadi sangat menarik karena, tradisi-tradisi di wilayah persinggahan sangat berbeda dengan tradisi di kehidupan bangsa Eropa.

Akhirnya, benda-benda yang mereka temui di tradisi-tradisi tersebut diboyong ke negeri Eropa.

Tradisi yang dijumpai tersebut seperti, kebudayaan di Afrika yang mewajibkan setiap gadis dewasa untuk melebarkan bibirnya.

Kemudian, menjulur bibir ke dagunya hingga 5 sampai 10 cm. Setelah dijulurkan, maka pemimpin tradisi tersebut akan memasukan sebuah benda berupa tanah kering menyerupai piringan kecil.

Tradisi ini dipercaya berguna agar bibir gadis yang sudah dewasa menjadi besar, dan menjulur ke dagu dalam beberapa tahun kemudian. Dengan begitu, para gadis dewasa akan terlihat lebih cantik.

Sementara itu, di Benua Asia dan Oecenai terdapat suku bangsa yang menganggap bahwa wanita cantik dan anggun itu mesti memanjangkan kedua telinganya sampai lebih dari 10 cm. Hal ini dilakukan dengan cara melobangi dan memberikan beban di telinga.

Tradisi ini dipercaya dapat membuat telinga perempuan menjadi semakin panjang, dan masih banyak lagi.

Temuan tradisi dari para penjajah, kemudian dikumpulkan dalam satu buku laporan, lalu dipresentasikan di hadapan para kaum cendekiawan di daratan Eropa.

Berdasarkan temuan tersebut, ditemukan beberapa hal. Pertama, menurut sebagian cendekiawan Eropa bangsa di luar Eropa bukanlah manusia.

Mereka menganggap bangsa di luar Eropa itu sejenis manusia liar, keturunan iblis, dan sebutan bernada miris lainya.

Temuan kedua bertolak belakang dengan temuan pertama, menurut para cendekiawan Eropa masyarakat di luar Eropa masih menunjukkan sifat aslinya sebagai manusia.

Hal ini disebabkan karena, cara piki mereka berbeda dengan cara pikir yang dimiliki oleh masyarakat Eropa.

Ketiga sebagai kaum terpelajar masyarakat Eropa, beranggapan bahwa benda-benda temuan selama dipersinggahan adalah benda-benda yang menarik. Sehingga, tidak jarang benda-benda tersebut dijadikan sebagai koleksi di beberapa museum terkenal di Eropa.

2. Fase kedua pertengahan abad ke-19

Upaya koleksi yang sudah terorganisir pada museum terkenal di Eropa, mulai menunjukkan hasil. Para kaum cendekiawan Eropa mempelajari, dan memahami catatan-catatan etnografi itu dengan cara berpikir evolusi masyarakat.

Cara berpikir evolusi masyarakat berarti, masyarakat mengalami tahap perkembangan dari tingkat paling rendah hingga paling tinggi.

Kemudian, dalam waktu yang cukup lama masyarakat akan mencapai tahap pada tingkat yang lebih kompleks.

Para cendekiawan tersebut menyimpulkan bahwa, cara berpikir paling rendah dimiliki oleh masyarakat Benua Afrika, Asia, Oecenia, dan Amerika.

Sementara masyarakat dengan tingkat perkembangan yang tinggi, dimiliki oleh masyarakat Eropa. Singkatnya, masyarakat di luar Eropa adalah masyarakat yang dipandang masih primitif, dan masyarakat di Eropa adalah masyarakat yang sudah moderen.

3. Fase ketiga permulaan abad ke-20

Fase ketiga permulaan abad ke-20 dikenal juga dengan abad keemasan bangsa-bangsa Eropa. Hal ini disebabkan karena, mereka telah berhasil memperoleh kekuasaan mutlak atas Sumber Daya Alam (SDA) wilayah di luar Eropa.

Tujuan bangsa Eropa dalam mempelajari bangsa-bangsa jajahan adalah, memahami karakteristik masyarakat, adat istiadat dan tradisinya.

Setelah mereka mempelajarinya, maka akan lebih mudah bagi mereka untuk menanamkan ideologi atau nilai-nilai yang dimiliki bangsa Eropa di bidang kebudayaan maupun akses kekuasaan dari negara jajahan.

Semua upaya ini sesungguhnya, demi keuntungan bangsa Eropa saat itu. Dengan demikian dalam fase ini dapat disebutkan bahwa antropologi mulai menjadi suatu ilmu yang berisifat praktis.

Fase ketiga ingin menegaskan bahwa, antropologi digunakan sebagai upaya untuk mempelajari masyarakat dan kebuadayaan suku bangsa di luar Eropa untuk kepentingan penjajah.

4. Fase keempat tahun 1930an

Dikutip dari modul Ruang Lingkup Ilmu Antropologi, pada fase keempat tahun 1930an dapat dikatakan, antropologi mengalami masa yang cukup matang sebagai sebuah ilmu.

Hal tersebut diperkaya dengan banyaknya bahan penelitian yang bersumber dari catatan suku bangsa terjajah.

Catatan tersebut, telah tersebar hampir di seluruh benua sleain Eropa. Dalam fase ini, antropologi sedang mengalami perubahan dunia yang cukup berarti akibat dua hal.

Pertama, meluasnya sikap anti kolonialisme setelah perang dunia II. Sikap ini bermula dari ulah bangsa kolonial sendiri.

Mereka saling memperebutkan daerah, dan negeri jajahan agar semakin mudah memperoleh bahan baku industri.

Sikap tersebut membuat dunia masuk ke fase kritis. Fase kritis itu ditunjukan dengan peristiwa bom atom di Herosima, dan Nagasaki.

Akibat dari perubahan orientasi tersebut, maka tujuan antropologi dikategorikan ke dalam tiga hal. Pertama, tujuan akademik yaitu memperoleh pengertian mengenai masyarakat manusia pada umunya.

Kedua, tujuan praktis yaitu mempelajari dan memahami keragaman masyarakat suku bangsa untuk membantu, dan membangun masyarakat suku bangsa tersebut.

5. Fase kelima sesudah tahun 1970an

Perkembangan antropologi sesudah tahun 1970an salah satunya terdapat dalam, ilmu antropologi di Uni Soviet. Antropolog Uni Soviet juga melakukan penelitian-penelitian.

Hasil dari penelitian tersebut, kemudian dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan terkait upaya membangun pengertian di antara penduduk pribumi.

Sementara itu, antropologi di Indonesia berkembang sebagai pengkajian masalah sosial budaya, serta upaya mendeskripsikan berbagai kehidupan dari berbagai suku bangsa.

Deskripsi tersebut bermula dari Sabang sampai Marauke. Hal ini bertujuan agar masyarakat bisa saling mengenal dengan lainnya.

Dilansir dari Pengantar Antropologi upaya-upaya tersebut terus dilakukan hingga kini karena masih banyak suku-suku bangsa yang jumlah anggotanya relatif sedikit, dan masih banyak suku-suku bangsa yang hidup di beberapa daerah yang terpencil.

Menurut Koentjaraningrat, ilmu antropologi di Indonesia cenderung belum mempunyai tradisi yang cukup kuat. Untuk itu, antropologi di Indonesia dapat mencontoh antropologi Meksiko, maupun Amerika.

Baca juga artikel terkait ILMU ANTROPOLOGI atau tulisan lainnya dari Ega Krisnawati

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ega Krisnawati
Penulis: Ega Krisnawati
Editor: Yandri Daniel Damaledo