Menuju konten utama

Bom Hiroshima dan Nagasaki 6 & 9 Agustus 1945: Sejarah, Kronologi

Sejarah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki 6 dan 9 Agustus 2021, jelang kemerdekaan RI.

Bom Hiroshima dan Nagasaki 6 & 9 Agustus 1945: Sejarah, Kronologi
Bom atom 'Little Boy' dijatuhkan di Hiroshima. FOTO/Getty Images

tirto.id - Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki terjadi pada Agustus 1945, menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus. Selain bagi Jepang dan Amerika Serikat (AS), pengeboman dua kota ini juga jadi peristiwa penting bagi Indonesia.

Sebelum pengeboman terjadi, ketegangan antara AS dan Jepang telah meningkat selama beberapa dekade sebelum Perang Dunia II. Jepang menduduki wilayah Cina timur, yang menyebabkan perang antara kedua negara pada 1937.

Dilansir Evening Standard, AS dan negara-negara Barat lainnya menghentikan ekspor bahan-bahan vital ke Jepang dalam upaya untuk mencegah Jepang melakukan ekspansi lebih lanjut. Jepang melihat ini sebagai tindakan agresif.

Negara-negara tersebut mencoba bernegosiasi agar Jepang mundur dari China dan AS akan mulai mengekspor bahan bakar lagi pada akhir tahun 1941, tetapi tidak ada kesepakatan persyaratan di antara keduanya.

Jepang kemudian melancarkan serangan udara di pangkalan udara AS Pearl Harbor, Hawaii pada 7 Desember 1941, menewaskan 2.403 tentara AS dan melukai 1.178 lainnya.

Serangan itu kemudian dinilai sebagai kejahatan perang karena terjadi tanpa pemberitahuan dan saat pembicaraan damai sedang berlangsung. Kedua negara menyatakan perang satu sama lain tak lama setelah serangan itu.

AS dan Jepang telah berperang selama hampir empat tahun, sejak April 1941. Konflik berdarah dan pertempuran sengit di Pasifik telah merenggut nyawa jutaan orang Jepang dan AS.

Perang di Eropa telah selesai hampir dua bulan sebelumnya, pada Mei 1945, setelah Jerman menyerah tanpa syarat. AS sedang mempersiapkan invasi darat ke Jepang, yang akan sangat sulit diperjuangkan. Setidaknya 500 ribu orang Amerika saja kemungkinan besar akan mati, menurut perkiraan pemerintah AS pada saat itu.

Pada saat yang sama, AS sedang mengembangkan pembuatan bom nuklir sejak akhir 1930-an. Bom sudah siap pada musim panas 1945. Sekutu menyerukan Jepang untuk menyerah pada akhir Juli 1945, mengancam akan terjadi "kehancuran total" jika Jepang tak menyerah.

Karena Jepang tak kunjung mengibarkan bendera putih, pada 6 Agustus 1945, sebuah bom uranium yang dijuluki Little Boy dijatuhkan di Hiroshima. Kota itu hancur, puluhan ribu orang tewas seketika dan sebanyak 146.000 orang tewas tiga bulan setelah serangan.

Banyak korban yang dilaporkan menderita kanker dan bentuk penyakit lain yang disebabkan oleh radiasi bom. Sejumlah besar bangunan hancur total atau rusak. Pihak berwenang Jepang menyadari serangan lain bisa terjadi setelah Hiroshima, tetapi memutuskan untuk bertahan daripada menyerah.

Serangan berikutnya, bom plutonium berjuluk Fat Man, jatuh di Nagasaki pada 9 Agustus. Sebanyak 80.000 orang tewas. Di kedua kota tersebut, sebagian besar orang yang meninggal adalah warga sipil.

Hiroshima dan Nagasaki dipilih sebagai target karena menjadi pusat militer dan industri. Kedua wilayah ini memasok sumber daya angkatan bersenjata Jepang, pembuatan senjata, dan teknologi militer lainnya.

Jepang menyerah pada 15 Agustus, enam hari setelah serangan di Nagasaki. Kedua kota tersebut dibangun kembali setelah perang, meskipun Hiroshima dilanda angin topan pada bulan September 1945 yang juga menyebabkan kehancuran besar.

Sekitar 145.000 orang yang selamat dari salah satu pemboman - disebut "hibakusha" dalam bahasa Jepang - masih hidup pada Maret 2019, menurut pemerintah Jepang. Peringatan telah dipasang di kedua kota untuk para korban pengeboman.

Infografik SC Little Boy dan Fat Man

Infografik SC Little Boy & Fat Man. tirto.id/Sabit

Dampak Bom Hiroshima dan Nagasaki

Menurut Science Mag, bom Hiroshima menewaskan sekitar 90.000 sampai 120.000 orang, yang meninggal baik seketika atau selama beberapa minggu dan bulan berikutnya karena cedera atau penyakit radiasi akut, akibat kerusakan sumsum tulang dan saluran usus. Bom yang meratakan Nagasaki 3 hari kemudian merenggut 60.000 hingga 70.000 nyawa.

Perkiraan jumlah kematiannya kasar karena “tidak ada mayat yang tersisa untuk dihitung di dekat hiposenter: Panas dan energi secara harfiah menguapkan orang-orang di dekatnya. Dan banyak mayat hanyut ke laut, setelah korban luka bakar yang sekarat mencari bantuan di banyak sungai di Hiroshima,” sosiolog sains Susan Lindee dari University of Pennsylvania menulis dalam bukunya tahun 1994 Suffering Made Real: American Science and the Survivors at Hiroshima.

Dalam waktu 6 minggu setelah pengeboman, tiga tim ahli AS dan dua Jepang bekerja di kedua kota untuk mempelajari dampak biologis dari radiasi. Tujuan mereka berbeda. Orang Jepang terutama berusaha memahami efek medis pada orang yang selamat. Orang Amerika ingin tahu bagaimana dan mengapa orang meninggal karena radiasi ledakan atom.

Salah satu kekhawatiran yang paling mendesak adalah kemungkinan dampak radiasi pada anak-anak penyintas. Jelas bahwa pengeboman itu berdampak pada anak-anak yang masih dalam kandungan pada Agustus 1945, mengakibatkan peningkatan jumlah bayi yang lahir dengan ukuran kepala kecil.

Radiasi pada orang dewasa menyebabkan perubahan genetik yang diwariskan dan cacat lahir pada keturunannya menunjukkan bahwa mungkin ada efek jangka panjang.

Para penyintas bom nuklir, telah lama mengalami diskriminasi karena khawatir mereka mungkin mengalami gangguan fisik atau psikologis dan bahwa anak-anak mereka mungkin mewarisi cacat genetik. Stigma telah mempengaruhi korban perempuan lebih dari laki-laki.

Peristiwa ini menjadi perdebatan di dunia, karena tetap menjadi satu-satunya bom nuklir yang digunakan dalam perang. Ada yang mengatakan kejadian ini mengakhiri Perang Dunia II lebih awal, yang akan menyebabkan lebih banyak korban di kedua belah pihak jika AS menginvasi Jepang.

Yang lain mengatakan, penggunaan bom nuklir dalam perang pada dasarnya tidak etis dan beberapa menyebut serangan itu sebagai kejahatan perang. Yang lain berpendapat ada cara yang lebih damai untuk mengakhiri perang daripada pengeboman nuklir atau invasi, seperti blokade militer di Jepang.

Bom-bom itu membuat bayangan panjang selama paruh kedua abad kedua puluh, dengan Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet didominasi oleh kekhawatiran bahwa salah satu negara dapat menyerang yang lain dengan bom nuklir.

Kaitan Bom Hiroshoma dan Nagasaki dengan Indonesia

Pada 10 Agustus 1945 Sutan Syahrir mendapat info melalui radio bahwa Jepang telah kalah setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom. Momen inilah yang dimanfaatkan Indonesia untuk mempercepat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Dilansir situs web Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), pada 12 Agustus 1945, Sukarno, Hatta, dan Radjiman diterbangkan ke Dalat, Vietnam untuk melakukan perundingan kemerdekaan dengan Marsekal Terauchi.

Dengan menyerahnya Jepang, akhirnya para pemuda mendorong Sukarno dan Hatta untuk segera melakukan proklamasi lebih cepat. Untuk itu para pemuda yang dimotori oleh Chaerul Saleh, Sukarni dan Wikana membawa Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok.

Malam harinya, Sukarno dan Hatta kembali ke Jakarta dan menuju rumah Laksamana Maeda untuk melakukan penyusunan proklamasi.

Penyusunan proklamasi dilakukan oleh Sukarno, Muhammad Hatta, dan Achmad Subarjo. Penyusunan ini disaksikan oleh Sukarni, B.M Diah, Sudiro dan Sayuti Melik. Setelah itu naskah proklamasi di ketik oleh Sayuti Melik.

Pada pagi harinya, 17 Agustus 1945 pukul 10.00, di Jalan Pegangsaan Timur No.56, proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Sukarno.

Bom Nuklir di Perang Dunia

Sebelumnya, Wali Kota Hiroshima, Kazumi Matsui, dalam perayaan yang sama telah meminta kepada pemerintah Jepang agar ikut menandatangani perjanjian PBB tersebut. Matsui mengungkapkan keprihatinan dan keresahannya atas peristiwa yang menimpa Hiroshima dan Nagasaki pada 74 tahun silam.

"Saya menyerukan kepada pemerintah [Jepang] sebagai satu-satunya negara yang mengalami serangan nuklir dalam perang untuk memenuhi permintaan para korban bom atom agar meneken dan meratifikasi perjanjian TPNW," harap Matsui.

Matsui juga mengimbau kepada generasi muda agar tidak sekadar mengenang kejadian tersebut, juga kekejaman perang, sebagai peristiwa sejarah. Namun, tandas Matsui, anak-anak muda Jepang harus meyakini bahwa kejadian memilukan itu memang benar-benar pernah terjadi dan menimpa tanah kelahiran mereka sendiri.

Selain itu, Matsui menyerukan agar para pemimpin dunia datang langsung ke kota-kota yang pernah terkena bom nuklir, termasuk Hiroshima atau Nagasaki, supaya mereka tahu apa yag sebenarnya telah terjadi.

Acara di Hiroshima ini diperingati dengan mengheningkan cipta untuk kerabat yang menjadi korban bom atom pada pukul 8.15 pagi waktu setempat. Peringatan ini juga dilakukan beberapa jam setelah Korea Utara meluncurkan rudal balistik dalam rangkaian demonstrasi senjata yang dilakukan negara itu.

Bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat ke Hiroshima pada 6 Agustus 1945 menewaskan 140.000 orang. Bom serupa juga menimpa Nagasaki tiga hari kemudian dan memakan korban 70.000 meninggal dunia. Ini belum termasuk dampak lanjutannya dan efek trauma yang dialami para saksi sejarah.

Dibomnya Hiroshima dan Nagasaki menegaskan kekalahan Jepang dari Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya yang menjadi bagian dari Perang Dunia Kedua. Menyerahnya Jepang juga berdampak kepada kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 kendati tak lama kemudian Belanda yang membonceng pasukan Sekutu datang lagi ke Indonesia.

Baca juga artikel terkait PENGEBOMAN HIROSHIMA DAN NAGASAKI atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Yulaika Ramadhani