Menuju konten utama

Belajar dari Asia dan Afrika: Dampak Ekonomi Kekuasaan Militer

Negara-negara yang dikuasai junta militer cenderung memiliki angka GDP per kapita dan skor Indeks Kebebasan Ekonomi yang rendah dibanding negara demokrasi.

Belajar dari Asia dan Afrika: Dampak Ekonomi Kekuasaan Militer
Header Decode Saat Militer Berkuasa Ekonomi Negara Jadi Nelangsa. tirto.id/Fuad

tirto.id - Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang resmi disahkan pada Kamis (20/3/2025) langsung menuai gelombang penolakan di tengah masyarakat sipil. Perubahan aturan ini memicu kekhawatiran karena perluasan kewenangan militer dianggap berisiko terhadap demokrasi dan stabilitas ekonomi. Aksi protes mulai dari demonstrasi langsung di jalan hingga aksi damai digelar menuntut pemerintah membatalkan revisi aturan ini.

Salah satu pasal kontroversial dalam beleid tersebut adalah diperbolehkannya prajurit TNI aktif menempati jabatan sipil tanpa harus pensiun terlebih dahulu. Tak hanya itu, jumlah kementerian/lembaga (K/L) yang dapat diisi oleh personel militer aktif juga ditambah dari 10 menjadi 14.

Sejumlah warga menyuarakan keresahannya. Satria (25), seorang jurnalis di media nasional, mengaku prihatin dengan dampak ekonomi dari perluasan peran militer ini.

“Perubahan ini menimbulkan kekhawatiran akan dominasi militer, reduksi supremasi sipil, dan dampak negatif terhadap ekonomi,” ujarnya saat ditemui Tirto pada Kamis (25/4/2025).

Unjuk rasa terkait revisi UU TNI di DPR

Pengunjuk rasa menarik tali untuk merobohkan pagar saat aksi terkait revisi UU TNI di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (20/3/2025). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/tom.

Pria 25 tahun itu khawatir, jika militer terlalu berkuasa maka dapet membuat investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) menurun, inefisiensi sumber daya, hingga peningkatan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sejumlah riset dan sejarah juga mencatat, pada masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto, ekonomi nasional pada akhirnya mengalami penurunan akibat prajurit TNI yang ditempatkan di jabatan sipil jumlahnya terlalu banyak.

“Persaingan lapangan pekerjaan juga semakin bertambah, katakanlah ASN (Aparatur Sipil Negara) dan pegawai BUMN harus ketambahan dengan keterlibatan militer di dalamnya,” kata Satria.

Selain itu, dia juga menggarisbawahi aturan terkait penambahan usia pensiun TNI menjadi 65 tahun. Menurutnya, aturan inilah yang berpotensi membuat APBN tekor.

Di sisi lain, kekhawatiran masyarakat juga muncul kalau-kalau prajurit TNI aktif maupun purnawirawan memegang kendali atas kementerian teknis yang membidangi ekonomi, seperti Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, dan sebagainya. Sebab, jika menilik latar belakang TNI yang berasal dari pendidikan militer, bidang keilmuan yang dimiliki berpotensi tak sesuai dengan jabatan yang diemban.

“Takutnya kalau keputusan terkait kebijakan ekonomi dilakukan oleh TNI, justru malah bikin kebijakan yang nggak sesuai atau lebih pro ke TNI itu sendiri. Kebijakan ekonomi itu sangat krusial dan penting sih. Jadi, kalau dikendalikan sama yang nggak di bidangnya, dikhawatirkan terjadi kekacauan perekonomian di masyarakat,” tutur Siti Masitoh (27), kepada Tirto, Rabu (23/4/2025), sembari mengungkapkan kekhawatirannya terhadap masa depan negeri ini.

Dengan berbagai kekhawatiran yang ditimbulkan di masyarakat, menurut Afifah Nurdhifa (25), seharusnya pemerintah fokus mengatur fungsi TNI untuk menjaga keamanan negara dan bangsa saja. Apalagi, pertumbuhan ekonomi sebuah negara berkorelasi erat dengan pertahanan dan keamanan dari negara tersebut.

Namun, benarkah di balik kekuasaan militer yang terlalu luas di sebuah negara, ada ekonomi yang terdampak di belakangnya?

Gelombang Kebangkitan Rezim Otoriter

Gelombang baru kekuasaan militer mengguncang demokrasi di sejumlah negara, dalam versi ekstrem kekuasaan militer terjadi bahkan melalui kudeta. Berdasarkan pengamatan Tirto, tren kudeta militer, atau pengambilalihan kekuasaan secara paksa oleh militer, meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Di sejumlah negara dari Afrika hingga Asia Tenggara, termasuk Myanmar, pemerintahan dijalankan oleh junta militer dengan sistem militeristik.

Sebuah penelitian berjudul "Military Rule" yang dipublikasikan di jurnal Annual Review of Political Science (2014) menyebut istilah junta militer sendiri merujuk pada sistem pemerintahan yang dipimpin oleh sekelompok pemimpin militer.

Di Afrika misalnya. Dalam kurun lima tahun terakhir saja, tercatat telah terjadi sejumlah kudeta militer yang terjadi, mulai dari Mali, Burkina Faso, Gabon, Guinea, Niger, dan Sudan. Penelitian menunjukkan bahwa fenomena ini dipengaruhi oleh berbagai faktor struktural, politik, dan sosial-ekonomi yang saling terkait.

Orkuma Anyoko-Shaba (2022) dalam studi berjudul “The Resurgence of Military Coups d’état in African Politics and the Reversal of Democracy” menyebut ketidakstabilan ekonomi dan sosial, kelemahan institusi sipil dan demokrasi, disertai kuatnya peran militer dalam struktur politik, menjadi faktor utama meningkatnya peristiwa kudeta militer di Afrika.

Kudeta militer di Afrika memang marak terjadi sejak masa lampau. Sejumlah studi menunjukkan, pemerintahan junta militer di Afrika berdampak negatif di bidang ekonomi negara-negara yang dikuasai militer tersebut.

Studi berjudul “African Military Coups d'État and Underdevelopment: a Quantitative Historical Analysis" (1984) misalnya, menunjukkan bahwa negara-negara yang mengalami kudeta militer cenderung memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang stabil secara politik.​

Senada, penelitian terbaru yang dipublikasikan Habu Mohammed (2022) berjudul "The Resurgence of Military Coups in Africa and the Role of the African Union (AU)" menyoroti bagaimana ketidakmampuan Uni Afrika untuk secara efektif menangani kudeta dapat memperburuk kondisi ekonomi dan politik di negara-negara yang terlibat.

Myanmar, PDB Merosot setelah Kudeta

Selain di Afrika, kudeta militer juga terjadi di Asia Tenggara tepatnya di Myanmar. Tepat pada tanggal 1 Februari 2021 junta militer Myanmar berhasil mengambil alih kendali negara. Kudeta ini menandai berakhirnya satu dekade transisi demokrasi dan mengembalikan negara tersebut ke pemerintahan militer.

Mereka menggulingkan pemerintah yang dipilih secara demokratis dengan menangkap Kanselir Aung San Suu Kyi, Presiden Myanmar Win Myint, dan beberapa tokoh senior Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dalam sebuah penggerebekan dini hari.

Kudeta Jenderal Min Aung Hlaing terhadap pemerintahan Aung San Suu Kyi merupakan kali kedua keberhasilan militer melengserkan pemerintahan sipil dalam sejarah politik modern Myanmar—dulu bernama Burma. Peristiwa serupa terjadi pada 1962, ketika Jenderal Ne Win merebut mandat pemerintahan dari Perdana Menteri U Nu yang berkuasa sejak 1948, tak lama setelah Burma merdeka dari Inggris.

Singapore ASEAN Summit Suu Kyi

Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi menyampaikan pidato utama pada pertemeuan KTT ASEAN Bisnis dan Investasi 2018 secara paralel di Singapura, Senin, 12 November 2018. Dua puluh kepala negara berkumpul di Singapura untuk pertemuan KTT ASEAN ke 33. AP Photo / Bullit Marquez

Pada Agustus 1988, Myanmar kembali diguncang oleh protes massal yang menyebabkan penggulingan Jenderal Ne Win dan posisinya kembali digantikan oleh junta militer yang baru. Setelah serangkaian protes yang dikenal sebagai Pemberontakan 8888 itu, Myanmar kembali dipimpin junta militer, dan mereka kembali berkuasa selama 22 tahun.

Baru pada tahun 2011 Myanmar mulai melakukan serangkaian reformasi secara bertahap, dan mereka mulai melakukan pemilihan umum secara bebas pada tahun 2015. Pemilu tersebut membawa Suu Kyi--putri seorang pahlawan kemerdekaan yang terbunuh--ke tampuk kekuasaan. Pemilu ini dianggap sebagai pemilihan umum paling bebas dalam 25 tahun terakhir.

Setelah dipimpin junta militer, ekonomi Myanmar yang perlahan membaik, secara signifikan mengalami penurunan. Setahun sebelum kudeta terjadi, pada 2020, produk domestik bruto (PDB) Myanmar tercatat sebesar 79,01 miliar dolar Amerika Serikat (AS) dan tumbuh 5,25 persen secara tahunan (year on year/yoy). Namun, pada 2021, PDB Myanmar anjlok 16,03 persen menjadi 66,35 miliar dolar AS. Perlambatan ekonomi berlanjut hingga 2022, di mana pada saat itu PDB Myanmar hanya mencapai 62,25 miliar dolar AS.

Di sisi lain, komitmen investasi asing yang didapat pemerintahan Presiden Win Mynt baru mulai terlihat realisasinya pada tahun 2021. Sehingga, pada tahun pertama, pemerintahan kembali dipegang junta militer, investasi asing Myanmar tumbuh mencapai 2,07 miliar dolar AS, dari tahun sebelumnya yang senilai 1,91 miliar dolar AS. Namun, pada 2022, realisasi investasi asing di negara asal suku Rohingya ini turun drastis menjadi hanya 1,24 miliar dolar AS.

Pada 2023, ekonomi Myanmar membaik, dengan PDB tumbuh 4,12 persen menjadi 64,82 miliar dolar AS meski belum bisa kembali seperti masa pra-kudeta. Pun, investasi asing yang masuk juga mengalami kenaikan, menjadi 1,52 miliar dolar AS.

Menurut Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, perbaikan ekonomi Myanmar yang terjadi setahun belakangan bukan disebabkan oleh kepemimpinan junta, melainkan masuknya investasi besar dari Cina, setelah junta militer menolak tawaran investasi dari AS karena dinilai lebih merepotkan. Dengan tawaran investasi besar, Cina meminta pemerintah Myanmar menyediakan pekerja murah, yang kemudian disebut Julius sebagai ‘bundling investasi’ itu.

“Ingat ini selalu strategi Cina. Dia butuh bundling untuk pekerja, jadi investment-nya di-bundling dengan pekerja. Pekerjanya udah pasti pakai pekerja murah, yang diekspor dari negaranya, di-combine sama warga lokal. Jadi Rohingya-Rohingya itu sekarang banyak yang kerja. Meskipun pekerjaannya pekerjaan yang tanda kutip informal dan kasar,” kata dia, saat dihubungi Tirto, Selasa (22/4/2025).

Thailand, PDB juga Anjlok Pasca Kudeta

Selain Myanmar, Thailand juga memiliki sejarah panjang kudeta militer. Pada 2006 misalnya, untuk mengakhiri kepemimpinan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang dituduh telah melakukan korupsi, angkatan bersenjata turun tangan dengan mencabut konstitusi, membubarkan pemerintahan Thaksin dan menjanjikan reformasi politik. Ketika kudeta berlangsung, Thaksin dan beberapa menteri lainnya sedang berada di New York.

Para pemimpin kudeta dilaporkan dekat dengan Raja Bhumibol, dan banyak tentara mengenakan pita kuning yang mengacu pada keluarga kerajaan.

Kemudian, kudeta kembali terjadi di tahun 2014. Rencana pemilu lebih awal yang diusulkan masyarakat yang mendukung monarki dan antipemerintah Shinawatra melalui gerakan seperti People’s Democratic Reform Committee (PDRC) harus batal karena kudeta militer oleh Dewan Penjaga Ketertiban dan Perdamaian Nasional Thailand (National Council for Peace and Order/NCPO) yang dipimpin oleh Jenderal Prayuth Chan-o-Cha. Setelah itu, Thailand berada di bawah rezim militer hingga tahun 2019.

Saat dipimpin militer, perekonomian Thailand cenderung fluktuatif. Pada 2006, ketika militer mengambil alih pemerintahan dari tangan Thaksin, PDB Thailand mengalami pertumbuhan hingga 5 persen, menjadi 221,76 miliar dolar AS, dari tahun sebelumnya yang hanya senilai 189,32 miliar dolar AS. Namun, ketika kudeta kembali terjadi di 2014, PDB Thailand anjlok menjadi 407,34 miliar dolar AS, dengan pertumbuhan sebesar 1 persen dan pada 2015 PDB negeri gajah putih itu tercatat hanya sebesar 401,3 miliar dolar AS.

Lalu, apa yang bisa dipelajari Indonesia?

Belajar dari Orde Baru dan Myanmar

Di Indonesia, kuatnya peran militer terjadi pada 32 tahun masa pemerintahan Presiden Soeharto. Melalui konsep dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), sejak 1965-1998, tentara memainkan peran kunci sebagai tulang punggung negara. Sehingga, tak heran kalau para prajurit TNI bisa menjadi apa saja, menduduki jabatan publik di kementerian-kementerian strategis maupun lembaga negara lainnya.

Batik di Masa Orde Baru

Presiden Indonesia Suharto (kiri) menyambut Presiden Filipina Fidel Ramos, berjabat tangan sebelum sesi pembukaan KTT informal para pemimpin ASEAN di Jakarta, Sabtu, 30 November 1996. (AP Photo/Muchtar Zakaria)

Tak bisa dipungkiri, pada kepemimpinannya, yang sarat akan iklim militerisme, Soeharto, yang juga merupakan seorang jenderal militer, sempat berhasil membawa Indonesia ke masa keemasan, di mana Indonesia sempat mencapai swasembada beras pada tahun 1984 dan sempat menjadi produsen minyak dan gas yang diperhitungkan dunia pada rentang 1970-1988.

Bahkan, pada 1980, PDB Indonesia sempat melonjak hingga hampir 10 persen, tertinggi sejak 1968, bahkan hingga 2024, menukil data World Bank. PDB Indonesia saat itu berjumlah 72,48 miliar dolar AS.

Di tahun yang sama, PDB per kapita mencapai 486,6 dolar AS, setelah sebelumnya hanya tumbuh sebesar 7,14 persen dengan PDB per kapita senilai 353,4 dolar AS.

Namun, pengamat politik yang juga dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan FHISIP Universitas Terbuka, Insan Praditya Anugrah, menyebut kemakmuran ekonomi di Indonesia pada awal-awal masa pemerintahan orde baru bukan karena pengaruh dwifungsi militer yang terjadi saat itu.

"Militer tentu bukan faktor yang menyebabkan ekonomi Orde Baru memiliki ekonomi yang baik. Ekonomi Indonesia maju pada 1970-1988 karena kita mengekspor minyak dan gas ketika terjadi embargo minyak oleh negara-negara Arab dan Asia Barat lainnya," ujar Insan saat dihubungi Tirto, Rabu (23/4/2025).

Sebaliknya, kehadiran dwifungsi militer pada masa itu justru menghambat bisnis dan investasi yang masuk di Indonesia. Investasi asing yang masuk ke Indonesia baru mulai bisa diperhitungkan sejak 1970 karena nilainya yang sudah mulai menanjak tinggi.

Berdasar catatan World Bank, Penanaman Modal Asing (PMA) baru sebesar 1,6 persen terhadap PDB dan melonjak menjadi 3,6 persen terhadap PDB pada 1973. Sayangnya, pertumbuhan PMA hanya terjadi sekali pada tahun 1975, di mana saat itu modal asing yang masuk ke Tanah Air mencapai 4,2 persen dari PDB.

Setelah itu, investasi asing terus mengalami penurunan bahkan sempat terkontraksi hingga -0,3 persen terhadap PDB pada 1998, masa dimana reformasi terjadi dan Soeharto diturunkan secara paksa dari pemerintahannya. Barangkali, tanpa intervensi militer di ranah bisnis, kemungkinan besar ekonomi Indonesia akan lebih bertumbuh dan distribusi kemakmuran lebih merata.

Insan menambahkan, faktor lain yang membuat stabilitas nasional dan ekonomi Indonesia tumbuh pada saat itu adalah karena sikap Indonesia yang memposisikan diri dengan tepat dalam konteks perang dingin.

“Sikap kita yang menjauhi blok timur dan membina hubungan baik dengan Amerika Serikat beserta sejumlah konsesi bisnis dengan Amerika seperti Freeport membuat kita mencapai stabilitas tanpa rongrongan pihak luar,” ujarnya.

Dalam konteks saat ini, Insan berpendapat, jika UU TNI membolehkan militer masuk dalam posisi strategis di bisnis, maka profesionalisme dan pengalaman yang kurang justru akan menghambat investasi asing kembali masuk dan membawa Indonesia kepada kemunduran.

“Unsur pengelolaan kekerasan dalam tubuh militer akan membuat orang ragu untuk berinvestasi dan tidak nyaman karena organisasi militer apabila menangani bisnis akan cenderung membuat keputusan-keputusan yang dipaksakan didasarkan pada kepentingan kelompok militer," ujarnya.

Terkait adanya potensi krisis ekonomi yang terjadi lagi saat militer menjabat, Insan menyebut penyebab terjadinya krisis ekonomi dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti kondisi ekonomi global, perankan, penarikan dana investor asing dan lain-lain.

"Yang jelas, militer dalam bisnis maupun politik pada era sekarang akan membuat investor asing ragu untuk menanamkan modalnya di Indonesia," ujarnya.

SKEMA INSENTIF INVESTASI SEKTOR INFRANSTUKTUR

Sejumlah pekerja menyelesaikan proyek infrastruktur transportasi dengan latar belakang pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Kamis (4/7/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc.

Sementara itu, Julius Ibrani dari PBHI, menilai kehadiran UU TNI memang tak serta merta merubah sistem pemerintahan negara menjadi sistem pemerintahan militeristik. Menurutnya, konstitusi dan sistem pemerintahan negara Indonesia tetap akan demokrasi, namun satu hal yang membedakan adalah ada celah bagi militer dalam mengisi ruang demokrasi tersebut.

Ia mencontohkan situasi ini dengan apa yang terjadi di Filipina, terutama saat kepemimpinan Rodrigo Duterte. Meski Filipina merupakan negara demokrasi, namun sejumlah jabatan penting di pemerintahan negara tersebut diisi oleh jenderal-jenderal militer.

Julius melihat kesamaan dari kondisi yang terjadi di Filipina, saat sejumlah jabatan penting di pemerintahan negara tersebut diisi oleh militer, dengan apa yang terjadi di Myanmar dalam beberapa tahun terakhir: ekonomi kedua negara tersebut sama-sama terpuruk

“Filipina itu mengalami economic downfall. Pertamanya soal investment gitu ya. Soal usaha, investment, dan segala macam. Angka kemiskinan tinggi yang menyebabkan kriminalitas di jalan termasuk prostitusi tinggi,” imbuh dia.

Terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai tidak ada satupun hari ini negara yang kemudian dipimpin junta militer bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik.

“Myanmar paling dekat dengan kita. Kemudian apa Thailand. Jadi Korea Utara. Jadi enggak ada ceritanya negara yang kemudian bertumbuh pada militerisme itu bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” ujar Bhima saat dihubungi Tirto, Selasa (22/4/2025).

Aksi Protes Thailand

Pendukung monarki Thailand memegang foto mendiang Raja Bhumibol Adulyadej dan Ratu Ibu Sirikit di dekat Monumen Demokrasi tempat pengunjuk rasa anti-pemerintah berkumpul Minggu, 16 Agustus 2020 di Bangkok, Thailand. (Foto AP / Sakchai Lalit)

Bhima menambahkan masuknya militer ke ruang sipil berisiko menurunkan governance atau keterbukaan tata kelola yang baik. Sementara, perusahaan-perusahaan internasional seperti LG atau Hyundai memiliki komitmen untuk tidak berinvestasi di negara yang governance atau tata kelola pemerintahannya buruk.

“Itu aja sudah sangat kontradiksi kan. Mereka akan memilih basis produksi, oke Indonesia pasarnya besar. Tapi sebagai basis produksi belum tentu,” ujarnya

Bhima khawatir, jika militer mengambil peran lebih banyak dalam pemerintahan, utamanya di bidang-bidang ekonomi, investor-investor lainnya, terkhusus dari Korea Selatan akan undur diri dari Indonesia. Sebab, pada awal tahun ini Presiden Yoon Suk-yeol resmi dimakzulkan usai melampaui batas hukum dan salah perhitungan politik menyatakan darurat militer sepihak pada Desember 2024.

KEDATANGAN PRESIDEN KOREA SELATAN DI BALI

Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol (kiri) bersama istri Kim Keon Hee (kanan) tiba di terminal VVIP I Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali, Minggu (13/11/2022). ANTARA FOTO/Media Center G20 Indonesia/Galih Pradipta/nym.

Lebih penting dari itu, dominasi militer juga dinilai akan menurunkan keterbukaan dan tata kelola yang baik pada pemerintahan maupun lembaga yang dipimpinnya. Padahal, perusahaan-perusahaan kelas kakap seperti LG, Hyundai dan sebagainya berkomitmen untuk berinvestasi hanya di negara-negara dengan tata kelola pemerintahannya baik.

“Ada lagi gini, banyak program-program yang diarahkannya pada ketahanan militer, ketahanan pertahanan. Dibandingkan dengan tujuan pembangunan ekonomi yang lebih inklusif, yang lebih targeted. Nah, ini yang membuat juga banyak perusahaan asing kemudian ragu. Ya dilihatnya di pasar modal gitu kan, (investor) nasional dalam jumlah yang cukup besar,” sambung Bhima.

Selain itu, Bhima juga menilai pemerintah salah langkah. Sebab, alih-alih membuat terobosan kebijakan ekonomi yang tepat, pemerintah justru seolah menjawab situasi ekonomi yang cenderung melambat dengan mengesahkan revisi UU TNI.

Dengan ini, banyak pelaku usaha dan investor yang melihat bahwa situasi ekonomi yang mulai memburuk, lantas diredam menggunakan kekuatan militer. Padahal, ekonomi terpusat atau ekonomi komando rentan membuat investor takut untuk masuk dan berinvestasi ke sebuah negara.

“Terus ini juga terkonfirmasi dengan anggaran-anggaran pertahanan keamanan itu tidak dilakukan efisiensi besar-besaran. Jadi kan pemerintah mempersiapkan yang terburuk nih, tapi dihadapinya dengan militer. Itu bacaannya,” tuturnya.

Bhima menegaskan, jika pemerintah ingin membuat ekonomi Indonesia terus berjalan dan berkelanjutan, caranya hanyalah dengan melibatkan orang yang profesional di bidangnya masing-masing, mengedepankan meritokrasi - sistem atau prinsip pengelolaan sumber daya manusia yang didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, potensi, dan kinerja, serta integritas dan moralita, dan mengerti persoalan yang tengah dihadapi.

“Kalau mau program berjalan cepat, bukan militer yang didorong untuk masuk ke program-program ekonomi, program pembangunan, salah besar. Tapi pelibatan meritokrasi, profesional, yang memang mengerti persoalan,” tegas dia.

Pemerintah Jamin Ekonomi Berjalan Baik

Di Indonesia sendiri tidak terjadi kudeta militer. Namun perluasan kewenangan militer masih dikhawatirkan dapat berdampak terhadap kondisi ekonomi nasional.

Merespons hal tersebut, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan memastikan bahwa pengesahan UU TNI tidak akan membawa dampak buruk pada perekonomian nasional. Dia pun memberikan contoh konkrit melalui dirinya sendiri yang merupakan purnawirawan TNI, namun tetap bisa menjabat sebagai pimpinan lembaga ekonomi dan memastikan lembaga yang dipimpinnya berjalan dengan baik.

Presiden Prabowo Subianto juga membantah revisi UU TNI merupakan pintu masuk menuju dwifungsi TNI. Sebab, beleid ini hanya mengakomodir perpanjangan masa purna tugas prajurit TNI. Kemudian, UU TNI juga menjadi penting sebagai upaya pengembangan internal organisasi.

"Karena itu, saya tidak akan mengkhianati reformasi,” kata Prabowo di hadapan sejumlah pemimpin redaksi dari tujuh media di kediaman pribadinya di Hambalang, Bogor, Minggu (6/3/2025).

Lebih lanjut, Prabowo menjelaskan, masalah utama dalam pengembangan organisasi TNI adalah karena masa tugas yang cukup singkat. Alhasil, seringnya pergantian panglima TNI karena masa usia pensiun yang terbatas pun terjadi.

Lebih penting, sebagai purnawirawan jenderal, Ketua Umum Partai Gerindra itu juga mengaku menjadi salah satu bagian yang turut berupaya mengembalikan TNI ke barak di era reformasi. Oleh karenanya, dia berjanji tidak akan mengkhianati janji reformasi seperti tudingan pengembalian dwifungsi TNI.

"Saudara bisa membuka catatan sejarah dan membaca saya adalah bagian dari ABRI yang menghendaki perubahan dan mendukung reformasi," ujar dia.

Karenanya, ia lantas meminta seluruh prajurit TNI aktif untuk mundur dari segala bentuk jabatan di luar 16 kementerian dan lembaga yang telah diatur, termasuk bagi mereka yang saat ini ada di dalam jabatan di perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dus, yang boleh mengisi jabatan di K/L dan perusahaan BUMN pun hanya pensiunan TNI.

"TNI aktif tidak bisa masuk BUMN. Yang boleh hanya pensiunan TNI. Pensiunan TNI adalah warga sipil juga. Jika sudah sipil, tidak boleh ada dikotomi TNI atau bukan TNI," tegas Prabowo.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar & Qonita Azzahra

tirto.id - Periksa Data
Penulis: Alfitra Akbar & Qonita Azzahra
Editor: Farida Susanty