tirto.id - Situasi di negara Myanmar usai junta militer melakukan kudeta pada awal Februari lalu belum sepenuhnya mereda. Berdasarkan laporan terbaru, lebih dari 60 pengunjuk rasa tewas dan 1.900 orang telah ditangkap sejak para jenderal melakukan kudeta yang disertai dengan penangkapan para pemimpin sipil termasuk Penasihat Negara Aung San Suu Kyi.
Informasi yang berkaitan dengan itu pun pelan-pelan terkuak. Baru-baru ini, junta militer Myanmar dilaporkan membayar seorang pelobi keturunan Israel-Kanada bernama Ari Ben-Menashe untuk membantu menjelaskan kondisi sebenarnya terkait kudeta kepada Amerika Serikat dan beberapa negara lain.
Sebagaimana dilaporkan Antara, Rabu, 10 Maret 2021, pelobi itu akan dibayar sebesar 2 juta dolar AS (atau setara Rp28,8 miliar). Dugaan ini terkuat dalam dokumen-dokumen yang diajukan ke Departemen Kehakiman Amerika Serikat.
Ari Ben-Menashe memiliki perusahaan bernama Dickens & Madson Canada. Berdasarkan sebuah perjanjian konsultasi, mereka akan mewakili junta militer Myanmar di Washington untuk menjelaskan tentang kudeta.
Selain itu, mereka juga akan melobi beberapa negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Israel dan Rusia, dan badan-badan internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Masih menurut isi perjanjian itu, selain membantu menjelaskan tentang situasi di Myanmar, perusahaan milik Ari Ben-Menashe akan merancang dan pelaksanaan kebijakan untuk pembangunan yang menguntungkan Republik Persatuan Myanmar.
Dokumen yang berisi perjanjian itu sudah diserahkan pada Senin, 8 Maret lalu kepada Departemen Kehakiman AS sebagai bagian dari kepatuhan terhadap Undang-Undang Pendaftaran Agen Asing di AS dan dipublikasikan secara online.
Terkait dengan kabar tersebut, seorang juru bicara junta militer Myanmar tidak menjawab panggilan telepon saat Reuters mencoba untuk mengonfirmasi.
Pengakuan Seorang Pelobi Ben-Menashe
Kepada Reuters, Ben-Menashe mengaku mendapat tugas dari junta militer Myanmar untuk meyakinkan Amerika Serikat bahwa para jenderal ingin menjauh dari Cina dan mendekatkan diri dengan negara-negara Barat.
Para jenderal Myanmar, menurut pengakuan Ben-Menashe, ingin memukimkan kembali warga Muslim Rohingya yang melarikan diri dari serangan militer pada 2017. Saat itu, PBB menuduh para jenderal Myanmar terlibat dalam aksi genosida.
"Sangat tidak masuk akal bahwa dia bisa meyakinkan Amerika Serikat tentang narasi yang dia usulkan," kata John Sifton, direktur advokasi Asia di Human Rights Watch.
Selain itu, dokumen lain yang diserahkan oleh Ben-Menashe juga memperlihatkan bahwa perjanjian itu sudah disepakati oleh menteri pertahanan dari junta militer Myanmar. Disebutkan pula, junta militer akan membayar perusahaan Dickens & Madson Canada sebesar dua juta dolar AS.
Departemen Keuangan AS dan pemerintah Kanada sudah memberikan sanksi kepada Jenderal Mya Tun Oo dan jenderal tinggi lainnya. Namun, dokumen itu menyebutkan bahwa pembayaran akan dilakukan "jika diizinkan secara hukum".
Kepada Reuters, sejumlah pengacara menyatakan Ben-Menashe bisa jadi melanggar aturan sanksi terhadap Myanmar. "Sepanjang dia memberikan layanan kepada pihak-pihak yang terkena sanksi dari Amerika Serikat tanpa izin, itu akan tampak sebagai pelanggaran hukum AS," kata Peter Kucik, mantan penasihat senior tentang sanksi di Departemen Keuangan AS.
Atas hal itu, Departemen Keuangan AS menolak memberikan klarifikasi. Namun, Ben-Menashe mengaku sudah menerima nasihat hukum bahwa dia akan membutuhkan lisensi dari Kantor Pengawasan Aset Asing (OFAC) Departemen Keuangan AS dan pemerintah Kanada untuk menerima pembayaran tersebut.
Akan tetapi, dia mengaku tidak akan melanggar hukum dalam upaya mewakili junta militer Myanmar untuk melobi. "Ada masalah teknis di sini, tetapi kami akan menyerahkannya kepada pengacara dan OFAC untuk menanganinya," katanya, seraya menambahkan bahwa pengacaranya telah menghubungi pejabat Departemen Keuangan AS.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Iswara N Raditya