tirto.id - Thailand yang menganut sistem pemerintahan monarki konstitusional adalah negara yang paling sering dilanda kudeta militer sejak revolusi 1932 yang mengakhiri monarki absolut.
Revolusi Siam 1932 adalah titik balik dalam sejarah Thailand ketika kelompok kecil perwira militer yang dikenal sebagai “Four Musketeers” menggulingkan Raja Prajadhipok. Itu mengakhiri hampir tujuh abad kekuasaan monarki absolut. Revolusi tersebut menandakan berdirinya monarki konstitusional dan Thailand menyusun konstitusi baru sebagai sebuah negara modern.
Dihimpun dari The Washington Post, kudeta pertama dimulai saat Perdana Menteri Thailand pertama dijabat oleh Phraya Manopakorn Nititada, pemimpin Partai Rakyat. Belum genap setahun atau tepatnya baru 358 hari, pada 1933 Phraya Manopakorn dikudeta militer oleh Phraya Phahonphonphayuhasena, politikus sekaligus pemimpin militer Thailand saat itu. Phahon menjadi PM Thailand kedua dan menjabat selama lima tahun.
Berselang 14 tahun, Laksamana Muda Thawan Thamrongnawasawat yang menjadi PM Thailand ke-8 dikudeta militer oleh Jenderal Besar Phin Choonhavan pada 1947. Thawan dituduh terlibat skandal korup. Phin hanya memimpin Thailand dua hari dan menyerahkan kursi Perdana Menteri kepada Khuang Aphaiwonh, pendiri Partai Demokrat. Sebagai gantinya, peran militer menguat dalam politik Thailand era itu.
Ketika Raja Bhumibol Adulyadej berada di Lausanne, Swiss pada 1951, sekelompok militer melakukan kudeta dengan cara membubarkan parlemen dan mengembalikan konstitusi tahun 1932. Tujuannya, untuk mendepak peran sipil di lingkungan pemerintahan yang oleh para perwira militer dianggap sebagai gangguan.
Kudeta yang dijuluki Kudeta Senyap itu memperkuat posisi Jenderal Besar Phibunsongkhram sebagai penguasa pemerintahan Thailand. Phibunsongkhram adalah salah satu dari "Four Musketteers" 1932.
Phibunsongkhram terus berkuasa ketika pemilihan parlementer tahun 1957 menimbulkan protes massa di Bangkok. Raja Bhumibol tidak senang. Jenderal Besar Sarit Thanarat akhirnya melancarkan kudeta, membuka jalan kepada Pote Sarasin, mantan Menteri Luar Negeri sebagai PM Thailand ke-9.
Pote yang berlatar non-militer dari kalangan independen hanya bertahan 102 hari. Pada 1958, Sarit yang masih menjadi pemimpin militer tertinggi Thailand mengudeta Pote. Sarit berkuasa lima tahun dan setelah meninggal digantikan oleh Jenderal Thanom Kittikachorn memimpin Thailand sekaligus menandai era baru pemerintahan otoriter.
Thanom sebelumnya adalah Wakil Perdana Menteri yang merangkap menjadi Menteri Pertahanan di era Pote. Thanom meneruskan dasar-dasar kebijakan yang sudah dibuat Sarit: nasionalisme, anti-komunisme, dan membuka diri terhadap pergaulan global. Sikap anti-komunis Thanom ini dipicu kehadiran gerilya komunis Thailand yang gencar-gencarnya tumbuh, khususnya di wilayah utara dekat perbatasan Laos.
Merasa ada ancaman komunis, Thanom melakukan kudeta terhadap pemerintahannya sendiri pada 1971. Ia membubarkan parlemen dan mengangkat dirinya sebagai Ketua Dewan Eksekutif Nasional. Thanom total berkuasa selama 10 tahun.
Kudeta militer kembali terjadi pada 1976. Militer Thailand mengudeta Perdana Menteri Seni Pramoj. Laksamana Sangad Chaloryu menyatakan dirinya bertanggung jawab atas kudeta tersebut dan membentuk Dewan Reformasi Administratif Nasional dengan memberlakukan darurat militer, sebelum akhirnya kursi Perdana Menteri diserahkan kepada Thanin Kraivichien yang berlatar hakim.
Hanya satu tahun memerintah, Thanin dikudeta militer oleh Sangad. Tuduhannya, Thanin dianggap menjalankan pemerintahan represif.
Pada 23 Februari 1991, tepat hari ini 31 tahun lalu, Perdana Menteri Chatichai Choonhavan ditangkap militer dalam perjalanan menemui Raja guna meminta menunjuk seorang Wakil Menteri Pertahanan baru. Militer khususnya Jenderal Sunthorn Kongsompong, menganggap hal itu sebagai ancaman. Sunthorn mengambilalih kekuasaan dan mendapuk diri sebagai pemimpin Pasukan Penjaga Perdamaian Nasional. Beberapa hari berselang, kekuasaan diserahkan kepada Anand Panyarachun yang berlatar politikus.
Kudeta militer terakhir sebelum 2014 terjadi pada 2006 di era Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Merespons krisis politik setahun belakangan dan tuduhan korupsi, angkatan bersenjata turun tangan dengan mencabut konstitusi, membubarkan pemerintahan Thaksin Shinawatra dan menjanjikan reformasi politik.
Ketika kudeta berlangsung, Thaksin dan beberapa menteri lainnya sedang berada di New York. Para pemimpin kudeta dilaporkan dekat dengan Raja Bhumibol, dan banyak tentara mengenakan pita kuning mengacu pada keluarga kerajaan.
Bikin Penasaran Peneliti
Sejauh ini, ada beragam spekulasi mengenai kenapa negeri di Asia Tenggara yang banyak dikunjungi turis asing karena menawarkan keindahan alamnya ini sering mengalami suksesi politik lewat jalan kudeta.
Nicholas Farrelly dalam “Why democracy struggles: Thailand's elite coup culture” (2013) melihat bahwa apa yang terjadi di Thailand adalah gagalnya para elite mengonsolidasikan budaya demokrasi.
Di sisi lain, belasan kali kudeta pasca revolusi 1932, posisi penguasa monarki selalu aman dan tidak menunjukkan tanda-tanda menggulingkan kerajaan. Raja bersama keluarganya konsisten dilindungi militer dan secara umum masih dihormati dalam kultur masyarakat Thailand. Dengan dalih melindungi monarki pula militer melancarkan kudeta.
Para peneliti politik lainnya berpendapat bahwa birokrat dan perwira militer selama ini menjalankan negara Thailand berdasar pada keinginan mereka sendiri.
Lazimnya, kudeta di negara-negara Afrika dan Amerika latin kerap identik dengan masalah kemiskinan, lemahnya kepemimpinan dan mengerucut pada pertentangan ideologis kiri dan kanan.
Namun, di Thailand, hal-hal seperti itu tak dijumpai dan tidak bisa selalu menjadi alasan utama. Ketiadaan pola yang koheren ini membikin para peneliti frustrasi untuk memahami sifat politik kudeta di Thailand. Ini membuat mustahil untuk memprediksi kapan kudeta akan terjadi dan seperti apa hasilnya.
Senada dengan Farrelly, menurut Greg Myre jurnalisNational Public Radio (NPR), kecenderungan Thailand untuk kudeta sebagian besar berasal dari kenyataan bahwa militer selalu memainkan peran utama dalam politik, dan demokrasi tidak pernah benar-benar berakar di kalangan elite militer.
Saat Prayuth mendeklarasikan darurat militer pada 2014 misalnya, ia mengutip Undang-Undang Darurat Militer tahun 1914 yang jauh sebelum revolusi 1932. UU pamungkas itu memungkinkan angkatan bersenjata memiliki kekuatan superior ketika masa kritis.
Intervensi militer yang sering dilakukan dalam politik Thailand memiliki pembenaran yang biasanya sama: militer harus turun tangan untuk memulihkan ketertiban nasional, memberi waktu bagi para politikus yang bertikai dan mengatur ulang konstitusi, meski beberapa kasus kudeta juga menunjukkan persaingan antar elite militer.
==========
Artikel ini terbit pertama kali pada 7 April 2019. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Suhendra & Irfan Teguh Pribadi