Menuju konten utama

Thanom Kittikachorn: Soeharto dari Thailand

Selama satu dekade menjabat perdana menteri Thailand, Thanom memerintah sebagai diktator.

Thanom Kittikachorn: Soeharto dari Thailand
Thanom Kittikachorn. FOTO/Istimewa

tirto.id - Thailand langganan kudeta militer. Jauh sebelum Shinawatra bersaudara digulingkan militer, kudeta serupa pada 1957 juga dilakukan untuk melengserkan pemerintahan Luang Phibunsongkhram. kudeta yang dipimpin Sarit Thanarat, komandan Angkatan Darat pertama Thailand, itu kelak melahirkan sosok kemudian dikenal sebagai diktator bernama Thanom Kittikachorn.

Setelah kudeta, Thanom ditunjuk Pote Sarasin menjadi wakil perdana menteri merangkap menteri pertahanan. Pada 1963, Thanom naik jabatan menggantikan Sarit, rekan dekatnya yang meninggal dunia. Sebagai catatan, Sarit sempat menjadi perdana menteri setelah kembali melangsungkan kudeta.

Selama duduk di tampuk kekuasaan, Thanom meneruskan dasar-dasar kebijakan yang sudah dibuat Sarit: nasionalisme, anti-komunisme, dan membuka diri terhadap pergaulan global. Thanom juga menjanjikan kembalinya demokrasi parlementer dan membentuk badan yang nantinya bertugas merumuskan konstitusi baru. Ketika pemilu digelar pada 1969, Partai Rakyat Thailand menang. Thanom pun bertahan.

Baca juga: Menanti Akhir Yingluck Shinawatra

Pemerintahan Thanom dikenal sangat anti-komunis. Sikap Thanom ini dipicu gerilya komunis Thailand yang gencar-gencarnya tumbuh, khususnya di wilayah utara dekat perbatasan Laos. Gerilyawan komunis di sana tak jarang bertindak agresif.

Kondisi sama terjadi di Provinsi Nakhon Phanom. Kelompok komunis bernama Red Chinese tak ragu menebar teror, bahkan menawarkan 50 ribu baht untuk mereka yang bisa membunuh pejabat pemerintah Thavil Chanlawong yang anti-komunis.

Infografik Thanom Kittikachorn

Kampanye Anti-Komunis dengan Menggandeng Abang Sam

Melihat ancaman komunis yang semakin masif, Thanom meminta bantuan Amerika Serikat untuk membasmi pemberontak. Ketika itu, Amerika sedang menjalankan kebijakan anti-komunis di kawasan Indocina. Amerika setuju memberi bantuan militer dan penasihat di pemerintahan. Sebagai imbal baliknya, Amerika diperbolehkan mendirikan basis militer di Thailand untuk mendukung operasi anti-komunis di Indocina.

Relasi Thailand dan Amerika di era Thanom lantas berlanjut ke sektor lain seperti perekonomian, pembangunan infrastruktur, sampai masuknya budaya khas Abang Sam lewat budaya pop maupun tempat-tempat hiburan yang menjamur di sudut-sudut Bangkok.

Seiring waktu, kekuasaan Thanom membawanya pada jalan kediktatoran. Untuk memastikan pemerintahannya tak diusik, Thanom memegang kendali penuh atas pos-pos penting pemerintah dari urusan pertahanan hingga luar negeri.

Thanom pun mengeluarkan produk hukum dalam wujud Pasal 17 konstitusi yang dapat memberikan Thanom kewenangan untuk mengambil keputusan tanpa mengindahkan parlemen. Implementasi pasal 17 bagi Thanom diejawantahkan dengan menutup media massa yang kritis serta menyingkirkan lawan politik yang dianggap berseberangan. Semua dilakukan tanpa persidangan.

Baca juga: Venezuela Lanjutkan Perburuan Pemimpin Kudeta Militer

Situasi diperburuk dengan budaya korupsi dan nepotisme. Bagi-bagi proyek pemerintah yang dilakukan Thanom bersama kroni-kroninya semakin menurunkan kepercayaan masyarakat. Thano, Narong Kittikachorn (anaknya), dan Praphas Charusathien (mertua)—yang dikenal dengan sebutan “Tiga Tiran”—getol memperkaya diri melalui “jatah” kontrak perusahaan. Diperkirakan sekitar 20 juta poundsterling telah mereka kumpulkan sampai 1973.

Digulingkan Mahasiswa

Gaya Thanom memerintah akhirnya menuai protes massal. Pada Oktober 1973, ratusan massa pro-demokrasi yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa Universitas Thammasat turun ke jalan menuntut Thanom meletakkan jabatan. Mereka tidak puas terhadap pemerintahan Thanom dan militer yang berkuasa sejak lama.

Bagi masyarakat Thailand, demokrasi dalam pemerintahan Thanom merupakan hal langka—penangkapan sejumlah aktivis pro-demokrasi karena menyerukan adanya konstitusi baru adalah contohnya. Sementara korupsi, kongkalikong pejabat, sampai nepotisme justru tumbuh subur di kalangan elit pemerintah.

Baca juga: Venezuela Klaim Gagalkan Upaya Kudeta Militer di Venezuela

Aksi massa pro-demokrasi ditanggapi berbeda oleh Thanom. Aparat dikerahkan untuk membubarkan massa, jika perlu kekerasan digunakan. Kericuhan tak bisa dihindari. Saling serang antar kedua kubu pecah di jalan-jalan Bangkok. Lemparan batu dibalas tembakan peluru aparat keamanan. Sekitar 77 orang demonstran tewas dan ratusan lain luka-luka.

Kekacauan yang meninggalkan banyak korban tersebut tidak membuat Thanom meletakkan jabatannya. Akhirnya, Raja Bhumibol Adulyadej yang masih memiliki karisma di mata warga Thailand meminta Thanom mundur. Bersama Kittikachorn dan Praphas, Thanom pun hengkang dari Thailand untuk menjalani pengasingan.

Kondisi sempat membaik kala pemerintahan sipil yang dipimpin Sanya Dhammasak (Rektor Universitas Thammasat) menggantikan rezim militer Thanom. Namun, masa jabatan Sanya hanya berlangsung singkat. Pada 1976, Thanom kembali ke Thailand dan kerusuhan pun meledak.

Thanom berdalih, ia pulang ke Thailand untuk jadi biksu. Namun, rakyat kadung tak percaya. Mereka beranggapan Thanom akan kembali mengincar kekuasaan.

Keributan lagi-lagi pecah. Massa pro-demokrasi dihadang oleh militer dengan bantuan ekstrem sayap kanan. Ratusan korban berjatuhan. Untuk memperingati peristiwa berdarah itu, rakyat Thailand menyebutnya sebagai Hari Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Thailand.

Cara Thanom memerintah rasanya tak jauh dari Soeharto dengan Orde Barunya yang berkuasa hingga 32 tahun. Berlatarbelakang militer, melakukan kudeta, membungkam kebebasan sipil, mengganyang komunis, memperkaya diri dan kroni-kroninya, mesra dengan Paman Sam, sampai akhirnya dijatuhkan mahasiswa pada 1998.

Baca juga artikel terkait DIKTATOR atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Politik
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf