tirto.id - Akhir Februari nanti, Nigeria, negara di sisi barat Afrika, akan memilih presiden baru beserta anggota senat dan DPR. Pesta demokrasi ini bakal menelan dana sampai 300 miliar naira atau setara Rp10 triliun (sebagai pembanding, di Indonesia anggaran Pemilu 2024 nanti sebanyak Rp76,6 triliun).
Mungkin banyak orang kurang atau sama sekali tidak berminat terhadap dinamika politik di negeri nun jauh bekas koloni Inggris tersebut. Mereka mengesampingkannya karena dianggap tidak terlalu berdampak pada situasi geopolitik terkini. Itu tercermin dari sikap pers internasional yang cenderung hanya meliput isu-isu negatif di Afrika seperti kemiskinan, pengangguran, kelaparan, dan korupsi akut. Meminjam kalimat Rod Chavis dalam presentasi untuk African Studies Consortium Workshop tahun 1998, “Media-media Barat memperlakukan benua Afrika sebagai pelengkap yang ganas alih-alih bagian integral sistemik dari Bumi dan semua fungsi alaminya sesuai dengan hukum universal.”
Kawasan ini tidak bisa terus-menerus dianggap tidak relevan. Salah satu faktornya adalah pada akhir abad nanti penduduk benua Afrika menjadi mayoritas kedua setelah masyarakat Asia. Salah satu kuncinya ada di Nigeria, tanah kelahiran banyak pesepak bola populer serta pemenang Nobel Sastra Wole Soyinka. Sampai sekarang, negara yang sedikit lebih luas dari Pulau Kalimantan ini memiliki penduduk terbanyak di Afrika, sekitar 200 juta jiwa. Angka tersebut diprediksi naik dua kali lipat pada 2050, bahkan bisa menyalip populasi Amerika Serikat. Artinya, Nigeria berpeluang menjadi negara berpenduduk terbesar ketiga di dunia sekaligus pemain utama dalam ekonomi global dengan tenaga kerja melimpah—mengekor persis di bawah raksasa ekonomi India dan Cina.
Di balik potensi besar itu, warga Nigeria masih perlu menghadapi serangkaian tantangan. Salah satunya berkaitan dengan partisipasi kaum muda dalam politik, isu yang satu tarikan napas dengan persoalan pemilu.
Orang Tua yang Berkuasa
Populasi di Nigeria tumbuh sangat pesat, sekitar 2,4 persen per tahun. Angkanya jauh di atas Cina sebesar 0,1 persen, Brasil 0,5 persen, Indonesia 0,7 persen, dan India 0,8 persen. Populasi kaum mudanya juga tinggi. Sebanyak 43 persen penduduk di sana berusia di bawah 14 tahun. Nigeria juga punya usia median paling rendah di dunia, 18,1 tahun, sedangkan penduduk dunia rata-rata 30,3 tahun.
Angkatan muda inilah yang akan menentukan masa depan Nigeria, di antaranya melalui partisipasi langsung dalam politik praktis, atau minimal ikut memberikan suara pada pemilu mendatang. Kira-kira satu bulan sebelum hari pemilu, sudah terdaftar 93 juta pemilih yang 75 persennya atau sekitar 71 juta orang berusia 18-34 tahun.
Meskipun menguasai demografi nasional, angkatan muda ini sayangnya tidak cukup terwakili di pemerintahan.
Sebagian besar anggota DPR yang terpilih pada Pemilu 2019, yang jumlahnya 340 orang, kebanyakan berusia 47 sampai 59. Hanya delapan orang—semua laki-laki—yang berada di kisaran usia termuda, 32-35. Sementara anggota DPR perempuan berjumlah 10, padahal jumlah perempuan separuh populasi.
Calon pemimpin yang tersedia juga berusia dua sampai tiga kali lipat dari usia mayoritas pemilih.
Setelah merdeka dari Inggris pada 1960, Nigeria bertubi-tubi mengalami kudeta militer dan bergiliran dipimpin oleh diktator. Barulah pada 1999 presiden dipilih secara demokratis lewat pemilu. Kala itu yang menang adalah mantan jenderal yang pernah berkuasa pada era kediktatoran militer tahun 1970-an, Olusegun Obasanjo. Politikus dari partai tengah-kanan People’s Democratic Party ini berusia 62 saat mulai menjabat dan menginjak 70 ketika menyelesaikan periode kedua pada 2007.
Setelah Obasanjo, Umaru Musa Yar’Adua dari partai yang sama terpilih dan memulai administrasinya pada usia 56. Yar’Adua belum sempat menyelesaikan tugasnya karena jatuh sakit lalu meninggal dunia pada 2010. Wakilnya, dokter hewan bernama Goodluck Jonathan yang berusia lebih muda, 53, terpilih pada pilpres berikutnya.
Presiden yang terpilih setelah Jonathan berusia jauh lebih tua. Pada 2015, pilpres dimenangkan oleh diktator militer era 1980-an Muhammadu Buhari dari partai oposisi All Progressives Congress. Usianya waktu itu 72.
Mencari Pengganti Buhari
Muhammadu Buhari dipilih karena dianggap berani dan tegas menggilas gerakan pemberontakan islamis Boko Haram yang menelan banyak korban dan menjadi keprihatinan utama pemilih. Pensiunan jenderal ini juga berhasil meyakinkan publik bahwa dia serius memberantas korupsi yang dilaporkan meningkat di bawah era Jonathan. Dukungan buat Buhari, yang beragama Islam, kebanyakan datang dari kaum muda di kawasan mayoritas muslim di bagian utara.
Bukan berarti Buhari tanpa cela. Dia punya rekam jejak melanggar hak asasi manusia (HAM). Salah satu warisannya tahun 1983 adalah Surat Keputusan No. 4, Dekrit Perlindungan dari Tuduhan Bohong, yang digunakan untuk membungkam jurnalis dan media massa. Dilansir dari BBC, rezim lama Buhari sudah menjebloskan ratusan orang ke penjara, dari mulai jurnalis, politikus, pengusaha, sampai musisi kenamaan Fela Kuti—yang diduga dijebak dengan tuduhan penyelundupan uang.
Burhani tidak pernah meminta maaf atas penindasan di bawah kediktatorannya. Dia bersikeras menjustifikasi langkah tersebut karena “pemimpin yang dipilih [secara demokratis lewat pemilu] sudah mengecewakan negara.”
Kemenangan Buhari dalam Pemilu 2015 dan periode kedua Pemilu 2019 sangat mungkin berhubungan dengan ketidaktahuan angkatan muda pendukungnya yang belum lahir atau masih terlalu kecil untuk ingat apa yang terjadi tiga dekade silam.
Seiring waktu, publik menyadari mereka semakin kecewa terhadap Buhari. Salah satunya terkait kebebasan pers. Selama Buhari berkuasa, marak laporan tentang penangkapan aktivis dan jurnalis. Tanpa menjalani proses pengadilan, mereka ditahan oleh polisi rahasia Nigeria State Security Service (SSS) karena beragam alasan: dituding sudah mengangkat isu-isu sensitif misalnya tentang industri minyak, Boko Haram, gerakan kemerdekaan orang Biafra, investigasi tentang petinggi polisi dan militer korup, sampai dicurigai melakukan terorisme atau kejahatan siber.
Tingkat kebebasan pers Nigeria, menurut Reporters Without Borders, turun nyaris dua puluh peringkat—jadi urutan ke-129 dari 180 negara.
Pembantaian massal bahkan pernah berlangsung pada awal administrasi Buhari. Persisnya pada pengujung 2015, angkatan bersenjata nasional diduga membunuh lebih dari 300 pengikut Syiah di kota Kaduna.
Problematika sosial-ekonomi juga tidak ditanggapi serius oleh Burhani, misalnya terkait tingkat pengangguran yang meroket (pada kuartal terakhir 2020 mencapai 33,3 persen—tertinggi dalam 13 tahun—sementara di kalangan muda menembus 42 persen). Alih-alih menawarkan kebijakan solutif, Burhani malah menyuruh anak muda agar jadi petani sembari mengaku bahwa pemerintah belum sanggup membuka lapangan kerja.
Selain itu, sepanjang dua periode Buhari berkuasa, indeks persepsi korupsi malah merosot. Berdasarkan perhitungan Transparency International, Nigeria turun dari urutan 136 tahun 2015 jadi 154 pada 2021—dari total 180 negara.
Orang Tua, Kenapa Masih Haus Kuasa?
Dalam pemilihan Februari mendatang, Buhari yang menginjak usia 81 memang tidak diizinkan oleh konstitusi untuk nyapres lagi. Akan tetapi, alih-alih menyokong kandidat muda dengan ide-ide pembangunan yang progresif, dia dan partainya malah mengajukan Bola Tinubu, akuntan kaya raya berusia 70 tahun yang pernah menjabat Gubernur Lagos. Dia diduga terlibat penyelundupan obat-obatan terlarang di Amerika Serikat. Pada 2018, Tinubu juga diduga ikut andil di perusahaan konsultan yang melakukan penipuan, penyelewengan pajak, dan pencucian uang untuk kepentingan para pejabat pemerintahan.
Kandidat capres lain, pengusaha bernama Atiku Abubakar, berusia 76, dari Peoples Democratic Party, juga bukan alternatif lebih baik atau menarik. Abubakar pernah terjerat kasus korupsi pada 2007 saat masih menjabat sebagai wakil presiden.
Sebenarnya, apa yang membuat politikus senior seperti Tinubu dan Abubakar masih percaya diri untuk terjun ke bursa pemilihan (bahkan kelihatan nyaman-nyaman saja menggaet suara anak muda lewat TikTok)?
Menurut Vladimir Kreck dalam artikel di situs yayasan politik Konrad-Adenauer-Stiftung, maraknya politikus senior di lanskap politik Nigeria hari ini berkaitan dengan kesempatan generasi mereka yang tertunda gara-gara era kediktatoran. Orang tua kaya raya yang bisa dikategorikan sebagai kelompok elite borjuis ini, menurut Kreck, sudah dihalang-halangi dari jabatan politik oleh para jenderal yang berkuasa sejak dekade 1960-an. Mereka seharusnya berpeluang untuk menjabat pada 1980-an, namun kesempatan itu ditebas oleh para jenderal: Muhammadu Buhari (1983-1985) dan Ibrahim Babangida (1985-1993).
Kaum elite borjuis ini juga merasa terluka ketika hasil Pemilu 1993, yang dimenangkan oleh politikus Sosial Demokrat bernama Moshood Abiola, dibatalkan oleh militer. Kediktatoran militer terus berlanjut di bawah komando Jenderal Sani Abacha, yang lima tahun kemudian meninggal dunia secara tiba-tiba.
Gerbang kaum elite untuk menggapai kekuasaan politik baru terbuka setelah Nigeria memasuki era demokratisasi yang diawali dengan Pemilu 1999. Tentu saja mereka enggan membaginya dengan generasi lebih muda.
Demokratisasi tahun 1999 juga mengadopsi konstitusi baru yang isinya menetapkan batas usia minimum pejabat pemerintah di level gubernur dan senator pada usia 35. Sementara minimal usia untuk menjabat sebagai anggota DPR adalah 30—dan 40 untuk kandidat calon presiden.
Demikianlah lanskap politik Nigeria terbentuk dan diisi orang-orang tua. Lantas, apakah benar-benar tidak ada generasi muda yang menjajal peruntungan?
(Bersambung)
Editor: Rio Apinino