tirto.id - Sejak berusia 10 tahun, Try Sutrisno telah menghirup suasana revolusi. Surabaya kota kelahirannya membara dalam amuk pertempuran 10 November 1945. Waktu itu, ayahnya bergabung dalam Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (BPRI) pimpinan Bung Tomo, sementara keluarganya yang lain mesti mengungsi ke Sidoarjo.
Pertempuran dahsyat di Surabaya yang disusul Agresi Militer Belanda II di pengujung 1948, membuatnya ingin menjadi tentara.
“Ke mana saja saya ingin mendaftarkan (masuk tentara), tetapi saya selalu ditolak dan ditertawakan,” ungkap Try Sutrisno dalam Bunga Rampai Perjuangan & Pengorbanan Jilid II (1983:484-485).
Namun ia akhirnya diterima sebagai tobang ataupesuruh tentara. Tugasnya antara lain membelikan rokok, menyiapkan makanan, dan membersihkan senjata. Setelah itu ia dipercaya menjadi anggota Penyelidik Dalam(PD) yang tugas utamanya menyusup ke daerah musuh. Fungsi pergerakannya antara lain untuk mengantar dokumen maupun obat-obatan sampai ke tujuan.
Revolusi kemerdekaan Indonesia memang banyak melahirkan para remaja seperti Try Sutrisno. Meski bukan sebagai petempur, namun terlibat aktif dalam suasana peperangan yang senantiasa dipenuhi marabahaya.
Remaja-remaja lain bahkan melampaui apa yang dilakukan Try Sotrisno. Mereka justru menjadi bagian dari kombatan yang melakukan serangkaian penyerbuan terhadap musuh.
Pada 1945, Willem Sriyono yang masih berusia 14 tahun ikut dalam penyerbuan markas Kempeitai di Solo. Seingatnya, kala itu ia masih kelas dua SMP dan senjata yang dimiliki pemuda Republik tidak memadai.
“Kita ikut Slamet Riyadi,” ucap Sriyono kepada Tirto.
Kawannya yang bernama Arifin juga ikut dalam operasi penyerbuan di Timuran. Namun ia tewas ditembak Jepang. Nama Arifin kemudian menjadi nama jembatan.
Setelah itu Sriyono bergabung dengan BPRI dan Barisan Banteng, lalu masuk TNI. Ia dijadikan sebagai staf kompi. Pada 1950 pangkatnya kopral saat usianya 19 tahun. Lalu pada 1965 pangkatnya sudah Letnan Dua.
Dari Benny Moerdani sampai Romo Mangunwijaya
Pengalaman serupa dilalui juga oleh Leonardus Benjamin Moerdani (1932-2004) alias Benny Moerdani. Pada 1945, ia yang usianya lebih tua tiga tahun dari Try Sutrisno, seperti dicatat Julius Pour dalam Ignatius Slamet Rijadi: dari mengusir Kempeitai sampai menumpas RMS (2009: 28), ikut dalam penyerbuan markas Kempeitai di Solo.
Menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (1988: 206), saat menjadi anggota Tentara Pelajar, Benny nyaris membunuh ayahnya.
“Kalau tidak dicegah oleh anggota Tentara Pelajar yang lebih senior, Benny bisa nekat menembak bapaknya,” kata Umar Kayam seperti dikutip Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016: 98).
Namun, baik Harsya Bachtiar maupun Salim Said tidak menjelaskan alasan Benny kenapa ia sampai hendak menghabisi bapaknya sendiri.
Dari Karesidenan Banyumas, kawan Benny sesama remaja namun usianya lebih tua juga pernah ikut dalam revolusi 1945. Namanya Dading Kalbuadi dan Chalimie Imam Santoso. Sebelum bergabung dalam ketentaraaan, keduanya pernah ikut pasukan Indonesia Merdeka Atau Mati (IMAM).
Dading, seperti dicatat dalam Indonesia merdeka atau mati (1985: 161) yang disusun Iwa Sumarmo, pernah terlibat dalam upaya penyusupan ke daerah pendudukan Belanda. Sementara Santoso sempat jadi pemimpin regu di masa gerilya.
Benny, Dading, dan Santosa kemudian bergabung dalam korps baret merah dan menjadi jenderal. Setelah revolusi, tentu tak semua remaja yang ikut beruang menjadi anggota TNI. Banyak dari mereka yang memilih menjadi sipil.
Daftar remaja Indonesia yang terjun dalam pusaran revolusi tak berhenti sampai di situ. Ferry Sie King Lien, remaja keturunanan Tionghoa yang menjadi anggota Tentara Pelajar gugur dalam sebuah palagan melawan Belanda di Solo pada 1949. Menurut Yunus Yahya dalam Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya (2002), King Lien yang saat itu berusia 16 tahun adalah keponakan pemilik pabrik gelas di kampung Kartopuran. Jasadnya dikebumikan di Makam Pahlawan Jurug, Solo.
Tentara Pelajar memang banyak diperkuat oleh remaja belasan tahun. Jika kini usia minimal menjadi anggota TNI adalah 18 tahun, maka dulu lebih muda dari itu. Masa serba darurat tak sempat mengatur secara ketat batas minimal seseorang untuk menjadi petempur atau pembantu kombatan. Kebutuhan personil militer sangat dibutuhkan Republik, meskipun saat itu tak sanggup menggajinya.
Namun, menurut keterangan Adnan Buyung Nasution dalam Pergulatan Tanpa Henti - Volume 1 (2004:43), Tentara Pelajar pernah memberlakukan batas usia minimal menjadi anggota, yakni 15 tahun.
“Saya ingin sekali ikut berjuang, tapi belum bisa, karena masih berumur 13 tahun. Saya mau masuk Tentara Pelajar belum boleh, sebab persyaratan menjadi Tentara Pelajar harus berumur 15 tahun,” ungkapnya.
Selain Benny Moerdani, mantan Tentara Pelajar lain yang relatif terkenal adalah Ignatius Dewanto (1929-1970) yang sempat menjadi pilot dan direktur intelejen AURI, Romo Mangunwijaya (1929-1999) seorang aktivis Katolik, Herman Sarens Soediro (1930-2011) seorang pensiunan jenderal yang jadi pengusaha nyentrik.
Di Sulawesi Selatan, juga terdapat remaja belasan tahun yang ikut berjuang, salah satunya adalah Andi Sore (1930-2019). Ia yang saat itu berusia 15 tahun ikut berperang bersama Wolter Mongisidi. Sejak awal, Andi Sose sudah dipercaya memimpin pasukan karena dianggap terpelajar dan keturunan bangsawan.
Infografik Kombatan Remaja Era Revolusi. tirto.id/Sabit
Remaja Pembantu KNIL dan Anggota PETA
Selain kisah para anggota Tentara Pelajar, ada juga cerita tentang remaja yang diperbantukan KNIL sebagai milisi saat Jepang akan mendarat di Hindia Belanda, salah satunya adalah Abdul Latief.
Dalam Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G 30 S (2000: vii) ia mengaku baru berusia 16 tahun saat pasukan Jepang merangsek dan KNIL membutuhkan lebih banyak tentara.
Empat puluh lima tahun sebelum pendudukan Jepang, KNIL juga sempat merekrut tentara yang masih berusia 16 tahun.
“Tanggal 3 Januari 1898 Augustinus Mahakena teeken (mendaftar) di Saparua (Maluku) buat dienstmilitair (dinas militer) sedang [ia] baru berumur 16 tahun,” tulis majalah pensiunan KNIL bernama Trompet Nomor 72 (Januari 1940:5-6).
Sementara pada zaman Jepang ada beberapa remaja yang usianya baru sekitar 14 dan 16 tahun yang direkrut menjadi perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA), di antaranya adalah Daan Elias Mogot (1928-1946) dan Bambang Widjanarko (1927-1996). Keduanya pernah menjadi Shodancho (komandan peleton) PETA saat berusia sekitar 17 tahun.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Daan Mogot yang berpangkat mayor TNI kemudian mati muda dalam peristiwa Lengkong tahun 1946. Sementara Bambang Widjanarko yang kemudian masuk Korps Komando (KKO atau sekarang bernama Marinir) dikenal sebagai ajudan Presiden Sukarno.
Editor: Irfan Teguh