tirto.id - Raut bahagia terpancar dari pasangan Enrique Mirabal Fernández dan Mercedes Reyes Camilo pada 27 Februari 1924. Setelah menunggu sembilan bulan, mereka akhirnya mempunyai bayi perempuan yang dinamai Patria, artinya tanah air. Nama itu dipilih karena bertepatan dengan hari kemerdekaan Republik Dominika.
Tahun-tahun berikutnya, kebahagiaan terus datang. Hanya berjarak masing-masing setahun, mereka dikaruniai anak kedua dan ketiga. Pada 1925 dan 1926, lahir bayi perempuan dengan nama Belgica dan Minerva.
Keluarga yang tinggal di kota pesisir Ojo de Agua ini hidup berkecukupan. Enrique dan Mercedes berasal dari kelas menengah. Sejak menikah, mereka mengelola lahan pertanian, toko kopi, dan toko kelontong.
Dilansir New York Times, Belgina, juga dikenal sebagai Dedé, bersaksi bahwa orang tuanya sangat memerhatikan laku hidup keseharian anak-anaknya. Mereka tak diperbolehkan bertentangan dengan norma dan etika, seperti masalah kedisiplinan dan kerapihan. Hal inilah yang membentuk kepribadian ketiga putrinya.
Menampar Sang Tiran
Ketika usia mereka belum genap 6 tahun, tepatnya pada 1930, terjadi kudeta tak berdarah di ibu kota Santo Domingo. Di dukung Amerika Serikat, Panglima Angkatan Darat Rafael Trujillo mengambil alih kekuasaan dari tangan Presiden Horacio Vasquez. Sejak saat itu, kehidupan di negara yang terletak di Kepulauan Karibia ini tidak lagi sama.
Mengutip F. Pons dalam The Dominican Republic Since 1930 (1990), kudeta ini melahirkan rezim diktator. Trujillo sebagai penguasa tunggal sangat mengontrol gerak-gerik rakyatnya. Penculikan, penangkapan, dan pembunuhan menjadi konsekuensi bagi mereka yang merecoki kekuasaan.
Di sektor ekonomi, ia memaksa terwujudnya monopoli industri. Banyak pabrik yang diambil paksa oleh negara dengan alasan untuk mendukung pembangunan. Nyatanya: semua hanya dusta.
Tekanan-tekanan ini membuat siapapun menjadi gerah, termasuk Mirabal Bersaudara: Patria, Belgica, Minerva, dan adik bungsu mereka yang lahir pada 1935 bernama Maria.
Dibanding keluarga dan perempuan lain, Mirabal Bersaudara cukup beruntung. Mereka mampu mengakses pendidikan, dari sekolah dasar hingga universitas, dan bisa membaca banyak buku. Saat kuliah, mereka aktif dalam berbagai organisasi politik.
Pengalaman akademis dan pergerakan inilah yang merangsang daya analisis dan kritis mereka. Pemerintahan otoriter yang terjadi di tanah kelahirannya tidak dapat dibenarkan. Maka, mereka pun mendorong terjadinya revolusi untuk menumbangkan kekuasaan meski jalannya tentu tidak mudah.
Di antara mereka, Minerva menjadi figur penting karena ia kerap memantik perlawanan kepada penguasa. Tindakan ini tidak lepas dari posisinya sebagai mahasiswi hukum pertama di Republik Dominika. Sementara Belgica memutuskan mundur dari urusan politik tanpa alasan pasti. Meski begitu, keputusan ini tidak membuat pergerakan satu keluarga ini mandek.
Memasuki tahun 1940-an, rezim Trujillo semakin sewenang-wenang. Kali itu, perempuan yang menjadi korban. Mengutip Christian Korhn Hansen dalam Political Authoritarianism in the Domonican Republic (2009), pemerintah mengedepankan budaya maschismo atau maskulinitas. Perempuan hanya menjadi objek, tak lebih dari urusan seksual.
Ini dilakukan oleh Trujillo secara pribadi. Pria kelahiran 1891 ini terkenal sebagai sosok yang kerap gonta-ganti pasangan. Ia juga sering terang-terangan menunjuk perempuan muda untuk menemaninya melakukan hubungan one night stand.
Kelakuan ini bermula dari kebiasaannya saat berkunjung ke daerah dan meminta perempuan lokal menjadi teman tidurnya. Jika tidak dituruti, Trujillo menganggapnya sebagai bentuk pembangkangan. Maka itu, penduduk dengan sangat terpaksi memberikan anak perempuannya kepada sang diktator untuk menghindari sanksi.
Sekali waktu, Mirabal Bersaudara terjebak dalam laku biadab ini.
Warsa 1949, Mirabal Bersaudara menerima surat undangan dari Trujillo untuk menghadiri pesta mewah di kediamannya di San Cristobal, yang berjarak 50 kilometer dari tempat tinggalnya. Undangan tersebut menyimpan maksud tersembunyi. Trujillo bakal melamar Minerva yang sudah diincarnya sejak lama karena terpukau dengan paras cantiknya.
Sebagaimana dipaparkan Nancy Robinson dalam “Women’s Political Participation in the Dominican Republic: The Case of the Mirabal Sisters” (A Journal of Caribbean Culture, 2017), ketika sedang berdansa-dansi, sang penguasa tiba-tiba meminta Minerva menjadi istri keempatnya.
Alih-alih mengiyakan, Minerva justru menampar Trujillo. Sang diktator pun meradang. Dari sinilah ia memandang Minerva dan keluarganya sebagai pengkhianat.
Warisan Kupu-Kupu
Babak pertama Trujillo vs Mirabal Bersaudara dimulai usai kejadian memalukan di pesta tersebut. Menurut Jynessa Mendoza dalam “To be a Woman: Gender and The Death of the Mirabal Sisters” (2017), Trujillo marah besar dan berupaya menjegal keluarga Mirabal.
Usaha keluarga mereka diambil paksa. Ayahnya dipenjara tanpa alasan jelas. Serangan fisik dan mental yang terjadi akhirnya membuat sang ayah meninggal pada 1953. Masih di tahun yang sama, ruang gerak Minerva di kampus dipersempit. Statusnya sebagai mahasiswa dicabut. Namun, Minerva tak patah arang dan tetap bersuara lantang.
Jeritan hati dan suara sumbang yang terus dilontarkan terlanjur terdengar ke seluruh negeri. Minerva semakin terkenal di kalangan akar rumput dan aktivis anti-Trujillo. Banyak yang akhirnya mendukung gerak langkahnya, meski mereka juga mengetahui dukungan tersebut pasti dibalas dengan intimidasi dari intel pemerintah.
Serangan balasan terhadap Trujillo akhirnya dilakukan oleh Minerva bersama saudaranya, serta aktivis lainnya pada 1959. Mereka tergabung dalam Gerakan 14 Juni. Gerakan ini adalah upaya perlawanan orang-orang buangan Republik Dominika dari luar negeri yang didukung penuh oleh Pemerintah Kuba di bawah Fidel Castro. Sayang, perlawanan tersebut gagal total karena rezim Trujillo telah mengetahui rencana ini.
Trujillo mengamuk atas perlawanan masif pertama yang hendak menggoyahkan kekuasaannya. Akibatnya, ratusan gerilyawan, termasuk Mirabal Bersaudara dan masing-masing suaminya ditahan. Tentu penahanan ini dibarengi dengan penyiksaan tanpa henti.
Kekejian ini membuat emosi rakyat semakin mendidih. Laman History menyebut Trujillo semakin kehilangan panggung, apalagi usai gereja Katolik yang selalu mendukungnya memutuskan untuk berbalik arah mendukung para aktivis. Begitu juga dengan negara-negara lain yang mengutuk siksaan tersebut dengan memberikan sanksi ekonomi, termasuk AS.
Berbagai tekanan ini akhirnya membuat Trujillo sedikit melunak. Para perempuan yang dipenjara, termasuk Mirabal Bersaudara, dibebaskan. Sedangkan yang laki-laki tetap berada di balik jeruji besi.
Meski dikeluarkan, bukan berarti Mirabal Bersaudara mendapat kebebasan seutuhnya. Mereka tetap diintimidasi oleh pemerintah karena dianggap sebagai figur yang sangat berbahaya. Dan puncaknya terjadi pada 25 November 1960.
Pada hari itu, Patria, Miverva, dan Maria menjenguk suaminya masing-masing yang telah ditahan hampir satu tahun di Puerto Plata. Ini adalah rutinitas yang biasa mereka lakukan ketika waktu menjenguk tiba.
Setelah menjenguk, di tengah perjalanan pulang menuju kediamannya di Ojo de Agua mereka dicegat oleh polisi tanpa alasan yang jelas.
Seketika, polisi menghabisi ketiganya dan seorang sopir. Mustahil bagi mereka untuk meminta tolong karena waktu itu tengah malam dengan kondisi jalanan sepi dan hujan. Agar terlihat seperti kecelakaan, polisi memasukkan mayat mereka kembali ke kursi dan mendorong mobil ke jurang.
Esok harinya, mayat mereka ditemukan. Meski ditutup-tutupi, publik jelas mengetahui bahwa kematian itu didalangi oleh Trujillo. Akibatnya, gelombang protes terjadi di seluruh negeri.
Mirabal Bersaudara memang telah tiada, tetapi perjuangannya dilanjutkan oleh seluruh masyarakat. Demonstrasi dan kerusuhan besar-besaran menentang pemerintah terjadi di mana-mana. Akhir dari semua ini terjadi pada 30 Mei 1964, ketika Trujillo tewas ditembak di mobil yang menandai akhir pemerintahan otoritariannya selama tiga dekade.
Masyarakat Republik Dominika menyebut dan mengibaratkan Mirabal Bersaudara sebagai las mariposas atau kupu-kupu, yang melambangkan perjalanan penuh perjuangan sebelum mencapai keindahan. Tentu keindahan dalam kasus mereka adalah terbebasnya perempuan dari kedudukan sosial yang rendah dan pengekangan sistem sosial.
Majalah Time memasukkan mereka ke dalam 100 tokoh perempuan paling berpengaruh sepanjang zaman. Begitu juga PBB yang sejak 1999 memeringati tanggal kematian mereka sebagai Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Hal ini untuk mengampanyekan penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang masih terjadi sampai hari ini.
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi