tirto.id - Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan Sedunia diperingati setiap 25 November.
Pada tahun 2021, Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan mengangkat tema, “Orange the World: End Violence again Woman Now!”.
Tema ini digaungkan mengingat kasus kekerasan terhadap perempuan yang meningkat di tengah pandemi Covid-19.
Dilansir dari website PBB, berdasarkan data dari 13 negara, selama pandemi Covid-19, 2 dari 3 perempuan melaporkan bahwa mereka atau perempuan yang mereka kenal mengalami kekerasan. Namun hanya 1 dari 10 korban yang mememinta bantuan ke polisi.
PBB menekankan bahwa pemangku kebijakan di seluruh dunia harus meningkatkan pelayanan yang bisa digapai oleh penyintas dengan mudah dan cepat baik di sektor kepolisian, keadilan, Kesehatan, dan sosial.
Selain itu, seluruh masyarakat juga bisa berpartisipasi menghentikan kekerasan ini dimulai dengan mempercayai, mendengarkan, dan mendukung para penyintas, mengubah norma sosial, dan memberdayakan perempuan dan anak perempuan.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, kampanye Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun ini juga akan dilakukan selama 16 hari yaitu sejak 25 November dan diakhir pada 10 Desember 2021, bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia Internasional.
Sejarah Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Setelah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan masih menjadi permasalahan yang menjamur di seluruh dunia.
Pada 1981, para aktivis hak-hak perempuan semakin gencar mengaungkan seruan untuk melawan kekerasan terhadap perempuan dan menetapkan tanggal 25 November sebagai momentum untuk melakukan aksi tersebut.
Penggunaan tanggal 25 November juga dipilih untuk menghormati Miral bersaudara, tiga aktivis politik di Republik Dominika yang dibunuh secara brutal para tahun 1960 atas perintah penguasa negara tersebut, Rafael Trijullo (1930-1961).
Pada 20 Desember 1993, Sidang Umum PBB mengeluarkan resolusi 48/104 yang meletakkan dasar bagi jalan menuju dunia bebas kekerasan berbasis gender, yakni Deklarasi penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada 7 Februari 2000, Sidang Umum akhirnya mengadopsi resolusi 54/134, yang secara resmi menetapkan 25 November sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Deklarasi ini mengundang pemerintah, organisasi internasional serta LSM untuk bergabung bersama, merancang kegiatan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang masalah kekerasan terhadap perempuan.
Upaya Menghapus Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia
Pada kampanye Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) 2021, Indonesia mengangkat tema “Dukung Korban, Dukung Penghapusan Kekerasan Seksual: Gerak Bersama Sahkan Payung Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual yang Berpihak pada Korban”.
Tema tersebut bertujuan untuk mengajak seluruh elemen masyarakat agar terlibat aktif dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dengan mendorong terwujudnya kepastian hukum bagi korban kekerasan.
Komnas Perempuan menekankan bahwa partisipasi masyarakat akan sangat membantu dalam mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), yang memuat kebutuhan korban kekerasan seksual.
Kampanye Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia juga digelar selama 16 hari yaitu mulai 25 November hingga 10 Desember (Hari HAM Internasional).
Dalam rentang waktu tersebut, terdapat sejumlah hari penting terkait kekerasan terhadap perempuan dan HAM sebagai simbol adanya hubungan antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM.
Hari-hari penting tersebut: Hari Perempuan Pembela HAM, 29 November; Hari AIDS Sedunia, 1 Desember; Hari Internasional untuk Penghapusan Perbudakan, 2 Desember; dan Hari Internasional bagi Penyandang Disabilitas.
Selanjutnya 3 Desember; Hari Internasional bagi Sukarelawan, 5 Desember; Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan, 6 Desember; Hari Pembela HAM Internasional, 9 Desember; dan Hari HAM Internasional, 10 Desember.
Penulis: Nuraini Ika
Editor: Dhita Koesno