tirto.id - Mantan Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra diduga melarikan diri ke Dubai saat pengadilan bersiap mengadili kasusnya. Seperti dilansir The Bangkok Post, sumber dariPartai Puea Thai mengatakan Yingluck meninggalkan Thailand pada pekan lalu dan terbang ke Dubai melalui Singapura.
Pemilihan Dubai bukan tanpa sebab. Dubai menjadi tempat pengasingan saudaranya yang juga mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra. Thaksin bermukim di Dubai sejak 2008 untuk menghindari tuntutan hukum atas korupsi.
Wakil Kepala Polisi Nasional Thailand Jenderal Srivara Rangsibrahmanakul menyatakan pihak kepolisian tidak memiliki catatan mengenai kepergian Yingluck dari Thailand. Menurutnya, kasus kepergian Yingluck akan diawasi dengan ketat. Sementara itu, pihak imigrasi Thailand berjanji akan menangkap Yingluck apabila berhasil menemukannya.
Yingluck sejatinya diminta hadir oleh Mahkamah Agung pada hari Jumat (25/8) lalu untuk proses pengadilan terhadap kasusnya. Pengacara Yingluck mengatakan Yingluck sedang mengalami sakit. Alasan tersebut ditolak karena pihak Yingluck tak menyertakan keterangan medis yang resmi. Atas dasar itu, Mahkamah Agung mengeluarkan surat penangkapan untuk Yingluck.
Baca juga:Politik Dinasti di Balik Cekcok Klan Lee Kuan Yew
Juru bicara sekaligus keponakan Yingluck, Chayika Wongnapachant menyebutkan dirinya tidak tahu keberadaan Yingluck. Di lain sisi, asisten Thaksin di Dubai seperti dilansir The New York Times juga setali tiga uang mengenai keberadaan Yingluck.
Pemerintah Thailand diwakili juru bicaranya Weerachon Sukondhapatipak menjelaskan kasus kepergian Yingluck sudah diawasi oleh pihak berwenang. Akan tetapi, belum terdapat kesimpulan resmi apakah Yingluck benar-benar melarikan diri dari Thailand.
Thitinan Pongsudhirak, profesor ilmu politik Universitas Chulalongkorn Bangkok menyatakan hilangnya Yingluck membuat pihak berwenang dapat mempertegas status Yingluck sebagai tersangka. Thitinan juga tak terkejut apabila dalam pelariannya, Yingluck dibantu petinggi pemerintahan.
Di samping itu, Thitinan menambahkan bahwa masa depan Thailand akan bergantung pada militer. Apakah militer bersedia mengulurkan bantuan kepada pendukungnya dan mencoba meningkatkan standar hidup mereka atau tidak. Jika militer menolak, maka kebuntuan politik Thailand kemungkinan akan berlanjut.
Kasus yang menimpa Yingluck bermula saat pengadilan menganggap Yingluck lalai dalam menangani skema pembelian beras. Kelalaian itu selain menyebabkan kerugian miliar dolar juga memberikan ruang bagi pejabat lain untuk korupsi serta mendapatkan keuntungan dari subsidi beras. Di tahun 2014, pemerintahan yang dipimpin Yingluck digulingkan oleh kudeta militer.
Persidangan dimulai pada 2015 di mana pengadilan meminta Yingluck memberikan jaminan sebesar 30 juta baht (1,2 juta dolar). Apabila terbukti salah, Yingluck akan mendekam di bui selama 10 tahun, menyusul lima pejabat administrasi lainnya yang sudah divonis terlebih dahulu. Selain itu, Yingluck dilarang meninggalkan Thailand tanpa persetujuan pengadilan sejak 2015 dan dilarang berpartisipasi dalam kegiatan politik hingga 2020.
Akhir dari Era Shinawatra?
Sejak terpilihnya Thaksin pada 2001, Thailand telah terbelah antara kelompok miskin dan elite perkotaan. Sejak itu pula partai politik yang dipimpin atau didukung Shinawatra mendominasi politik di Thailand dan memenangkan setiap pemilihan umum.
Perjalanan Shinawatra bersaudara dalam pementasan politik di Thailand bisa dibilang tak jauh berbeda. Saudara tuanya, Thaksin Shinawatra digulingkan kudeta militer pada 2006 setelah lima tahun menjabat sebagai Perdana Menteri. Kasus korupsi yang menimpanya membuat Thaksin takluk dan kemudian mengasingkan diri di Dubai.
Baca juga: Ketimpangan Kekayaan di ASEAN, Indonesia Nomor Dua
Yingluck yang terpilih menjadi Perdana Menteri pada 2011 awalnya diprediksi mampu meredamkan gejolak politik di Thailand. Selama dua tahun pertama menjabat, Yingluck aktif merangkul pihak-pihak yang masuk dalam pusaran konflik seperti militer dan lawan-lawan politiknya. Yingluck berusaha mewujudkan perdamaian di antara perpecahan politik yang pahit.
Akan tetapi semua berubah saat Yingluck meluncurkan skema pembiayaan beras. Skema tersebut berfokus pada tiga hal. Membeli beras dari petani dengan harga tinggi, menimbunnya untuk mengurangi pasokan sekaligus menaikkan harga global, lalu menjualnya lagi dengan harga tinggi guna menutup pengeluaran di awal. Sebuah analisis di The Diplomat menyebut langkah ini “tahapan yang sederhana tapi tidak realistis.”
Bukannya meraup untung, Thailand justru termakan kebijakannya sendiri. Program tersebut gagal. Posisi Thailand sebagai eksportir beras di dunia dengan menguasai 30 persen pasar digantikan negara lain seperti India dan Vietnam yang mengisi kekosongan Thailand antara 2011 sampai 2013.
Kondisi dalam negeri tak kalah buruk. Petani gagal memperoleh pembayaran, aksi demonstrasi marak di jalanan, dan puncaknya terjadi kudeta militer yang dipimpin Jenderal Prayuth Chan-ocha. Pemerintahan Yingluck akhirnya tumbang oleh pemakzulan yang dilakukan parlemen dengan dukungan militer.
Banyak yang beranggapan, jatuhnya Yingluck adalah tanda berakhirnya era Shinawatra. Setelah lama mendominasi kancah politik Thailand dengan mengeksploitasi dukungan kelompok pedesaan di utara dan berkali-kali terpilih dalam pemilihan umum, kekuasaan Shinawatra harus berakhir di tangan militer.
Namun, sebagian analis menyebutkan era Shinawatra belum berakhir. Apabila Yingluck kembali ke Thailand dan kemudian dijatuhi hukuman 10 tahun penjara, maka akan timbul gejolak politik. Para pendukungnya akan bergerak dan memungkinkan terjadinya perpecahan.
Baca juga: Megawati, Dinasti Politik dan Pengalaman Pascakolonial
Di lain sisi, pengaruh Thaksin terhadap partai Pheu Thai juga masih kuat. Walaupun Thaksin belum kembali ke Thailand sejak 2008, Pheu Thai bergerak sesuai arahannya. Hal ini dapat dilihat kala Pheu Thai memenangkan pemilu dan mengantarkan Yingluck ke posisi perdana menteri dengan slogan “Thaksin Thinks, Pheu Thai Does.”
Mantan Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva memperingatkan, langkah pemerintah untuk melarang kandidat partai untuk menjadi perdana menteri justru dapat menyebabkan meningkatnya tensi politik antara kedua kubu: Shinawatra dan pemerintahan (parlemen maupun militer).
Sementara Florian Reinold, koordinator program beasiswa dari Bosch Foundation di Asia menyatakan memenjarakan Yingluck akan merusak rekonsiliasi nasional dan memicu kemarahan pendukungnya di Pheu Thai.
Berbagai upaya dilakukan untuk membunuh pengaruh Shinawatra. Mulai dari larangan politik, kudeta militer, perampasan aset, sampai hukuman penjara. Alih-alih membuat lemah posisi Shinawatra di mata publik, para pendukung Shinawatra justru memperoleh amunisi politiknya untuk menghimpun dukungan publik.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf