tirto.id - Pada 23 Juli 2001, Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mengeluarkan dekret presiden kedua dalam sejarah Indonesia. Poin pertamanya adalah “membekukan” lembaga “MPR dan DPR.” Menurut Gus Dur sendiri, ini adalah langkah terakhirnya untuk menyelamatkan gerakan reformasi—juga dirinya sendiri—dari rongrongan sisa-sisa Orde Baru.
Usaha Gus Dur ini dilakukan karena MPR yang dipimpin oleh Amien Rais—yang dulu pendukung Gus Dur—berencana melakukan Sidang Istimewa (SI) MPR untuk menjegal Gus Dur dari kekuasaannya. Langkah Gus Dur terbukti percuma karena pada hari yang sama dia dipaksa turun dari kekuasaannya dan digantikan oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri.
Agenda melawan Gus Dur ini sudah dimulai tahun sebelumnya. Misalnya, ketika hubungan politik antara Gus Dur dan PDIP dan Partai Golkar merenggang sebagai buntut pemecatan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
JK akrab dengan orang Partai Golkar, sedangkan Sukardi—seturut catatan Greg Barton dalam Abdurrahman Wahid, Muslim Democrat, Indonesian President: A View from the Inside (2002)--adalah “anak kesayangan” Megawati.
“Pemecatan Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla telanjur tak bisa diterima dan dipahami oleh PDIP dan Golkar yang kemudian mengajukan hak interpelasi di parlemen,” tulis Virdika Rizky Utama dalam Menjerat Gus Dur (2020).
Satu usaha yang berujung pelengseran Gus Dur lainnya adalah tuduhan korupsi. Pada September 2000, DPR membentuk panitia khusus untuk melakukan investigasi terkait kasus dugaan penyimpangan dana Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera) Badan Urusan Logistik (Bulog).
Kasus yang jamak disebut Bulog Gate itu masih juga disusul kasus dugaan penyelewengan bantuan Kerajaan Brunei Darussalam untuk Aceh atau biasa dikenal Brunei Gate.
“Walaupun keluhan-keluhan masing-masing anggota DPR terhadap presiden berbeda-beda, tapi akhirnya mereka sepakat akan satu mekanisme yang terbaik untuk mendongkelnya: yaitu dengan terus melaksanakan investigasi Pansus mengenai skandal Bulog dan Brunei,” tulis Barton.
Tuduhan korupsi itu tidak pernah terbukti sampai hari ini. Masih sepenuturan Barton, orang-orang pun tidak percaya Gus Dur melakukan korupsi. Namun, tudingan ini tetap saja mencoreng reputasinya dan Gus Dur akhirnya berhasil dilengserkan.
Masih Dipakai
Kasus itu menjadi preseden bahwa tudingan korupsi bisa saja dipakai untuk menjegal karier politik seseorang. Dari sejak kejatuhan Gus Dur hingga sekarang, Kiwari, tudingan korupsi rupanya masih laku.
Pada 2015, Presiden Joko Widodo mendukung Budi Gunawan menjadi Kapolri yang baru. Dalam catatan berjudul KPK dan POLRI Bersatulah Memberantas Korupsi (2015), Monang Siahaan menulis, “Pencalonan Komjen Pol. Budi Gunawan menjadi Kapolri diduga usulan secara tidak resmi dari Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).”
Memang, Budi Gunawan sempat menjadi ajudan Megawati pada 1999-2004. Ketika Jokowi yang diusung PDIP besutan Megawati jadi presiden, tidak heran nama Budi Gunawan ikut terkerek karirnya. Namun, usaha ini kemudian “dihalangi” oleh KPK.
Pada Januari 2015, KPK menetapkan Budi Gunawan jadi tersangka korupsi. Budi Gunawan kemudian mengajukan praperadilan dan membersihkan namanya dari tudingan tersebut. Di saat bersamaan, banyak pimpinan KPK yang dijadikan tersangka pemalsuan dokumen.
Di tengah ketegangan antara Polri dan KPK itu, pengusungan Budi Gunawan jadi Kapolri juga tidak mendapat dukungan masyarakat. Akhir cerita, Badrodin Haiti yang kemudian menjadi Kapolri pilihan Jokowi.
Anies Bakal Terjegal?
Sekarang, nasib Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan hampir sama. Dia telah mengatakan kesiapannya untuk maju di perhelatan Pemilu Presiden 2024 mendatang. Pengumuman ini dia sampaikan tak lama setelah pemanggilannya sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi dana penyelenggaraan balapan mobil listrik Formula E di Jakarta.
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi menyebutkan ada masalah perihal commitment fee yang dibayarkan kepada Bank DKI sebelum aturan pembiayaan Formula E disahkan.
"Jadi ada anggaran yang sebelum menjadi perda APBD itu sudah diijon kepada Bank DKI senilai Rp180 miliar," kata Prasetyo kepada wartawan, Selasa (8/12/2022).
Masalah korupsi di Indonesia memang bukan perkara baru, tapi tak kunjung selesai juga. Transparency International mencatat Indonesia berada di peringkat bawah bersama negara berpopulasi tinggi lainnya, macam India dan China, perihal pemberantasan korupsi.
Skor Corruption Perceptions Index(CPI) Indonesia hanya 38 dari 100 dan menempatkannya di posisi 96 dari 180 negara. Nilai ini hanya berbeda 1 poin dari tahun sebelumnya dengan nilai 37.
Maka tidak mengherankan dalam jajak pendapat Poltracking Indonesia soal capres-cawapres pilihan untuk 2024, banyak responden yang menjadikan indikator korupsi sebagai tolak ukur mereka.
Hasil jajak pendapat yang dilakukan pada 16-22 Mei 2022 terhadap 1.220 responden di 34 provinsi Indonesia itu memperlihatkan bahwa 14,6 persen pemilih sangat memperhatikan faktor “kinerja dan pengalaman kandidat”.
Jika dibedah berdasar kategori sifat kandidat, sebanyak 16 persen responden sepakat bahwa pemimpin yang “jujur, bisa dipercaya, dan bebas dari korupsi” akan menjadi pilihan mereka. Ini merupakan poin tertinggi kedua setelah karakter pemimpin yang “peduli dan perhatian pada rakyat” (16,8 persen).
Dari data itu, kita setidaknya bisa bikin kesimpulan sementara bahwa tudingan korupsi bisa memengaruhi potensi suara seorang kandidat. Berkaca pada kasus pemilihan presiden di Amerika Serikat 2016 antara Hillary Clinton dan Donald J. Trump, kasus tudingan korupsi juga turut memengaruhi kemenangan dari Donald Trump. Secara konsisten, Trump menyerang Clinton dan menyebutnya sebagai “crooked” Hillary.
“Hillary Clinton mungkin adalah orang paling korup yang mencoba untuk menjadi presiden Amerika Serikat,” kata Trump sebagaimana dikutip Reuters.
Tudingan Trump berkaitan dengan Clinton Foundation yang didirikan oleh suami Hillary, Bill Clinton, pada 1997. Menurut Trump, banyak keputusan-keputusan Hillary sebagai Sekretaris Negara dahulu dipengaruhi oleh siapa saja orang yang menyumbang uang kepada yayasan tersebut.
Meski Trump sudah menyuruh untuk melakukan investigasi berkali-kali, tuduhan itu tak terbukti. Namun, sugesti sudah tertanam di benak masyarakat dan imaji Hillary rusak serusak-rusaknya.
Dalam sebuah survei yang dilakukan lembaga survei Morning Consult, sebanyak 47 persen dari 2.001 responden menyatakan Hillary tak bisa dipercya dan 39 persen lain percaya Hillary adalah sosok yang korup.
Dalam survei lain yang dilakukan PEW Research, ada 17 persen responden yang menyatakan faktor meragukan untuk memilih Hillary adalah ketidakjujurannya. Ini menjadi faktor terbesar yang membuat orang berpikir ulang untuk mencoblos Hillary.
Benar atau tidaknya tuduhan itu soal lain. Yang jelas, meski tuduhan itu tak terbukti sekali pun, hasil Pilpres AS 2016 menyatakan Trump sebagai pemenangnya. Isu korupsi sekali lagi berhasil membuat orang trauma untuk memilih kandidat.
Anies sekarang bukanlah tersangka kasus korupsi Formula E. Namun, jika kasus berlarut dan tuduhan terus menggema, bukan tidak mungkin dia akan terjegal, bahkan sebelum hari pencoblosan. Toh, ketakutan-ketakutan akan penjegalan itu juga dirasakan oleh sebagian orang.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi